Selasa, 12 Februari 2008

PERSPEKTIF EKONOMI MAKRO INDONESIA

A. Pendahuluan
Ekonomi makro adalah bidang ilmu yang mempelajari keseluruhan ekonomi dalam bentuk: jumlah barang dan jasa yang diproduksi, total pendapatan yang dihasilkan, tingkat pengangguran, serta sifat-sifat umum harga barang. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Hingga 1930 sebagian besar analisis ekonomi terfokus pada industri dan perusahaan. Ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an, dan dengan perkembangan konsep pendapatan nasional dan statistik produk, bidang ekonomi makro mulai berkembang. Saat itu, gagasan-gagasan yang terutama berasal dari Jhon Maynard Keynes, yang menggunakan konsep aggregate demand untuk menjelaskan fluktuasi antara hasil produksi dan tingkat pengangguran, sangat berpengaruh dalam perkembangan bidang ini. Ekonomi Keynesian didasarkan pada gagasan-gagasannya. Dalam karyanya Keynes menulis bahwa Pemerintah kadangkala harus menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Pembedaan tradisional berkenaan dengan ekonomi makro konvensional adalah antara dua pendekatan berbeda yakni: ekonomi Keynesian, memusatkan pada permintaan; dan ekonomi sisi-penyediaan (atau neo-klasik) yang memusatkan pada persediaan. Kedua pendekatan tersebut berkembang di Barat, dan biasanya diterapkan juga untuk menganalisis persoalan-persoalan ekonomi makro di berbagai negara, termasuk Indonesia. Makalah ini akan melihat lebih jauh mengenai penerapan teori ekonomi makro “produk Barat” tersebut (khususnya teori neo-klasik) dalam konteks Indonesia.
B. Analisis Penerapan Teori Ekonomi Makro Konvensional Di Indonesia
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya tahun 1979, Mubyarto menegaskan tentang tidak cocoknya teori-teori ekonomi Barat bagi kondisi nyata ekonomi Indonesia, sebagai berikut:
(1) Teori Ekonomi Neoklasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad yang lalu hanya relevan untuk menganalisis sebagian kecil perekonomian kita, dan tidak relevan bagi sebagian besar yang lain.
(2) Teori Ekonomi Neoklasik (Barat) ini telah tidak begitu berkembang sebagai ilmu di Indonesia tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.
“Hipotesis” tersebut bertambah kuat dan sejak krismon (krisis moneter) 1997-1998 menjadi semakin kuat lagi dengan membesarnya peranan sektor ekonomi informal. Jika buku-buku teks teori ekonomi (Neoklasik) menyatakan bahwa teori ekonomi sama dengan teori harga (price theory), maka jelas bahwa teori ekonomi tidak dapat dipakai untuk menganalisis peristiwa-peristiwa ekonomi di luar pasar. Artinya jika sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat/bangsa Indonesia diselenggarakan secara informal, maka pisau analisis yang tepat bukanlah teori harga atau teori ekonomi pasar tetapi teori ekonomi kelembagaan.
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat Indonesia adalah bergerak pada sector informal yang lebih dikenal sebagai “ekonomi rakyat”. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan BPS 3,5% (tahun 2002) jelas-jelas merupakan sumbangan ekonomi rakyat yang dapat diandalkan ketahanannya. Ekonomi rakyat bukanlah ekonomi tersembunyi (hidden economy) tetapi ekonominya wong cilik yang dapat dengan mudah dilihat dan ditemui di mana-mana di sekitar kita, di desa-desa maupun di kota-kota. Menjamurnya pedagang kaki lima di mana-mana di kota-kota besar dan kecil, adalah indikator penemuan ekonomi rakyat pada habitatnya yang benar, ketika ekonomi sektor industri modern makin tertutup dan bermasalah. Jika pemerintah menganggap menjamurnya pedagang kaki lima sebagai masalah yang memusingkan, ditinjau dari para pelaku ekonomi rakyat ia merupakan pemecahan masalah (solution). Dan jalan keluar atau pemecahan masalah ini sama sekali tidak memperoleh bantuan modal dari pemerintah atau bank-bank pemerintah, tetapi semuanya dengan modal mereka sendiri. Ekonomi rakyat menjadi pendukung utama perekonomian nasional, meskipun hampir tidak pernah dipihaki kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemulihan ekonomi nasional dari krisis yang berkepanjangan justru terletak pada ekonomi rakyat. Bahwa ekonom-ekonom modern zaman sekarang pura-pura tidak mengerti ekonomi rakyat dan mengatakan itu sebagai ekonomi tersembunyi (hidden economy) memang mudah dipahami karena pakar-pakar ekonomi ini sudah tercekoki oleh teori-teori ekonomi Neoliberal dari Barat yang hanya “bergaul” dengan fakta-fakta ekonomi modern, ekonomi industri, ekonomi pasar uang/modal.
Kerancuan penerapan teori ekonomi barat juga terlihat dalam menganalisis tingkat pengengguran. Jika Parpol-parpol dalam Kampanye Pemilu 2004 mengritik pemerintah yang tidak mampu mengatasi pengangguran 40 juta tenaga kerja Indonesia, maka nampak jelas bahwa Parpol-parpol tersebut memang tidak memahami masalah hakiki ekonomi Indonesia. Karena para penganggur yang mendaftar tidak pernah ditanya tentang kehidupannya (miskin atau tidak), maka bagi ekonom Indonesia, tidak seperti di negara industri maju, masalah pengangguran seharusnya tidak merupakan masalah paling utama. Yang benar, kemiskinan adalah masalah yang lebih penting ketimbang masalah pengangguran. Penganggur belum tentu miskin, sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan pasti miskin, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang , papan, pendidikan dan kesehatannya.
Demikian lebih tidak benar lagi jika pakar-pakar ekonomi menyatakan bahwa hanya melalui pertumbuhan ekonomi tinggi pengangguran dapat diatasi. Menteri Keuangan baru-baru ini menyatakan hal yang sama yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Kedua masalah yang disebut terakhir hanya dapat diatasi melalui kebijakan khusus yang bersasaran pada penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Inilah yang dikeluhkan Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, yang merasakan kemandulan ilmu ekonomi (Neoklasik) untuk menganalisis masalah-masalah kelaparan (dan kemiskinan) yang melanda negaranya tahun 1974, yang mengakibatkan 1,5 juta orang meninggal.
Topik ekonomi makro yang juga keliru diterapkan adalah persamaan Y=C+I+G dengan anggapan dasar bahwa C adalah “buruk” dan tidak produktif, sedang I, yang hanya dapat dilakukan perusahaan-perusahaan besar adalah “baik”, produktif, dan mampu menciptakan kesempatan kerja. Pakar ekonomi konvensional tidak pernah mau mengakui bahwa ekonomi rakyat mampu ber-investasi, bahkan dengan menggunakan modal sendiri atau dapat memperoleh modal melalui (rumah-rumah) pegadaian. Dalam pada itu perbankan atas arahan BI juga membuat kekeliruan dengan selalu menggolongkan kredit kendaraan bermotor sebagai kredit konsumsi, padahal bagi ekonomi rakyat kendaraan bermotor dimanfaatkan sebagai “alat produksi” yang berarti merupakan pengeluaran investasi.
"Kerancuan" atau "kemelesetan" teori ekonomi makro Neoklasik jika diterapkan pada kondisi ekonomi Indonesia yang berpenduduk besar dengan kekuatan ekonomi rakyat yang besar pula, namun karena bersifat informal, tak tercatat dalam statistik dan penerbitan-penerbitan resmi pemerintah, lalu tidak pernah diperhitungkan. Salah satu angka yang dianggap "kunci" bagi pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Karena Indonesia memiliki lembaga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatat angka-angka "rencana" investasi (penanaman modal) "yang disetujui" pemerintah, maka pemerintah dari tahun ke tahun selalu menerbitkan angka-angka persetujuan ini baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Meskipun angka-angka BKPM sudah sering dikritik karena realisasi penanaman modal selalu jauh berbeda dengan rencana, namun angka-angka untuk tahun 2002 disiarkan dan dikomentari secara luas oleh pers dan para politisi dalam rangka menonjolkan kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah. Demikian analisis yang dilakukan tentu saja meleset karena angka-angka "keliru" atau tidak lengkap tersebut memang sekedar sebagai alat mengritik pemerintah bukan untuk benar-benar menemukan masalah riil yang dihadapi ekonomi Indonesia.
Meskipun tidak semua teori ekonomi Neoklasik keliru dan tidak relevan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia, namun ada 3 kelemahan mendasar yang harus diperbaiki jika teori ini diharapkan dapat diterapkan di Indonesia. Itulah ekonomi kelembagaan yang memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) kesadaran adanya peranan nilai dan ideologi dalam penelitian sosial, (2) penelitian bersifat holistik (menyeluruh) dan interdisipliner, dan (3) bersifat evolusioner yaitu berciri historikal dan dinamis.
C. Ekonomi Pancasila Sebagai Alternatif
Perekonomian Indonesia yang pernah dijajah 350 tahun disamping bersifat dualistik juga bersifat “menolak”, dan berusaha “melawan” kekuatan ekonomi dan modal asing yang lama mencengkeramnya. Maka ekonomi Indonesia adalah anti penjajahan (anti-kolonialisme, anti- imperialisme, dan anti-liberalisme) termasuk terhadap kekuatan modal kuat di dalam negeri sendiri yang mulai menancapkan kukunya selama (ekonomi ) Orde Baru 1966-1997 yang liberal.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh Ekonomi Indonesia adalah ketidak mampuan ekonom konvensional yang mengikuti aliran Neoklasik itu untuk melihat gejala semacam ekonomi rakyat. Salah seorang ekonom pernah menolak apa yang disebut “ekonomi rakyat”. Baginya “ekonomi ya ekonomi”. Kesimpulan ini disebabkan karena kacamata yang dipakai yaitu kacamata Neoklasik memang tidak mampu melihat gejala ekonomi rakyat. Gejala ini hanya bisa ditangkap lewat kacamata ekonomi-sosiologis atau antropologi ekonomi. Karena itulah, dalam rangka advokasi Ekonomi Pancasila Prof. Mubyarto pernah mengusulkan dipergunakannnya pendekatan multi-disipilin dalam melihat gejala ekonomi. Sebenarnya pendekatan ini sudah dipikirkan oleh Bung Hatta, ketika ia menulis buku pengantar mengenai Ekonomi-Sosiologi. Studi dengan pendekatan antropologi kini sudah dimulai, termasuk studi disertasi. Buku “Ekonomi Moral, Rasional dan Politik” adalah sebuah kumpulan esai-esai antropologi-ekonomi yang disunting oleh Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra et. al. yang memberikan gambaran mendalam mengenai ekonomi rakyat. Demikian pula hasil penelitian disertasi Dr. Irwan Abdullah yang berjudul “Muslim Businessmen of Jatinom”, sebuah hasil studi antropologi yang informatif, mendalam dan menarik tentang perekonomian rakyat di kota kecil di Klaten, Jawa Tengah. Dari daftar kepustakaan buku ini bisa dikumpulkan hasil-hasil studi yang cukup luas dan mendalam mengenai perekonomian rakyat. Buku-buku itu bisa menjadi bahan penyusunan buku teks atau buku bacaan mengenai ekonomi rakyat, dengan pendekatan sejarah dan multi-disiplin ilmu-ilmu sosial. Buku semacam itu akan sangat membantu memecahkan masalah-masalah ontologi dan epistemologi Ekonomi Rakyat. Oleh karena itu, beberapa pakar ekonomi Indonesia kemudian memeperkenalkan istilah “Ekonomi Pancasila”.
Menurut Mubyarto Ekonomi Pancasila adalah ekonomi kelembagaan karena mendasarkan pada nilai dan ideologi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pembukaan UUD 45 berisi tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan bebas dari kekuatan asing, dan melalui kebebasan itu seluruh warga bangsa dapat dicerdaskan dan ditingkatkan kesejahterannya.
Istilah “Ekonomi Pancasila” baru muncul pada tahun 1967 dalam suatu artikel Dr. Emil Salim. Ketika itu belum begitu jelas apa yang dimaksud dengan istilah itu. Istilah itu menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1979, Emil Salim membahas kembali yang dimaksud dengan “Ekonomi Pancasila”. Pada pokoknya “Ekonomi Pancasila” adalah suatu konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Kekanan artinya bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri artinya mengalami intervensi negara dalam bentuk perencanaan memusat. Secara sederhana Ekonomi Pancasila dapat disebut sebagai sebuah sistem ekonomi pasar dengan pengendalian pemerintah atau “ekonomi pasar terkendali”. Mungkin ada istilah-istilah lain yang mendekati pengertian “Ekonomi Pancasila”, yaitu “sistem ekonomi campuran”, maksudnya campuran antara sistem kapitalisme dan sosialisme” atau “sistem ekonomi jalan ketiga”. Tetapi kedua istilah itu banyak variasinya di dunia. Sistem ekonomi yang berlaku di Amerika Utara dan Eropa Barat umpamanya, dapat disebut sebagai sistem ekonomi campuran, karena sudah tidak asli kapitalis, tetapi bukan pula sosialis. Tapi persepsi umum menilai bahwa sistem ekonomi AS adalah sebuah model ekonomi kapitalis yang paling representatif, sedangkan sistem ekonomi di Uni Soviet (dulu sampai 1991) atau RRC adalah model ekonomi sosialis yang paling baku. Barangkali yang lebih mendekati model ekonomi campuran adalah sistem ekonomi Inggris atau negara-negara Eropa Barat yang lazim disebut juga sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Pendekatan filsafat ilmu terhadap Ekonomi Pancasila, menghendaki tiga tahap pembahasan. Pertama adalah pembahasan ontologis mengenai keberadaan “Ekonomi Pancasila”. Kedua, pembahasan epistemologis yang menjawab pertanyaan bagaimana memahami Ekonomi Pancasila itu dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga adalah pembahasan aksiologis yang mempertanyakan hasil atau kondisi ideal yang dihasilkan oleh proses pembentukan Ekonomi Pancasila.
Pertanyaan awal yang harus dijawab oleh para penganjur Ekonomi Pancasila adalah apa itu Ekonomi Pancasila secara teoritis-konseptual maupun hampiran empirisnya ?. Dari impresi penelitiannya yang sangat luas, Prof. Mubyarto mengatakan bahwa praktek Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Pancasila in action, dengan mudah dapat dijumpai dan dikenali di mana-mana di seluruh Indonesia. Praktek ekonomi itu seringpula disebut sebagai “ekonomi rakyat” yang bersifat moralistik, demokratik dan mandiri. Dengan gambaran dan pembahasan itu sering Ekonomi Pancasila diidentikkan dengan ekonomi rakyat.
Jika salah satu wajah ekonomi Pancasila itu adalah ekonomi ekonomi rakyat yang dijumpai di daerah-daerah, di perdesaan dan kota-kota kecil maupun kampung-kampung kota-kota di Indonesia (disitu banyak dijumpai industri rakyat atau kerajinan rakyat), maka gambaran itu dekat dengan aliran Hijau dalam teori Galtung.[1] Menurut Galtung aliran Hijau bercirikan kolektivisme dimana berlaku kepemilikan kolektif atas faktor produksi yang menghasilkan produk kolektif maupun individual. Dalam distribusi ekonomi ini bertumpu pada pasar lokal, rencana lokal dan pertukaran. Ini sebenarnya adalah gambaran dari sebuah ekonomi tradisional. Jika ini gambaran aliran Hijau maka perekonomian Indonesia tidak hanya bercorak lokal tetapi juga antar-regional, nasional bahkan internasional. Hasil perkebunan rakyat sejak berabad-abad yang lalu menjangkau pasar internasional dan itulah yang memancing kolonialisme Barat.
Ekonomi lokal ini juga sudah bersentuhan dengan modernitas yang mengandung inovasi. Sebagai perekonomian rakyat yang telah mengalami modernisasi, perekonomian rakyat pada dasarnya adalah perekonomian pasar yang didasarkan pada sistem kepemilikan individu dan kolektif. Sebagai ekonomi yang mengandung campuran biru dengan unsur pasar dan modal, maka pengertian pasar disini sudah mengalami perubahan, terutama karena pengaruh teori Keynes, yaitu “pasar terkendali” atau “pasar berkeadilan”. Konsep modalpun juga telah berkembang bukan hanya berupa modal finansial dan modal manusia (human capital), tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu modal sosial (nilai-nilai keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal intelektual (teknologi dan informasi) dan modal spiritual (keyakinan dan semangat). Modal-modal baru ini telah membebaskan ekonomi dari sistem kapitalis yang hanya mengenal modal finansial saja.
Ekonomi Pancasila disebut juga sebagai ekonomi yang berasaskan kekekeluargaan, kegotong-royongan dan kerjasama. Ini adalah nilai-nilai tradisional yang bersumber pada budaya Indonesia. Tapi asas kekeluargaan ini, yang berdasarkan kepada solidaritas mekanis, telah ditransformasikan menjadi solidaritas fungsional, dengan nilai-nilai individualitas dalam lembaga koperasi. Jika itu ciri Ekonomi Pancasila maka ini tergolong dalam aliran Merah Muda atau Nordic. Lagi pula, sistem koperasi yang dibawa oleh Hatta, dipelajarinya ketika ia berkunjung ke negara-negara Skandinavia pada tahun 1926 bersama-sama dengan Dr. Samsi. Selain itu, pasal 33 UUD 1945, menyebutkan bahwa cabang-cabang penting kebutuhan rakyat dikuasai oleh negara, sehingga melahirkan BUMN. Jika ini juga ciri Ekonomi Pancasila, maka Ekonomi Pancasila mengikuti model negara kesejahteraan Eropa Barat. Hal ini lebih menegaskan, bahkan Ekonomi Pancasila tergolong ke dalam aliran Merah Muda. Peranan negara dalam wujud perencanaan pusat (central planning agency) yang dilembagakan dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang masih terus bekerja hingga sekarang, menunjukkan pula bahwa Ekonomi Indonesia mengambil unsur Merah. Namun, Indonesia juga mengakui peranan sektor swasta termasuk asing. Pada masa Ekonomi Terpimpin (1960-1965) mulai berkembang perusahaan-perusahaan swasta besar. Pada masa Orde Baru (1966-1998), sangat menonjol peranan konglomerasi dan perusahaan-perusahaan multinasional hingga sekarang. Indonesia juga menganut rezim devisa bebas dan perdagangan bebas dengan luar negeri. Ini merupakan ciri aliran Biru. Tidak terlalu salah jika Ekonomi Indonesia (yang sebagian menyimpang dari Pancasila) sebagai realitas ekonomi, merupakan kombinasi dari aliran Merah dan Biru dan Hijau sehingga menjadi aliran Merah Muda. Cuma dalam aliran Merah Muda Galtung, warna-warna itu adalah warna-warna yang lemah atau kombinasi yang lemah dari tiga warna itu. Di sini kita melihat adanya kontradiksi antara Ekonomi Pancasila dan realitas Ekonomi Indonesia. Itulah maka, Mubyarto, Sri-Edi Swasono dan Sritua Arief, melakukan kritik yang tajam terhadap realitas Ekonomi Indonesia yang bercorak kapitalis.

D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan teori ekonomi konvensional (neo klasik) secara penuh untuk menganalisis ekonomi makro Indonesia atau untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan di Indonesia, masih mengandung beberapa kelemahan. Oleh karena itu, mengikuti kerangka teori enam aliran ekonomi di dunia menurut Johan Galtung, Ekonomi Pancasila tergolong ke dalam ekonomi campuran ketiga, pada asasnya lebih menjanjikan dalam konteks Indonesia sesuai dengan histories-sosiologisnya.
Pada dasarnya Ekonomi Pancasila adalah aliran Hijau yang berasal dari Dunia Ketiga. Secara ontologis keberadaan Ekonomi Pancasila perlu dibuktikan dengan buku sejarah ekonomi Indonesia, khususnya ekonomi rakyat. Gambaran mengenai ekonomi rakyat kontemporer diwujudkan dalam penelitian multi-disiplin, khususnya ekonomi sosiologi dan antropologi ekonomi yang mampu menangkap kelembagaan ekonomi rakyat, baik tradisional maupun modern.

E. Daftar Pustaka
Balairung, Jurnal Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, edisi 37/Th XVIII/2004
Harris, John, Janet Hunter, and Colin M. Lewis (Ed), 1995, The New Institutional Economics and Third World Development, London, Routledge
Keynes, John Maynard, 1936, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London, Macmillan & Co
Mubyarto, 1982, Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta, Yayasan Idayu
__________, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta, BPFE
__________, 2003, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir dan Misi Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, BPFE
__________, 2004, Ekonomi Pancasila : Renungan Satu Tahun PUSTEP-UGM, Yogyakarta, Aditya Media
__________, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Yogyakarta, Aditya Media
Mubyarto, dan Daniel W, Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Oliver, J.M., 1973, The Principles of Teaching Economics, London, Heinemann Educational Books
PUSTEP-UGM, 2003-2004, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pancasila Jilid I-III, Yogyakarta, PUSTEP-UGM
Rahardjo, Dawam. “Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu”, http://www.google.com
http://id.wikipedia.org

[1] Johan Galtung, menyebut adanya 6 aliran pemikiran ekonomi yang disimbolkannya dengan warna-warna. Yang paling dasar adalah aliran tiga warna: merah, biru dan hijau. Biru adalah lambang ekonomi kapitalis yang berintikan pasar dan modal. Warna Merah mewakili ekonomi sosialis yang bertumpu pada negara dan kekuasaan. Sedangkan warna Hijau mewakili ekonomi Dunia Ketika yang sedang berkembang, yang bersendikan masyarakat sipil (civil society) dan dialog. Ketiga aliran yang lain merupakan ekonomi campuran. Tapi pengertian “campuran” menurut Galtung berbeda dengan persepsi umum yang bersumber dari pandangan Samuelson dalam buku teksnya. Pertama adalah campuran antara biru, merah dan hijau, yang menjadi warna Merah Muda atau Merah Jambu (pink). Tapi representasi aliran Merah Muda ini adalah negara-negara Eropa Barat minus Inggris, terutama negara-negara Nordic, yaitu negara-negara yang mengikuti konsep negara kesejahteraan. Sedangkan campuran antara warna Biru dan Merah menghasilkan warna Kuning yang diwakili oleh negara-negara Timur Jauh, khususnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapore, yang menggabungkan secara tegas unsur-unsur pasar dan negara, modal dan kekuasaan. Aliran pemikiran lain yang disebutnya adalah campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning yang dinilai sebagai kombinasi yang ideal, karena tidak langsung mencampur warna Biru dan Merah yang paling banyak dikritik atau dalam bahasa studi perdamaian, paling berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Aliran ini masih merupakan “angan-angan”, belum ada representasinya. Mengacu pada teori Galtung itu, gagasan Ekonomi Pancasila adalah sah, logis, dan tidak aneh seperti tercermin dalam istilah ejekan “sistem ekonomi bukan-bukan”. Pancasila sering juga disebut sebagai kombinasi antara Declaration of Independence (aliran biru) dan Manifesto Komunis (aliran merah). Tetapi yang lebih tepat, Pancasila intinya adalah kombinasi tiga ideologi, yaitu Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi, tetapi kesemuanya didasarkan pada Humanisme dan kepercayaan Monoteisme. Bung Karno sendiri dalam salah satu artikelnya menyebut tiga sumber ideologi, yaitu Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme. Sedangkan Bung Hatta menyebut tiga sumber lain, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia. Jika Ekonomi Pancasila dapat dirumuskan sebagai “ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila”, maka Ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sebuah sistem Ekonomi Campuran.

Tidak ada komentar: