Selasa, 12 Februari 2008

BERISLAM DALAM KONTEKS SAINS

A. Latar Belakang
Man arada ad-dunya fa‘alaihi bil-‘ilmi, man arada al-akhirat fa‘alaihi bil-‘ilmi, man arada huma fa’alaihi bil-‘ilmi. Hadis Nabi saw tersebut, merupakan salah satu doktrin di antara doktrin-doktrin lainnya, yang menunjukkan keutamaan ilmu. Teks tersebut secara jelas menyatakan bahwa siapapun yang menginginkan (kebahagiaan) dunia ataupun (kebahagiaan) akhirat, ilmu merupakan perantara atau alat untuk mencapainya. Namun, ilmu yang manakah yang dimaksud?, berbedakah term ilmu yang dimaksud dalam premis pertama, premis kedua, dan dalam premis ketiga teks di atas?. Apakah hanya ilmu tertentu yang dianggap bermanfaat atau dapat menghantarkan manusia ke kebahagiaan dunia dan akhirat itu menurut Islam?. Berkaitan dengan sains, apakah menurut pandangan Islam sains modern yang telah menunjukkan manfaat begitu besar bagi kehidupan manusia (walaupun mengandung efek-efek negatif) bisa digolongkan sebagai ilmu yang dapat mengantarkan kebahagian manusia di dunia dan juga di akhirat?.
Terlepas dari pertanyaan di atas, kenyataan menunjukkan bahwa pada saat sekarang, sains telah menjadi paradigma kebudayan, yang kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari setiap segi kehidupan manusia termasuk umat Islam. Mengaitkan Islam dengan sains dalam suatu pembicaraan dewasa ini, paling tidak akan mengerucut pada dua kesimpulan besar. Pertama, walaupun jumlah kaum Muslim adalah seperlima dari penduduk dunia, namun hampir-hampir tidak terlihat dalam riset sains. Dengan kata lain, kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan sains dan teknologi di sebagian besar negara berpenduduk Muslim sangat lambat, bahkan relatif lebih lambat dibandingkan negara berkembang lainnya yang bukan Muslim. Kesimpulan kedua (yang nampak seperti ironi), dibandingkan negara berkembang lainnya, negara-negara Islam adalah negara dengan ketergantungan paling tinggi terhadap sains dan teknologi produk Barat.[1]
Kesimpulan yang pertama melahirkan pertanyaan-pertanyaan: mengapa sains tidak berkembang atau maju di dunia Islam?, atau adakah tempat bagi sains dalam Islam?. Sedangkan kesimpulan kedua melahirkan pertanyaan: adakah pengaruh sains terhadap keberagamaan seorang Muslim?, dan bagaimana menjalankan Islam dalam konteks sains dan teknologi ini?. Beberapa pertanyaan tersebut merupakan kegelisahan akademik yang mendasari tulisan ini.
B. Sains Dalam Sejarah Islam
Padanan kata sains (science[2]/Inggris) dalam bahasa Indonesia adalah ilmu (ilmu pengetahuan) Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab ‘ilm yang merupakan kata jadian dari ‘alima yang berarti tahu atau mengetahui. Akar kata ‘a-l-m dalam bahasa Semit (di mana bahasa Arab termasuk ke dalam rumpun bahasa Semitik) mempunyai arti ‘tanda’(ayat-Arab). Walaupun menurut Franz Rosethal akar kata ‘a-l-m dalam bahasa Arab tidak mempunyai persamaan akar kata dengan bahasa Semit lainnya, Menurut Dawam Raharjo tetap menimbulkan kesan bawa terdapat kaitan antara ‘tahu’ dengan ‘tanda’ dalam bahasa Arab. [3] Oleh karena itu, kata ‘ilm dalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai ‘pengetahuan tentang tanda (ayat)’ atau ‘mengetahui ayat’.[4] Adapun ayat-ayat yang merupakan objek kajian ilmu dan kesatuan ayat-ayat tersebut merupakan perwujudan dari tanda-tanda Tuhanyang dijelaskan dalam al-Qur’an, menurut Musa Asy’arie adalah:
1) ayat-ayat Tuhan yang terdapat dalam alam semesta -yang merupakan objek kajian sains/ science-,
2) ayat-ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah, serta
3) ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci, antara lain al-Qur’an itu sendiri.[5]
Dengan demikian, pada dasarnya dalam perspektif al-Qur’an, sains merupakan ilmu pengetahuan yang patut digali, sebagaimana ayat-ayat Tuhan lainnya. Namun sejarah Islam menunjukkan, terdapat fase dimana sains dianggap sebagai ilmu yang tidak perlu digali dan dikaji, bahkan mempelajarinya dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia karena tidak akan memberikan kebahagiaan terutama di akhirat, betapapun sains yang rasional telah melahirkan teknologi[6] modern yang memberikan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia.
Jika merunut sejarah, sebenarnya sejak masa konsepsinya, Islam telah menghadapi dan menjawab berbagai tantangan, baik tantangan intelektual maupun spiritual. Bahkan wahyu al-Qur’an sendiri, sebagian adalah merupakan jawaban terhadap tantangan-tantangan spiritual yang dilontarkan kepadanya oleh agama-agama Yahudi dan Kristen yang lebih tua perkembangannya. Kemudian, serangkaian krisis intelektual dan kultural timbul dalam Islam masa awal (dari abad ke-2 H/8 M-4 H/10 M). Yang paling serius dan signifikan adalah yang dihadapkan oleh intelektualisme Hellenis (Yunani). Namun tantangan-tantangan tersebut, oleh kaum Muslim -yang pada waktu itu secara psikologis tak terkalahkan demikian juga secara politis-, dihadapi dengan cara berassimilasi, menolak ataupun menyesuaikan diri dengan pengaruh-pengaruh baru tersebut. Terlebih lagi Islam tidak dibebani oleh beban tradisi yang mati, sehingga justru unsur-unsur dan aliran pemikiran barulah yang sebagian besar mensuplai dan membangun kandungan Islam itu sendiri.[7]
Pengaruh yang sangat kuat dari tradisi-tradisi intelektual Hellenis adalah berkembangnya ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, matematika, astronomi, dll. pada fase awal Islam (masa klasik). Ilmu-ilmu peninggalan masa silam tersebut ( disebut ulum al-awa`il), sebenarnya memang berisikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya. Namun kenyataan sejarah menunjukkan, persentuhan unsur-unsur pengetahuan tersebut dengan doktrin agama khususnya doktrin teologis, berakhir dengan dominasi teologi Asy’ariyah dan menguatnya ortodoksi,[8] yang memasung bahkan hampir melenyapkan perkembangan ilmu-ilmu rasional tersebut di dunia Islam.[9] Hegemoni bertahap dari doktrin fatalistik Asy’ariyah yang menekankan bantahan terhadap setiap hubungan antara sebab dan akibat atau rasionalitas, hampir tidak memberikan ruang bagi penelitian atau penyelidikan ilmiah yang membentuk dasar pemikiran sains. Selain itu kuatnya dogma bahwa Tuhan bertanggung jawab atas segala sesuatu melalui hukum-hukum yang diciptakannya bagi dunia dalam doktrin Asy’ariyah, menyebabkan rasa ingin tahu, imajinasi, dan aktivitas ilmiah kreatif lainnya yang didasari ilmu-ilmu rasional menjadi tidak berguna.[10]
Menurut Ignaz Goldziher, dalam karya para ulama ortodoks, ‘ulum al-awa`il secara keras dirujuk sebagai ‘ulum al-mahjura (ilmu-ilmu yang tidak diakui), bahkan digambarkan sebagai hikmah masyuba bi-kufr (hikmah yang bercampur-aduk dengan kekafiran). Ahli teologi ortodoks nampaknya sampai pada kesimpulan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang perlu atau berguna bagi praktik agama (amal). Selain dari itu tidak berguna dan hanya menjauhkan orang dari jalan yang lurus. Ibn Taymiyyah mendefinisikan ‘ilm sebagai pengetahuan yang diturunkan Raslullah, di luar itu dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan tidak diperlukan sama-sekali, walaupun sesuatu yang lain itu dinamakan ‘ilmu’ juga.[11]Setelah itu, fase dikotomi ilmu, yakni ilmu ‘agama’ (yang bermanfat) dan ilmu ‘non-agama’ atau ilmu sekuler yang bid’ah segera dimulai.
Dengan demikian, bagi pengikut ortodoksi sains tidak dapat dikategorikan ke dalam ilmu yang bermanfaat. Jadi tidak mengherankan ketika al-Gazalli (tokoh Asy’ariyah terbesar), berhasil membawa ortodoksi mencapai kemenangan akhir, pintu-pintu penyelidikan ilmiah di dunia Islam menjadi tertutup.[12] Bahkan untuk menjaga ortodoksi (yang dianggap sebagai contoh paling ideal dalam berislam), kemudian dalam lapangan ilmu ‘agama’ pun pintu ijtihad seolah tertutup juga, karena segala yang perlu diketahui dianggap telah diketahui oleh para ulama pada masa klasik.
Akibatnya, dunia Islam pada masa berikutnya (abad pertengahan) mengalami masa kejumudan. Peradaban Islam telah kehilangan keinginan dan kemampuan untuk mengembangkan sains. Di sisi lain, setelah mendapatkan harta karun ilmu pengetahuan warisan Yunani dan Islam selama tujuh abad pemerintahan Islam di Spanyol, peradaban Barat (Eropa) terus meningkat. Dimulainya zaman renaissance, runtuhnya ekonomi feodal abad pertengahan, munculnya kapitalisme berskala besar, dan terjadinya gejolak sosial, mengakibatkan lahirnya sains modern di Eropa sekitar 400 tahun yang lalu. Percobaan, pengukuran, perkiraan dan pengendalian, menjadi paradigma kebudayaan baru. Sains modern, mencari pemahaman modern dari alam semesta fisik dengan metodologi yang lebih akurat. Alam semesta yang misterius dan tak dapat diduga, kini dapat dipahami sebagai mesin teratur dimana ‘perubahan dikendalikan oleh angka-angka’. Metode ilmiah memberikan kekuasaan yang tak terbayangkan kepada orang-orang yang menguasainya. Di satu sisi kekuasaan ini digunakan untuk memahami hukum alam, dan selanjutnya menciptakan teknologi baru. Di sisi lain, sains menjadi senjata sistematis untuk menaklukkan dan menjajah penduduk dunia yang miskin teknologi, dimana negara-negara Islam termasuk di dalamnya.[13]
Oleh karena itu, keberhasilan Muslim generasi awal ketika menghadapi pengaruh filsafat dan ilmu-ilmu rasional tradisi Hellenis, ternyata tidak mampu diikuti oleh penerusnya ketika pengaruh-pengaruh Barat memasuki Dunia Islam pada abad 18 M, dan berlanjut sampai abad 19 dan 20 M, bahkan mungkin hingga kini. Kegoyahan yang timbul dari kekalahan-kekalahan politik oleh negara-negara Barat imperialis serta missi-missi Kristen, menjadikan kaum Muslim secara psikologis kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dalam menjawab tantangan intelektual dan pemikiran modern melalui proses-proses assimilatif-kreatif, sebagaimana ketika menghadapi tantangan intelektual Hellenis.[14] Yang terjadi kaum Muslim tidak dapat menghindar dari “proses pembudayaan” melalui sains dan teknologi produk Barat, dan terus menerus menjadi konsumennya, karena hingga kini belum mampu memberikan andil memproduksi sains dan tekonologi tersebut.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, penyebab utama ketertinggalan umat Islam dalam hal sains dan teknologi adalah adanya anggapan bahwa sains bukanlah ilmu yang patut dikaji karena tidak akan memberikan manfaat, sebagaimana yang dilembagakan oleh para penganut ortodoksi, bahkan sampai sekarang. Kemudian, beberapa penyebab lain setelah itu seperti kolonialisme yang melanda sebagian besar negara Muslim, melengkapi ketertinggalan ini, sehingga sampai kini umat Islam masih sulit bangkit dari keterpurukannya tersebut. Disamping itu, pendidikan menjadi penyebab penting lainnya, karena pola dan sistem pendidikan yang berjalan di sebagian besar negara Islam, ternyata tidak mendukung lahirnya peradaban ilmiah. Pola pendidikan Islam secara umum dapat dikatakan masih tradisional, yang terlihat antara lain dari aspek tidak memadainya fasilitas untuk menenamkan sains, metode mengajarnya yang klasik, materinya yang out of date, dan ketidakmampuan untuk berfikir bebas dengan mengkritisi teori-teori yang sudah ada, apalagi menyusun teori-teori sendiri.[15] Sikap yang diwariskan pendidikan tradisional tersebut, dikukuhkan oleh pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang diperoleh bukan ditemukan, di mana akal bersifat pasif dan selalu menerima, bukan kreatif dan selalu ingin tahu. Pengkondisian sosial dari suatu lingkungan tradisional yang otoriter mempunyai konsekwensi mutlak bahwa semua pengetahuan harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, dan semua buku cenderung harus dihapalkan dan dimuliakan. Oleh karena itu, konsep sekular pengetahuan sebagai suatu alat pemecah persoalan yang senantiasa berkembang, terasa asing dalam pemikiran (Islam) tradisional.[16] Sementara disadari atau tidak, cara pandang sains atas dunia, sangat mempengaruhi pola pikir dan pola tindak manusia dewasa ini. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini, manusia (termasuk umat Islam) tengah hidup dalam konteks sains dan teknologi.
C. Hubungan Agama dan Sains dalam Islam
Di tengah revolusi yang dilahirkan sains dan tekonologi yang sangat sering mempengaruhi pemahaman keagamaan, kaum Muslim menghadapinya dengan reaksi yang beragam. Tipologi yang dikemukakan Barbour mengenai model-model hubungan agama dan sains[17], nampaknya tergambar pula ketika Islam berhadapan dengan sains dan teknologi modern.
Model hubungan agama-sains yang pertama menurut Barbour adalah ‘konflik’ yang dalam tradisi Kristen-Barat tercermin dari pandangan dua kelompok, yakni Biblical Literalism yang berpendapat bahwa teks suci adalah berlaku abadi dan universal, dan kebenarannya memberikan kepastian pada setiap masa yang terus berubah dan terus menjaga nilai-nilai tradisional dari bahaya disintegrasi moral, dan kelompok Scientific materialism yang berpendirian bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mendapatkan pengetahuan, dan hanya mempercayai realitas yang nyata dan bisa dibuktikan secara material.[18] Dalam Islam kelompok yang mengambil posisi ‘konflik’ terhadap sains dan teknologi ini adalah para pembela ortodoksi, yang diistilahkan oleh Hoodbhoy sebagai kaum restorasionis yang anti sains dan anti modernisme.[19] Sebagaimana pendahulunya yang menganggap ulum al-awa’il sebagai ilmu yang sia-sia, penganut ortodoksi ini mengagungkan tradisi masa klasik dan menganggap sains modern tidak mengenal Tuhan, sehingga pencapaian sains modern dengan pemujaan terhadap berhala.[20]
Model kedua adalah independen. Model ini berpendirian bahwa agama dan sains mempunyai persoalan, wilayah, dan metode yang berbeda. Masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri, sehingga tidak perlu ada hubungan, kerjasama, ataupun konflik antar keduanya. Keduanya harus dipisahkan, untuk bekerja dalam wilayahnya masing-masing.[21] Hoodbhoy menyebut kaum pragmatis, terhadap kelompok yang mengambil model independen ini.Mereka lebih suka memperlakukan persyaratan-persyaratan agama dan keimanan sebagai sesuatu yang secara esensial, tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik dan ekonomi, ataupun dengan sains dan pengetahuan ‘sekular’. Kaum pragmatis merasa puas dengan keyakinan samar bahwa Islam dan modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan lebih dalam.[22]
Model ketiga dan model keempat, adalah ‘dialog’ dan ‘integrasi’. Dengan model dialog, barbour menekankan pada upaya mencari persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara agama dan sains, sehingga ditemukan persamaan atau mungkin perbedaan antara keduanya. ‘Dialog’ dilakukan dengan mencari konsep dalam agama yang analog, serupa atau sebanding dengan konsep dalam sains atau sebaliknya.[23] Sedangkan ‘integrasi ‘berusaha mencari titik temu pada masalah-masalah yang dianggap bertentangan antara agama dan sains.[24] Penjelasan Barbour tentang ‘integrasi’ sebenarnya tidak menunjukkan perbedaan yang jelas dengan model dialog, karena model dialog Barbour pada lahirnya juga berujung pada integrasi.[25] Kedua model terakhir dari tipologi Barbour tersebut, dalam Islam tercermin pada kelompok yang disebut Hoodbhoy sebagai kaum ‘rekonstruksionis’, yang secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntutan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam.[26] Upaya kaum rekonstruksionis ini, antara lain yang melahirkan seri-seri penafsiran al-Qur’an dengan sains (tafsir al-Qur’an bil-ilmi). Jika dalam pandangan penganut ortodoksi sains tidak termasuk ilmu yang dianjurkan untuk dituntut, dalam pandangan kaum rekonstruksionis ini, sains sudah dianggap sebagai ilmu yang patut dicari dan dikembangkan walaupun beberapa kalangan masih merasa perlu ‘mengislamkan-nya’ melalui proyek-proyek islamisasi sains. Upaya tersebut didasari pandangan bahwa teori-teori ilmiah bukanlah sekedar deskripsi dari fakta-fakta eksperimental atau sesuatu yang diderivasikan dari deskripsi tersebut. Tetapi fakta-fakta itu, harus dilihat dalam kerangka teori-teori, dan teori-teori itu disusun dengan dasar asumsi filosofis tertentu.[27] Oleh karena itu, proyek islamisasi sains tersebut, seharusnya dipahami sebagai upaya membangun peradaban ilmiah yang Islami, yang dikembangkan berdasarkan fondasi asumsi-asumsi filosofis yang digali dari sumber-sumber otoritas Islam (al-Qur`an dan Hadis).
D. Menyoroti Integralisme Sains dan Agama
Walaupun pada dasarnya tidak ada doktrin-doktrin al-Qur’an yang bertentangan dengan upaya pengembangan sains (bahkan sebenarnya banyak ayat al-Qur`an yang menganjurkan eksplorasi terhadap ayat-ayat kauniyah), namun proses sejarah telah memposisikan umat Islam terasing dari sains. Oleh karena itu ketika muncul kesadaran akan manfaat dan pentingnya sains ini bagi kemajuan peradaban umat Islam yang tertinggal jauh dibandingkan Barat yang menguasai sains modern, integralisme[28] nampaknya menjadi keyword untuk menghubungkan ‘sains’ dan ‘Islam’ yang terlanjur menjadi entitas yang terpisah dan bahkan mungkin dianggap bertentangan. Disisi lain, kenyataan bahwa penggunaan aplikasi sains modern tertentu telah menciptakan persoalan-persoalan bagi umat manusia, menciptakan kesengsaraan yang hebat bahkan mungkin fatal, menjadikan proses integrasi agama dan sains, sebagai sesuatu yang urgen.
Sains modern muncul di Barat, sejak masa renaissance pada abad XVI M. Paradigma yang digunakan sejak awal perkembangan sains modern tersebut, adalah paradigma Cartesian-Newtonian yang dalam tataran ontologis bersifat materialistik, mekanistik, dan atomistik; dalam tataran epistimologis: empirisme, rasionalisme, dan reduksionisme; sedangkan dalam tataran aksiologis bersifat: netralisme, humanisme, dan individualisme. [29] Setelah sekian lama mendominasi alam bawah sadar para ilmuwan moden, penggunaan paradigma tersebut mendapatkan kritik tajam dari berbagai kalangan, karena penerapan sains yang dianggap netral (bebas nilai) ternyata memperlihatkan dampak-dampak negatif, dan gagal mewujudkan sifat humanismenya yakni sebagai alat untuk menaklukan alam demi kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Lahirnya persenjataan pemusnah masal, pencemaran serta perusakan lingkungan dari penggunaan sains, menjadikan perlunya perubahan paradigma dalam pengembangan sains dan tekonologi modern tersebut.
Paradigma post-Newtonian yang bersifat holistik dalam tataran epistimologis, menjadi alternatif berikutnya. Wawasan ontologis paradigma post-Newtonian bukan lagi atomistik, melainkan kontekstualistik. Sedangkan dalam tataran aksiologisnya, sangat menekankan tujuan, sehingga bertentangan dengan paradigma Cartessian-Newtonian yang netral. Dalam wawasan post- Newtonian suatu struktur material mempunyai fungsi untuk memfasilitasi tujuan pembentukan bertahap struktur- struktur swa organisasi yang lebih besar, melalui berbagai proses evolusi, yakni dari evolusi kosmologis, melalui evolusi biologis, ke evolusi kultural. Oleh karena itu nilai-nilai sosial-humanistik tidak dapat dipisahkan, dan harus serasi dengan nilai-nilai ekologis naturalistik. Begitu pula nilai-nilai kemanusiaan yang individualistik tak dapat dipisahkan dan harus serasi dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang universal.[30]
Keserasian antara manusia dengan alam merupakan penekanan paradigma holistik post-Newtonian. Hal yang tidak tersentuh oleh paradigma alternatif tersebut adalah aspek transenden seperti Tuhan. Padahal dalam filsafat Islam, dimensi ketuhanan (tauhid) merupakan salah satu dimensi filsafat disamping alam dan manusia, yang ketiganya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu sains seharusnya merupakan manifestasi kesatuan religiusitas untuk meneguhkan kemanusiaan dan menegakkan moralitas serta spiritualitas. Dengan demikian, dalam ilmu pengetahuan Islam sebenarnya tidak dikenal adanya dikotomi ilmu agama dan non agama, atau ilmu duniawi dan ukhrawi.[31] Berkaitan dengan hal ini, Armahedi Mahzar mengemukakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam sebagai agama dengan sains, karena Din Islam merupakan kesepaduan yang kaffah, di mana wawasan aqidah Islam menyempurnakan wawasan sains tentang alam, wawasan syari’ah Islam menyempurnakan peradaban teknologi manusia, dan wawasan tariqah menyempurnakan manusia ilmuwan sebagai individu dengan mentalitas islami.[32] Oleh karena itu, yang diperlukan dalam mengintegrasikan sains dengan agama ini adalah perubahan mental para saintis muslim untuk mengintegrasikan paradigma Cartessian-Newtonian yang mekanistik dengan paradigma holistik post-newtonian, dan kemudian mengintegrasikannya dengan paradigma integralistik islami.
E. Fiqh dalam Konteks Sains
Dalam era dan konteks sains ini, hal lain yang juga harus disikapi selain mengurangi “keterasingan” umat Islam dan sains dengan menghilangkan jarak antara Din Islam dan sains tersebut adalah, mendamaikan pemahaman dan aplikasi keagamaan umat dengan pengaruh-pengaruh sains dan tekonologi. Penggunaan sains dan teknologi modern oleh kaum Muslim, ternyata tetap menimbulkan persoalan karena sedikit-banyak bersentuhan dengan pemahaman keagamaan umat Islam. Dalam hal ini, wilayah keagamaan yang mau-tidak mau ‘terpengaruh’ oleh kehadiran sains dan teknologi modern selain teologi, adalah fiqh, yang dominasinya dalam Islam tidak diragukan lagi. Diakui atau tidak, fiqh yang tersedia saat ini mempunyai dilema-dilema yang harus dikritisi lebih dalam. Fiqh sebagai proses ijtihadi dan dialektika antara doktrin dan realitas, dituntut bersuara atas zaman yang secara kontekstual berbeda sama sekali dengan zaman ketika fiqh dikodifikasi. Sementara perkembangan baru yang antara lain disebabkan perkembangan sains, menyebabkan rumusan fiqh klasik bersifat eksklusif dan tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern.
Dalam Islam, praktis tidak ada segi kehidupan manusia yang tidak tersentuh hukum dimana al-Qur’an dan al-Hadis sebagai penjelasan al-Qur’an, merupakan sumber primernya.[33] Sejak penafsir utama al-Qur’an yakni Nabi Muhammad saw wafat, dan secara otomatis Hadis tidak diproduksi lagi, kebutuhan hukum masyarakat Muslim dijawab melalui ijtihad oleh para Sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para Tabi’in, serta generasi berikutnya. Dari proses ijtihad penemuan hukum itulah kemudian melahirkan fiqh yang secara harfiah berarti pemahaman.
Dengan demikian, fiqh sebenarnya adalah hasil kreasi penafsiran manusia terhadap teks-teks yang bersifat qauliyah (yakni al-Qur’an maupun Hadis) secara kritis dan analitis, atau merupakan upaya untuk menjembatani teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang sangat universal menjadi praktis dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Oleh karena itu sebagai sebuah hasil penafsiran, fiqh tentunya tidak terlepas dan tidak bisa keluar dari konteksnya karena merupakan hasil kajian para fuqaha atas keadaan masyarakat setempat yang berkembang pada masanya, sehingga sebenarnya sangat mungkin untuk berubah sejalan perkembangan zaman dan berubahnya tempat. Namun kenyataannya, sejak dibakukannya mazhab-mazhab fiqh hasil kreasi ulama klasik, sampai sekarang fiqh tersebut tidak mengalami banyak perubahan. Bahkan, nampaknya fiqh tersebut tetap dijaga sedemikian rupa agar tetap sesuai dengan ‘aslinya’.
Dengan demikian, kemapanan fiqh (klasik) selama ini, telah ditantang oleh sains dan tekonologi yang terus berkembang jauh diluar dugaan para fuqaha yang merumuskannya. Misalnya perkembangan teknologi informatika (TI) yang mencengangkan, melahirkan bentuk-bentuk transaksi baru, yang tidak tercakup ke dalam obyek akad ataupun ruang lingkup akad yang ditetapkan para fuqaha. Atau teknologi bidang kedokteran, yang membutuhkan ijtihad baru, karena sangat sulit untuk merujuk pada pendapat para ulama klasik. Dengan kata lain, terjadi kesenjangan yang nyata, antara ajaran doktrin keagamaan yang paripurna, dengan tataran empirik yang senantiasa mengalami perubahan yang bersifat praksis dan aksial.[34] Dalam hal ini, ajaran Islam yang universal dituntut untuk mampu berinteraksi dengan konteks kemanusiaan yang menyertainya (ukhrijat li an-nas).[35]
Kontekstualisasi nampaknya menjadi jawaban dalam rangka mengatasi kesenjangan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks perkembangan sains dan teknologi ini, rekonstruksi fiqh pada dasarnya bukan hal yang tidak mungkin. Mengadaptasi rumusan yang ditawarkan Arthur Peacocke untuk merevisi teologi Kristen dalam konteks sains,[36]rumus yang bisa ditawarkan terhadap fiqh Islam dalam konteks sains dan teknologi ini adalah:
Si + FK = RF
Si : Realita dunia dan kemanusiaan yang ditemukan sains yang menganut paradigma integralisme islami.
FK : Doktrin-doktrin Fiqh warisan para ulama klasik
RF : Fiqh yang direvisi berdasarkan temuan-temuan sains dan teknologi.
Tawaran seperti ini menjadi mungkin dan masuk akal atas dasar asumsi bahwa sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa fikh bersifat kontekstual. Fiqh klasik merupakan hasil kreasi penafsiran para fuqaha terhadap teks-teks yang bersifat qauliyah (yakni al-Qur’an maupun Hadis) secara kritis dan analitis, atau merupakan upaya untuk menjembatani teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang sangat universal menjadi praktis dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari pada masa itu. Dalam proses penafsiran tersebut, diyakini bahwa para ulama sangat memperhatikan ‘secara empirik’ konteks masyarakatnya, yang jika dilihat dengan ukuran masa kini masih sangat sederhana dan nyaris tanpa temuan-temuan sains dan teknologi yang revolusioner seperti saat ini. Dengan demikian, ketika menafsirkan teks qauliyah, pada dasarnya para fuqaha juga melakukan penafsiran terhadap teks kauniyah yakni yakni realitas alam semesta, kondisi sosial-budaya dan politik masyarakat yang melingkupi mereka saat itu.
Oleh karena itu, ketika doktrin-doktrin fiqh periode klasik, dirasa banyak yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang dimana sains dan teknologi modern telah menyebabkan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupan manusia di segala bidang, maka diperlukan penjabaran ulang teks-teks qauliyah untuk kehidupan praktis masyarakat kontemporer. Dalam upaya penafsiran teks tertulis tersebut, juga tetap harus memperhatikan teks yang tidak tertulis atau realitas yang berkembang pada masyarakat. Dalam hal ini para ulama sebenarnya telah dibantu oleh para ilmuwan (baik ilmuwan alam ataupun sosial) dengan temuan-temuan mereka, karena sains dengan metode ilmiahnya, pada dasarnya merupakan hasil terbaik dari observasi indrawi manusia terhadap dunia fisik, atau teks-teks kauniyah.
Disamping itu, model pendekatan dicotomic-logic dalam istimbat hukum yang lebih berorientasi pada eternalistic-absolutistic-spiritualistic-logic yang digunakan hukum Islam dalam merespon perubahan selama ini, tidak lagi memadai. Oleh karena itu harus dikombinasikan dengan pendekatan lain yang bersifat dialectical-logic, yang lebih berorientasi temporalistic-relativistic-materialistic-logic, agar hukum Islam (fiqh) lebih luwes dan fleksibel, sekaligus dapat mengantisipasi dengan cepat perubahan masyarakat yang antara lain disebabkan perkembangan sains dan teknologi modern, dengan tetap berlandaskan prinsip-prinsip yang ada.[37]
F. Penutup
Jargon bahwa Islam shalihun likulli zaman wa makan, menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang kontekstual. Dengan demikian menjalankan Islam dalam konteks modern ini, pada dasarnya tidak harus sama persis dengan kaum muslim awal dalam bimbingan langsung Rasulullah di Madinah. Tentu dengan tetap menyepakati bahwa ada bagian-bagian syari’at yang bersifat abadi dan universal sepanjang zaman, sementara bagian lain yang bersifat lokal dan temporal bisa berubah sesuai konteks yang mengiringinya.
Oleh karena itu, mengidealkan kehidupan umat Islam masa klasik dengan mempertahankan ortodoksi pada dasarnya merupakan suatu hal yang sia-sia dan anti realitas. Setelah teridentifikasi penyebab-penyebab kemunduran dunia Islam, yang harus dilakukan segera adalah mengejar ketertinggalan tersebut. Menempatkan posisi sains sebagai al-‘ilm an nafi’ sebagaimana ilmu-ilmu agama, merupakan hal yang sewajarnya walaupun penanggulangan terhadap beberapa ekses negatif sains dan teknologi harus terus dipikirkan dan diupayakan. Upaya beberapa kalangan untuk mengintegrasikan dua kutub ilmu yang sekian lama terdikotomi dalam Islam, adalah hal yang patut diapresiasi, agar ‘ilmu’ dapat mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Amin. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.


DAFTAR BACAAN

Ahnaf, Moh. Iqbal, “Pergulatan Mencari Model Hubungan Agama dan Sains “, dalam Jurnal Relief, Nomor. 1 Vol. 1, Yogyakarta: 2003.
Asy’arie, Musa, “Epistimologi dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum”, Yogyakarta: Suka-Press, 2003.
Baiquni, Achmad, “Filsafat, Fisika, dan al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Nomor 4 Vol .II, 1990.
Barbour, Ian G. When Science Meets Religion, San Fransisco, Harper, 2000
Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987.
Hoodbhoy, Pervez, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Antara Sains dan Ortodoksi Islam, alih bahasa oleh Sari Meutia, Bandung: Mizan, 1996.
Janie, Umar A. “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum”, Yogyakarta: Suka-Press, 2003.
Mahzar, Armahedi. Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka, 1983).

______, “ Melampaui Paradigma Holistik; Sintesa Integralisme Islmam Post Newtonian”, makalah disampaikan dalam Seminar Sains dan Agama, BEMJ Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 15 Mei 2004.
Minhaji, Akh. “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, dalam Al-Jami’ah , No. 63/VI/1999.
Misrawi, Zuhairi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif, Jakarta:LSIP, 2004.
Nugroho,Wahyu, “Teologi Kristen Dalam Konteks Sains, Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke”, dalam Jurnal Relief, Nomor. 1 Vol. 1, Yogyakarta: 2003.
Raharjo, Dawam,”Ilmu” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4 Vol .II, 1990.
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
al-Razi, Al-Imam Muhammad Fakhruddin ibn al-‘Allamah, Tafsir al-Fakhr ar-Razi; at-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
[1] Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Antara Sains dan Ortodoksi Islam, alih bahasa oleh Sari Meutia, (Bandung: Mizan, 1996), h. 97.
[2] Menurut Achmad Baiquni definisi sains adalah: “himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang disimpulkan secara rasional dari hasil-hasil analisis kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh melalui observasi pada fenomena-fenomena alam”. Lihat Achmad Baiquni, “Filsafat, Fisika, dan al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an., Ibid., h. 4-12
[3] Dawam Raharjo,”Ilmu” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 4 Vol .II, 1990.
[4] Umar A. Janie, “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum”, (Yogyakarta: Suka-Press, 2003), h. 106
[5] Musa Asy’arie, “Epistimologi dalam Perspektif Pemikiran Islam”, dalam Menyatukan…, h. 35.
[6] Adapun teknologi didefinisikan sebagai: “himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif dan ekonomis.” Lihat Achmad Baiquni, “Filsafat….
[7] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 311. Dalam hal ini, menurut Coulson, al-Qur`an seolah-olah tidak lebih sebagai muqadimah dari suatu kitab hukum Islam, kitab yang kemudian dioperasikan oleh generasi-generasi berikutnya secara terus menerus. Lihat Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987), h. 24.
[8] Ortodoks (orthodox) dalam literatur keagamaan berbahasa inggris, berarti orang-orang yang lebih menekankan dasar-dasar naqliyyah (teks) daripada ‘aqliyyah (rasional). Lihat Hoodbhoy, Ikhtiar…, h. 6.
[9] Pada awalnya sikap rasional dari tradisi Helenistik berkembang dalam pemikiran Islam. Persentuhan tradisi tersebut dengan doktrin teologis melahirkan aliran teologis Jabariyah yang menekankan kehendak bebas (free will) yang kemudian memunculkan Mu’tazilah. Setelah melalui konstelasi politik dan pemikiran yang cukup sengit, pada akhirnya teologi Asy’ariyyah yang fatalistik mendominasi perjalanan pemikiran umat Islam selanjutnya. Lihat ibid., h. 167-182.
[10] Ibid., h. 204-205.
[11]Hoodbhoy, Ikhtiar…, h. 177.
[12] Walaupun demikian, sejarah tetap mencatat beberapa pemikir Islam yang bergulat dalam bidang sains yang disebut Hoodbhoy sebagai “pemikir yang mendahului zamannya” yakni antara lain: al-Kindi (801-873 M), al-Razi (865-925 M), Ibn Sina (980-1037 M), Ibn Rusy (1126-1198 M), dan Ibn Khaldun (1332-1406 M), Lihat. Ibid., h. 188-200.
[13]Hoodbhoy, Ikhtiar…, 25-27.
[14] Rahman, Islam, h. 311-312.
[15] Syed. M. Amir, “Science Research in Muslim Countries”, dalam M.A.K. Loudhi, Islamization of Attitudes and Practices in Science and Technology (Saudi Arabia: IIPH, 1989), h.16.
[16] Lihat Hoodbhoy, Ikhtiar…,h.210.
[17] Model-model hubungan agama-sains tersebut nampaknya dikembangkan Barbour dari pengamatannya dalam konteks tradisi Kristen-Barat sejak awal perkembangan sains modern, karena Barat memang bisa dikatakan sebagai tempat lahirnya sains dan teknologi modern.
[18] Lihat Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (San Fransisco, Harper, 2000), h. 10-17.
[19] Hoodbhoy, Ikhtiar…, h.100.
[20] Ibid., h. 101.
[21] Barbour, When Science…, h.17.
[22] Hoodbhoy, Ikhtiar.., h.112-118.
[23] Barbour, When Science.., h. 23.
[24] Ibid., h. 27.
[25] Moh. Iqbal Ahnaf, “Pergulatan Mencari Model Hubungan Agama dan Sains “, dalam Jurnal Relief, No. 1 Vol. 1, Yogyakarta: 2003, h.42.
[26] Hoodbhoy, Ikhtiar…,h. 105-112.
[27] Muzaffar Iqbal, Islam and Science, (Hampshire: Ashgate, 1988), h.296.
[28] konsep ini dikemukakan antara lain oleh Armahedi Mahzar. Lihat Armahedi Mahzar, Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka, 1983).
[29] Lihat Armahedi Mahzar, “ Melampaui Paradigma Holistik; Sintesa Integralisme Islmam Post Newtonian”, makalah disampaikan dalam Seminar Sains dan Agama, BEMJ Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 15 Mei 2004.
[30] Armahedi Mahzar, “ Melampaui…”.
[31] Bandingkan Musa Asy’arie, “Epistimologi dalam…”, h. 34
[32] Armahedi Mahzar, “ Melampaui…
[33] Jika dibandingkan dengan ajaran Yahudi ortodoks, regulasi yang ditetapkan dalam al-Qur`an sebenarnya lebih sedikit yang mengatur perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Namun di mata Barat, Islam tampak seperti “agama hukum”, sebab Islam memang ingin membentuk dan mengatur seluruh jalur kehidupan sehari-hari penganutnya. Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka hidayah, 2003), h. 89. Ke manapun seorang Muslim (yang secara literal berarti individu yang secara total tunduk dan patuh pada peraturan (hukum) Allah) melangkah dan dalam aktivitas apapun, baik bersifat material maupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keagamaan atau politis, ekonomis ataupun moral, (hukum) Islam selalu menyertainya. Lihat Yusuf al-Qardawi, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, alih bahasa Rofi’ Munawwar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h.123.
[34] Zuhairi Misrawi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif, (Jakarta:LSIP, 2004), h.2
[35] Al-Imam Muhammad al-Razi Fakhruddin ibn al-‘Allamah, Tafsir al-Fakhr ar-Razi; at-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 194-195.
[36] Rumusan yang ditawarkan Arthur Peacocke tersebut adalah:
S+CRE = RT
S : Realita dunia dan kemanusiaan yang ditemukan sains
CRE: Warisan komunal Yahudi dan Kristen yang dianggap sebagai pengalaman pernyataan (revelation) klasik dan teologi Kristen
RT : menunjuk kepada sebuah teologi yang telah direvisi secara radikal.
Lihat Wahyu Nugroho, “Teologi Kristen Dalam Konteks Sains, Kajian Kritis atas Gagasan Arthur Peacocke”, dalam Jurnal Relief, Ibid., h.18.
[37] Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, dalam Al-Jami’ah , No. 63/VI/1999. h. 18.

Tidak ada komentar: