Selasa, 12 Februari 2008

DISKURSUS OTENTISITAS

A. Pengantar
Dalam Islam, praktis tidak ada segi kehidupan manusia yang tidak tersentuh hukum. Walaupun jika dibandingkan dengan ajaran Yahudi ortodoks, regulasi yang ditetapkan dalam al-Qur`an sebenarnya lebih sedikit yang mengatur perilaku dalam kehidupan sehari-hari, namun di mata Barat, Islam tampak seperti “agama hukum”, sebab Islam memang ingin membentuk dan mengatur seluruh jalur kehidupan sehari-hari penganutnya.[1] Ke manapun seorang Muslim[2] melangkah dan dalam aktivitas apapun, baik bersifat material maupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keagamaan atau politis, ekonomis ataupun moral, (hukum) Islam selalu menyertainya.[3]
Dalam hukum Islam dikenal kaidah tagayyur al-ahkam litagayyur al-azman. Kaidah yang menunjukan azas fleksibilitas hukum Islam ini, bisa dipastikan sebagai antisipasi dari perkembangan yang merupakan suatu keniscayaan. Namun ketika sistem hukum yang dibangun oleh para imam dianggap telah baku, hukum Islam -dan berarti pelaksananya atau Muslim- seolah-olah terlalu sulit mengikuti apalagi mengontrol perkembangan yang terus berlangsung ke arah modernitas.[4]
Dalam banyak hal modernisasi dipersamakan dengan westernisasi. Maka pilihan untuk menerima atau menolak modernisasi, hampir selalu diartikan sebagai meniru Barat agar bisa maju seperti mereka, atau menolak segala pengaruh budaya Barat dan tetap terbelakang, sehingga seolah-olah tidak mungkin menjadi modern dengan tetap menjadi Muslim, dalam pengertian orang yang selalu melaksanakan “hukum Allah”.
Ketika menerima modernisasi (yang cenderung diartikan westernisasi), yang terjadi pada umumnya adalah peniruan budaya secara membabi-buta dengan segala ekses negatifnya, yang sering berarti mengabaikan hukum atau tata nilai yang berlaku sebelumnya.[5] Kenyataannya, hal tersebut belum mampu mengejar ketertinggalan kaum Muslim dari Barat, yang kebanyakan justru ‘kehilangan’ basis peradabannya, sehingga terperangkap di antara dua budaya, menjadi konsumen yang frustasi atas teknologi asing yang tidak mampu mereka kuasai sepenuhnya.[6] Dalam konteks ini, kemodernan telah terbukti menggerogoti budaya, nilai, dan identitas tanpa memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya, sehingga “otentisitas” yakni secara sederhana merupakan suatu proses pencarian ‘jati diri’, kemudian menjadi sesuatu yang dirasa penting.[7]
Dari uraian di atas, terlihat bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara modernitas dan perlunya dinamika pemikiran hukum Islam, serta pencarian keotentikan sebagai alternatif bagi kegagalan modernisasi (dalam artian westernisasi). Makalah ini ditulis dalam upaya mengkaji hal tersebut. Pada bagian akhir akan dilihat diskursus otentisitas dalam permasalahan ekonomi, yang sebagaimana bidang-bidang lainnya, juga diatur oleh hukum Islam.
B. Tantangan Modernitas Dalam Sejarah Hukum Islam
Islam, sejak masa konsepsinya telah menghadapi dan menjawab tantangan-tantangan intelektual maupun spiritual. Bahkan wahyu al-Qur’an sendiri, sebagian adalah merupakan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang dilontarkan kepadanya oleh agama-agama Yahudi dan Kristen yang lebih tua perkembangannya. Kemudian, serangkaian krisis intelektual dan kultural timbul dalam Islam masa awal (dari abad ke-2 H/8 M-4 H/10 M). Yang paling serius dan signifikan adalah yang dihadapkan oleh intelektualisme Hellenis. Namun tantangan-tantangan tersebut, oleh kaum Muslim -yang pada waktu itu secara psikologis tak terkalahkan demikian juga secara politis-, dihadapi dengan cara berassimilasi, menolak ataupun menyesuaikan diri dengan pengaruh-pengaruh baru tersebut. Terlebih lagi Islam tidak dibebani oleh beban tradisi yang mati, sehingga justru unsur-unsur dan aliran pemikiran barulah yang sebagian besar mensuplai dan membangun kandungan Islam itu sendiri.[8]
Keberhasilan Muslim generasi awal tersebut, tidak diikuti oleh penerusnya ketika pengaruh-pengaruh Barat memasuki Dunia Islam pada abad 18 M, dan berlanjut sampai abad 19 dan 20 M, bahkan mungkin hingga kini. Kegoyahan yang timbul dari kekalahan-kekalahan politik oleh negara-negara Barat imperialis serta missi-missi Kristen, menjadikan kaum Muslim secara psikologis kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dalam menjawab tantangan intelektual dan pemikiran modern melalui proses-proses assimilatif-kreatif.[9] Keadaan yang salah satu penyebab utamanya, secara positif diyakini diakibatkan oleh kejumudan yang melanda Dunia Islam dengan berkembangnya slogan ‘tertutupnya pintu ijtihad’.
Imbasnya dalam perkembangan hukum, dominannya teori taqlid (kesetiaan yang ketat terhadap doktrin yang sudah mapan), menyebabkan semakin jelasnya pertentangan-pertentangan yang tak dapat diakurkan antara hukum Islam (tradisional) dengan kebutuhan masyarakat Muslim. Dalam keadaan ini, nampaknya sangat menarik bagi kaum Muslim untuk meninggalkan hukum Islam tersebut, dan mengatur diri dengan patokan-patokan serta nilai-nilai Barat. Pengesampingan terhadap hukum Islam tradisional tersebut, yang paling mencolok terjadi dalam lapangan hukum publik, serta transaksi sipil dan transaksi komersial. Karena memang pada bidang-bidang tersebutlah, terletaknya kekurangan-kekurangan sistem hukum Islam tradisional dalam sudut pandang dan tuntutan era modern.[10]
Yang juga tidak dapat didukung oleh pandangan modern adalah bentuk tradisional dari yurisdiksi pidana serta beberapa permasalahan hak asasi manusia. Dalam sudut pandang Barat yang modern, bisa jadi hukum Islam kelihatan begitu mengerikan. Bahkan substansi hukum Islam, seoalah-olah bisa diringkas dalam tiga kata saja, yakni: purdah, rajam, dan potong tangan. Kenyataan bahwa ketika kaum Muslim bermaksud untuk mendirikan suatu “Negara Islam” pemberlakuan hal-hal tersebutlah yang digaungkan pertama kali, stereotif Barat itu tampaknya tak begitu mengherankan.
Usaha-usaha pembaharuan yang terjadi pada masa-masa tersebut (abad 18-19 M), tentu saja merupakan hal yang penting untuk dicatat dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Upaya tersebut didorong karena adanya kebutuhan untuk kembali kepada kepercayaan yang asli, untuk menemukan kembali landasan-landasannya, dengan harapan bahwa agama itu dapat dihidupkan kembali dan dilihat dengan pandangan yang baru, agar menjadi sarana yang signifikan untuk memecahkan masalah-masalah masa kini. Hal inilah sesungguhnya hakikat ‘fundamentalisme’.[11]
Gerakan fundamentalisme, paling tidak dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama fundamentalisme literer yang perhatian utamanya adalah kembali kepada teks wahyu (mencakup al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai satu satunya sumber yang mutlak yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan secara harfiah kata demi kata. Kedua fundamentalisme rasional, yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah atau ke masa lalu yang dikenal dengan gerakan salafiyah, tetapi kecenderungannya tidak sesempit fundamentalisme literer yang memahami wahyu secara harfiah saja.[12]
Gerakan kedua tersebut yang merupakan reaksi terhadap kelumpuhan dan kemerosotan serta ketergantungan Dunia Islam yang semakin besar pada Barat ini, menuntut agar dibukakannya pintu bagi usaha-usaha menuju pemahaman modern atas Islam (ijtihad), disamping berusaha membersihkan Islam dari unsur-unsur luar yang telah menyusup sebagai ajaran Islam, penyimpangan-penyimpangan sufi, dan unsur-unsur heretik.[13]
Satu hal revolusioner yang juga dihasilkan gerakan salafiyah, adalah upayanya untuk menetapkan perbedaan konseptual antara syari’at sebagai hukum ilahi al-Qur’an di satu sisi, dan bangunan yurisprudensi dan keilmuan al-Qur’an yang merupakan norma-norma hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an disisi lain yang tidak mengikat manusia untuk selama-lamanya karena berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan juga bersifat lokal.[14]
Namun, para perintis gerakan salafiyah (fundamentalisme rasional) tampaknya masih berhati-hati dengan seruan mereka bahwa pintu ijtihad telah dibuka kembali. Mereka menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat bagi orang-orang yang akan melakukan penafsiran baru. Bahkan para ulama yang sebenarnya telah memiliki syarat-syarat tersebut, kenyataannya tidak terlalu inovatif. Sehingga pintu penafsiran baru memang telah terbuka baginya, tapi ternyata ia tidak berjalan melewatinya.[15]
Perkembangan terakhir ( + sejak tahun 70-an), fundamentalisme rasional tidak lagi diwakili dan didukung oleh ulama-ulama reformis, namun oleh kaum cendikiawan di bidang sains dan teknologi didikan universitas-universitas Barat /universitas dengan metodologi Barat, tetapi masih terikat pada Islam dalam lingkup etika dan moral. Ketika terjun menjadi tenaga penggerak politik dan re-islamisasi, gerakan mereka cenderung mengarah kepada radikalisme terutama jika berhadapan dengan rezim-rezim yang menurut mereka tidak islami. Karena pada dasarnya tidak dibekali kemampuan yang dipersyaratkan para ulama perintis di atas, mereka membaca al-Qur’an dengan cara yang nyaris naif dan tanpa filter. Kemudian secara selektif mengambil darinya bagian-bagian yang tampaknya mengandung makna penting dan berkaitan langsung dengan diri mereka secara pribadi.[16] Julukan kaum fundamentalis dewasa ini, nampaknya hanya ditujukan bagi kelompok terakhir tersebut, sehingga fundamentalisme selalu berkonotasi negatif bahkan disamakan dengan terorisme.
C. Diskursus Otentisitas
Fundamentalisme (dalam pengertian-pengertian di atas), bukanlah satu-satunya bentuk reaksi kaum Muslim terhadap modernitas. Terdapat suatu gejala intelektual yang mirip dengan fundamentalisme rasional dan secara historis merupakan kelanjutan dari fundamentalisme rasional kaum salafy, tetapi agak berbeda ketika menyikapi modernisasi. Perbedaan sikap tersebut, bisa jadi disebabkan oleh semakin nyatanya kegagalan modernisme (yang sebenarnya bertujuan menyediakan logika bagi kolonialisme, liberalisme dan developmentalisme) yang belum begitu dirasakan para pendahulunya. Atau karena persentuhan langsung mereka dengan Dunia Barat secara akademis, sehingga metode-metode barat mempengaruhi cara berpikir mereka. Mereka adalah para penganjur ‘pencarian keotentikan/otentisitas’,[17] yang sering disebut kaum intelektual/cendikiawan Muslim.[18]
Konteks berpikir dan menulis kaum intelektual tersebut sangat berbeda dengan konteks kaum (ulama) modernis sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh masyarakat mereka (perjuangan anti kolonial, modernisasi sekuler, kerakyatan atau sosialis), sudah tentu turut mewarnai cara mereka memandang masyarakat, dunia, dan memandang Islam itu sendiri. Selanjutnya, karena pengaruh ekonomi global dan proses-proses budaya dirasakan lebih kuat daripada yang pernah terjadi sebelumnya, mengharuskan kaum intelektual tersebut terlibat dalam wacana-wacana global tentang hak asasi, demokratisasi, pluralisme, dan masyarakat sipil, yang kemudian mengerucut ke dalam pembicaraan mengenai nilai-nilai universal dan keaslian budaya.[19]
Ketika terjadi benturan antara islamitas (dalam pengertian sumber pokok Islam), modernitas, dan lokalitas, kaum fundamentalis rasional/ kaum salafy (yang telah berhasil merumuskan adanya perbedaan antara syari’at dengan fiqh) mengatasinya dengan mendialogkan antara ketiga unsur tersebut, melalui pemahaman modern (ijtihad) mereka terhadap kandungan al-Qur’an. Sedangkan yang dilakukan para penganjur otentisitas ketika terjadi benturan tersebut, menurut Robert D. Lee adalah lebih dari itu, yakni berusaha “melampaui” dan kemudian “melihat” di balik permukaan segala sesuatu dari ketiga unsur tersebut, untuk merasakan “saripati budaya”, dan kemudian berusaha menciptakan landasan-landasan baru, yang menunjukkan keotentikan.[20]
Para intelektual itu, dengan kemampuan mereka, berusaha menciptakan standar keotentikan tersebut dan menjadi pembuat keputusan dalam berbagai persoalan bagi masyarakatnya. Masyarakat yang telah terlanjur dicekoki konsepsi yang yang tidak sesuai dengan akar mereka dan ternyata mengikuti tradisi yang tidak mereka ketahui asal-usul dan makna sesungguhnya itu. Sehingga penciptaan standar penilaian bagi pemikiran dan perilaku untuk mengisi kehampaan makna tersebut, adalah hal yang mendesak.[21] Oleh karena itu mereka berusaha menemukan kembali, atau bahkan menciptakan landasan-landasan baru mengenai berbagai permasalahan kemodernan (hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.). Dalam pengertian yang luas, standar-standar atau landasan-landasan hasil pemikiran tentang keotentikan tersebut, menciptakan hukum-hukum baru bagi masyarakat Muslim, yang jika didukung kekuatan politik, bisa menjadi sesuatu hal yang mengikat.[22]
Standar tentang keotentikan yang berusaha ditetapkan para intelektual penganjur keotentikan tentu saja berbeda-beda, karena mereka masing-masing melakukan pembacaan yang unik atas ‘Islam’ yang berkembang dalam masyarakatnya.[23] Oleh karena itu, mereka memegang teguh pentingnya Islam bagi setiap individu, sehingga penafsiran tidak mereka biarkan hanya diserahkan kepada para penafsir utama saja- baik ulama maupun negara. Dengan mempersoalkan kembali para subyek penafsir ini, membuat mereka terlibat dalam pertandingan terbuka dengan kekuatan-kekuatan yang lebih menyukai ‘batang tubuh ajaran’ Islam tetap dalam keadaan terkunci, dan terkungkung dalam bidang-bidang yang ekslusif, walaupun tidak mampu menjawab tantangan zaman.[24]
D. Otentisitas Dan Diskursus Ekonomi Islam
Kegagalan modernisasi yang paling terasa adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme yang akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam,[25] kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations.[26] Oleh karena itu, ketika era ‘kebangkitan Islam’ terjadi sekitar tahun 70-an, gagasan-gagasan tentang ekonomi Islam bermunculan, bahkan mulai diimplementasikan, di antaranya dengan mendirikan bank-bank syari’ah.
Dalam permasalahan ekonomi, pencarian akan sistem ekonomi Islam yang otentik, melahirkan tiga mazhab pemikiran. Semua mazhab tersebut merujuk kepada Islam sebagai alternatif dari sistem ekonomi konvensional yang notabene berakar dari kebudayaan Barat, dan dalam prakteknya banyak bertentangan dengan hukum Islam. Ketiga mazhab tersebut adalah: mazhab Iqtisaduna (disebut mazhab pertama)[27], mazhab mainstream (disebut mazhab kedua)[28], dan mazhab alternatif (disebut mazhab ketiga)[29].
Mazhab pertama (iqtisaduna), dalam menyikapi ilmu ekonomi konvensional adalah menegasikannya sama sekali, atau menolak teori-teori ekonomi konvensional serta berusaha membangun teori menurut ‘Islam’ dari nol. Sementara mazhab kedua (mainstream), dalam menyikapi ilmu ekonomi konvensional adalah mengambil yang baik, dan meninggalkan yang buruk yakni yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur`an dan Sunnah Rasul. Sedangkan mazhab ketiga (alternatif) bersikap lebih kritis lagi terhadap ilmu ekonomi konvensional, juga terhadap kedua mazhab sebelumnya. Menurut mazhab ketiga, membangun teori dari nol sebagaimana yang ingin dilakukan mazhab pertama adalah tidak mungkin karena menafikan ilmu yang telah ada. Sedangkan mazhab kedua, pada dasarnya hanyalah jiplakan dari ilmu ekonomi konvensional, dengan menghilangkan riba dan menambahkan zakat serta niat.[30]
Sebagaimana telah diuraikan di atas, karakteristik dari pencarian otentisitas, adalah tidak dimungkinkannya mensahkan satu pembacaan ‘unik’ dan menganggapnya sebagai satu-satunya wacana “Islam otentik”. Demikian pula dalam wacana ekonomi Islam ini, mazhab-mazhab pemikiran yang berkembang, bisa dianggap sebagai otentik dari Islam, tetapi tidak dapat disahkan sebagai satu-satunya “pemikiran ekonomi Islam yang otentik”. Adapun mengenai eksistensinya, sebagai sebuah teori sangat mungkin diuji oleh teori yang lain, dan kemampuannya bertahan serta besarnya jumlah pendukung teori tersebut, yang akan membuktikan keotentikannya.
E. Penutup
“Islam” tidak kebal terhadap perubahan sosial dan perkembangan zaman. Oleh karena itu kecenderungannya dalam mengatur seluruh segi kehidupan umatnya, menjadikannya harus selalu dinamis mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut, sehingga pemikiran ‘hukum Islam” seyogyanya senantiasa terus berkembang agar tidak ditinggalkan penganutnya.
Diskursus otentisitas pada dasarnya merupakan mata rantai terakhir dari perkembangan pemikiran hukum Islam, yang diusung oleh para intelektual Muslim, dengan berusaha menemukan kembali, atau bahkan menciptakan landasan-landasan baru mengenai berbagai permasalahan kemodernan seperti hukum itu sendiri, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987.

Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam, alih bahasa E. Kusnadiningrat Jakarta: Rajawali Press, 2000

Hofmann, Murad W. Menengok Kembali Islam Kita, alih bahasa Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003

Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.

Karim, Adiwarman, dkk. , Islamic Microecoomics , Jakarta: IIIT Indonesia, 2001.

Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik, alih bahasa oleh Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000.

Pratiknya, Ahmad W. “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986.

Al-Qardawi, Yusuf, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, alih bahasa Rofi’ Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995

Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Van der Meij, Dick, Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, Jakarta: INIS, 2003 .





[1] Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka hidayah, 2003), h. 89. Padahal ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an sebenarnya hanya berjumlah sekitar 500 ayat. Lihat Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, alih bahasa E. Kusnadiningrat (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h.14.
[2] Kata Muslim secara literal berarti individu yang secara total tunduk dan patuh pada peraturan (hukum) Allah.
[3] Menurut Qardawi Hal ini sudah merupakan karakteristik Islam. Lihat Yusuf al-Qardawi, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, alih bahasa Rofi’ Munawwar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h.123.
[4] Dengan anggapan bahwa segala yang perlu diketahui telah diketahui dan difahami oleh generasi-generasi yang lebih dekat dengan sumbernya, taqlid (peniruan) menjadi suat model bahkan satu-satunya model. Suatu stagnasi yang sebenarnya tidak ‘islami’ dalam kehidupan intelektual, yang menyebabkan dunia Islam jatuh ke jurang inkompetensi, kelesuan, dan kemerosotan. Ditambah pula dengan pengabaian terhadap ilmu-ilmu alam yang menekankan rasionalitas, serta pukulan terhadap titik-titik syaraf pusat kebudayaan Islam (Cordoba tahun 1236 M dan Baghdad tahun 1258 M) oleh kaum Nasrani dan bangsa Mongol, melengkapi kejatuhan dan ketertinggalan dunia Islam. Sementara Di sisi lain, Barat mengalami perkembangan yang luar biasa di bidang sains dan teknologi sejak renaisance, yang menyebabkan dinamisme ekonomi dan militer, dan pada gilirannya kekuatan imperialisme mereka tidak dapat dihalangi negara-negara muslim. Sejak itu tampaknya hanya masalah waktu sebelum Barat, menjadi ‘contoh wajib’ kebudayaan dunia. Hofmann, Menengok …., h. 31-32.
[5] Saluran-saluran yang menjadi jalan masuk pengaruh ini tak terhitung banyaknya, seperti: struktur politik, mekanisme pemerintahan dan pengadilan, ketentaraan, pendidikan modern, film, media massa,pemikiran modern, dan di atas segalanya adalah kontak langsung dengan Dunia Barat. Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.313.
[6] Hofmann, Menengok …., h. 85.
[7] Robert D.Lee, Mencari Islam Autentik, alih bahasa oleh Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000),h. 219.
[8] Rahman, Islam, h. 311. Dalam hal ini, menurut Coulson, al-Qur`an seolah-olah tidak lebih sebagai muqadimah dari suatu kitab hukum Islam, kitab yang kemudian dioperasikan oleh generasi-generasi berikutnya secara terus menerus. Lihat Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987), h. 24.
[9] Rahman, Islam, h. 311-312.
[10] Coulson, Hukum Islam.., h.175-176.
[11] Hofmann, Menengok …., h.116. Istilah fundamentalisme sebenarnya tidak ada padanannya dalam bahasa Arab. Istilah itu ciptaan barat yang dimaksudkan untuk melukiskan fenomena Barat. Untuk menggambarkan fenomena yang serupa, belakangan ini bangsa Arab menciptakan istilah al-usuliyah (berkaitan dengan sumber pokok), lihat Ibid., h. 117
[12] Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi (W. 1763), Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, pendiri wahabisme (W.1787), Muhammad ibn al-Sanusi, Pendiri gerakan Sanusi di Libya (W. 1860), Gerakan Ikhwan al-Muslimin Mesir, dan Jama’at al-Islami Pakistan, menggunakan pendekatan literer ini. Hofmann, Menengok ….., h.118.
[13] Gerakan ini antara lain dikembangkan oleh: Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Syaikh ibn Badis, dan Muhammad Asad. Ibid.,h. 121.
[14] Lihat Ibid h. 122.
[15] Ibid., h. 124.
[16] Hofmann, Menengok ….., h.125.
[17] Empat di antaranya yang dianggap sebagai tokoh pelopor yang merepresentasikan pemikiran keotentikan Islam, adalah: Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Ali Syari’ati, dan Muhammad Arkoun. Lihat Robert D.Lee, Mencari Islam….
[18] Cendikiawan (intelektual) ialah orang yang karena pendidikannya –baik formal, informal, maupun non formal, mempunyai perilaku cendikia, yang tercermin dalam kemampuannya menatap, menafsirkan, dan merespon lingkungan sekitarnya dengan sifat: kritis, kreatif, obyektif, analitis, dan bertanggung-jawab. Karena sifat-sifat tersebut menjadikan cendikiawan memiliki wawasan dan pandangan yang luas, yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Lihat Ahmad W. Pratiknya, “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 3.
[19] Martin van Bruinessen, Kata Pengantar untuk Farish A. Noor, “Suara Baru Tentang Islam” dalam Dick van der Meij, Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: INIS, 2003), h. 160.
[20] Robert D.Lee, Mencari Islam …, h. 33.
[21] Robert D.Lee, Mencari Islam…, h. 33.
[22] Walaupun demikian kaum intelektual muslim tersebut, tidak menunjukkan suatu sikap umum baik dalam urusan-urusan keagamaan, kehidupan budaya, ataupun kehidupan politik. Mereka kerap kali mengambil posisi yang berbeda dalam perdebatan-perdebatan yang sangat penting, dan wacana mereka bukanlah satu-satunya wacana. Kadang-kadang di antara mereka ada yang menjalin hubungan erat dengan gerakan-gerakan oposisi Islam, sementara yang lainnya lebih dekat dengan pemikiran yang resmi. Tetapi disebabkan oleh pemikirannya yang “merdeka”, maka baik pemerintah maupun gerakan-gerakan Islam seringkali mencurigai (tidak mempercayai) mereka. Kemungkinan pengaruhnya yang besar di kalangan generasi terdidik, merupakan suatu alasan tambahan untuk kecurigaan. Bruinessen, dalam Van der Meij, Dinamika…, h. 160.
[23]Robert D.Lee, Mencari Islam…, h. 222.
[24]Farish A. Noor, “Suara Baru…, dalam Van der Meij, Dinamika…, h.163.
[25] Weber yang antara lain mengatakan: 1) tidak mungkin mengembangkan kapitalisme tanpa adanya kelas atau kelompok wirausahawan, 2) tidak mungkin ada kelas wirausahawan tanpa satu dasar moral, dan 3) tidak ada dasar moral tanpa keyakinan keagamaan (religious premises), memastikan bahwa dasar moral Kapitalisme (Barat) adalah Ajaran Protestan. Lihat Max Weber,
[26] Lihat Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), h.3-7.
[27] Pendukung mazhab iqtisaduna antara lain: Dr. Kadim Sadr, Dr. Baqir al-Hasani, dan Dr. Abbas Mirakhor. Ibid, h.162.
[28] Pendukung mazhab mainstream antara lain M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, Metwally, dll. Ibid. h.165.
[29] Pendukung mazhab alternatif ntara lain M.A Choudhury, M.Arib, dan Timurkuran. Ibid. h. 168.
[30] Penjelasan lebih rinci lihat Adiwarman Karim dkk. , Islamic Microecoomics , (Jakarta: IIIT Indonesia, 2001).

Tidak ada komentar: