Selasa, 12 Februari 2008

CLIFFORD GEERTZ: AGAMA SEBAGAI SISTEM KEBUDAYAAN

A. Mengenal Clifford Geertz
Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California pada tahun 1929. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, ia melanjutkan ke Antioch College sampai mendapat gelar BA dalam bidang filsafat pada tahun 1950. Ia melanjutkan studinya ke harvard dan mendalami antropologi. Tahun ke-dua di Harvard, ia melakukan studi lapangan di Jawa dan menetap selama dua tahun bersama istrinya. Sekembalinya ke Harvard, ia meraih gelar doktor dalam bidang antropologi dari Departement of Social Relation tahun 1956.
Kemudian Geertz kembali memilih lokasi penelitian di Indonesia, tepatnya Bali dan risetnya di sini selesai tahun 1958. Missinya sebagai antropolog adalah etnografi, yakni memberikan deskripsi rinci dan sistematis dari masyarakat yang dijadikan obyek kajiannya, serta mengungkapkan bagaimana keragaman aspek-aspek kehidupan masyarakat bisa melebur menjadi sebuah kebudayaan yang utuh. Riset-risetnya di Jawa dan Bali merupakan fondasi utama tulisan dan analisis-analisis selanjutnya.[1]
Sekembalinya dari Bali, Geertz bergabung dengan Universitas California di Berkeley, kemudian pindah ke Universitas Chicago dan mengabdi di sana antara tahun 1960-1970. Mulai tahun 1960 Geetz melakukan studi lanjutan, dan memilih masyarakat Muslim Maroko di Afrika Utara, suatu masyarakat Muslim yang sama sekali berbeda dengan masyarakat Muslim Asia Tenggara (Jawa). Studinya di Maroko dilakukan dengan mengadakan lima kali kunjungan ke kawasan ini.
Pada tahun 1970, Geertz adalah satu-satunya ilmuwan antropologi yang bergelar profesor pada Advanced Study di Princeton, New Jersey tempat ia melakukan riset-risetnya. Gelar ini diberikan antara lain karena kritikan-kritikannya yang tajam tentang masalah-masalah teoritis yang penting dalam antropologi, dan kemudian membangun analisis-analisis berdasarkan ketidak-setujuannya terhadap ilmu sosial kuno.[2]
Buku-buku yang dihasilkan dari riset-risetnya antara lain: The Religion of Java (1960) yang menjelaskan kepercayaan, ritual, dan adat istiadat di tempat risetnya (Jawa); Agricultural Revolution (1963) membahas tentang masalah lingkungan dan ekonomi di Indonesia, serta tantangan dan peluangnya pasca Kolonial; Peddler and Princess (1963), berisi perbandingan kehidupan ekonomi di Jawa dan Bali; The Social History of an Indonesian Town (1965) mengupas tentang kepercayaan simbol, ritual, dan adat kebiasaan masyarakat sebuah kota kecil di Jawa (Mojokuto); Islam Observed (1968), dengan buku ini geertz mampu membuat perbandingan dalam satu jenis agama (Islam) dengan dua setting yang berbeda (Jawa/Indonesia dan Maroko); Meaning and Order in Marocean (1960) merupakan kumpulan tulisannya bersama beberapa ilmuwan lain; The Interpretation of Cultures (1973), sebuah adikarya yang mendapat sambutan luas; dan Local Knowledge(1983), kumpulan tulisan yang muncul belakangan yang juga mendapat sambutan yang luar biasa.
B. Geertz, dan Teori-teori Yang Mempengaruhi Perspektif Antropologinya
Boas, Kroeber dan Lowie, menekankan bahwa ‘kebudayaan’ merupakan kata kunci bagi studi antropologi.[3] Menurut mereka, dalam penelitian lapangan, yang harus diselidiki bukan hanya masyarakat (komponen material dan struktur satu komunitas manusia) semata-mata, tetapi sistem yamg lebih luas dari itu, yakni meliputi ide, adat istiadat, perilaku, simbol dan institusi-institusi dalam suatu masyarakat. Pandangan yang hampir sama dikemukakan oleh Ruth Benedict, yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan kata kunci untuk memahami umat manusia, ataupun (bahkan) seorang indvidu.
Geertz sangat tertarik dengan ide-ide para peneliti di atas yang kemudian mempengaruhi perspektif antropologinya. Dalam hal ini, Geertz sangat yakin bahwa antropologi sebelum dilanjutkan ke tahap berikutnya harus didasarkan pada etnografi terlebih dahulu. Fokus utamanya harus ditujukan pada satu tempat dan satu masyarakat, sehingga kesimpulan general hanya akan muncul dari studi yang mendalam yang difokuskan pada satu titik ini. Karena pintu gerbang untuk memasuki kehidupan masyarakat lain akan terbuka lebar apabila struktur-strukrut sosial seperti keluarga, klan, ataupun sistem hukum telah diamati dan dipahami.[4] Juga karena kesaling-terkaitan ide, motivasi, dan aktivitas-aktivitas secara keseluruhan dalam masyarakat yang diteliti itulah yang disebut kebudayaan.
Oleh karena itu kebudayaan sebenarnya adalah sumber tempat seorang individu mengambil pelajaran bagaimana harus bertindak dalam hidupnya. Dengan demikian Geertz meyakini ide tentang kebudayaan sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang obyektif, riil dan permanen, sehingga pendekatan yang dilakukan Geertz dinamakan “antropologi simbolis”. Dalam hal ini, pengaruh Max Weber melalui terjemahan-terjemahan Talcot Parson tampak besar sekali terhadap pemikiran Geertz, karena memang Weberlah ilmuwan yang paling sering dirujuk Geertz dan mewarnai hampir setiap tulisannya.[5]
Pengaruh Weber terhadap Geertz, juga didapatkannya melalui The Structure of Social Action (1934) tulisan Parson tentang jalan pemecahan masalah-masalah kebudayaan. Parson mengembangkan pandangan bahwa seluruh kelompok manusia terdiri dari tiga level bentuk organisasi; (1) kepribadian individual yang berasal dan dibangun oleh (2) sistem sosial, yang pada gilirannya sistem ini akan dikontrol oleh (3) satu “sistem kebudayaan” yang terpisah. Sistem kebudayaan yang berisi jaringan tata nilai, simbol, kepercayaan-kepercayaan yang kompleks ini memiliki integrasi tak terpisahkan dengan individu dan masyarakat.
Demikianlah, Weber, Parson, dan atropolog-antropolog yang telah disebutkan di atas, telah mendasari perspektif antropologi yang dikembangkan Geertz, sehingga Geertz mampu menggabungkannya ke dalam suatu program yang lengkap tentang antropologi interpretatif/interpretive anthropology atau lebih dikenal dengan simbolic anthropology, yang menampakkan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji makna kebudayaan manusia.[6] Dalam hal ini Geertz dipengaruhi oleh Ricoeur yang mengatakan bahwa kata “hermeneutik” yang berarti penafsiran tentang dokumen dalam karya sastra, maknanya terkait dengan penafsiran-penafsiran dalam studi tentang kebudayaan.[7]
C. Tinjauan Antropologi Interpretatif Geertz Tentang Kebudayaan
Menurut Geertz, kalau ingin memahami aktivitas kebudayaan -yang salah satu elemen terpentingnya adalah agama- maka seorang peneliti tidak punya pilihan lain kecuali menemukan metode-metode yang tepat. Karena dalam membicarakan manusia, yang hidup dalam sistem makna yang kompleks yang disebut kebudayaan,[8] pendekatan sekedar ‘menjelaskan’ perilaku mereka seperti yang dilakukan oleh para ilmuwan alam dalam menyelidiki sekawanan ikan atau serangga, tidaklah memadai.
Pendekatan yang ditawarkan Geertz untuk menyelidiki kebudayaan adalah apa yang disebut oleh filosof Inggris Gilbert Ryle dengan “Thick Description” (deskripsi/ pelukisan mendalam). Istilah ini dikaitkan dengan kegiatan La Paenseur (sang pemikir)yang sedang melakukan kegiatan ‘memikirkan dan merefleksikan’dan ‘memikirkan pikiran-pikiran’. Dengan cara ini, biasanya penelitian dilakukan dengan mengambil suatu obyek yang terbatas, sehingga pelukisan terhadap suatu kebudayaan menghasilkan suatu paparan yang bersifat mikroskopis, deskripsi tentang makna dan sistem simbol dalam masyarakat.[9]
Maka menurut Geertz, etnografi dan juga antropologi secara umum, harus selalu melibatkan ‘pelukisan mendalam’ ini, sebagai kebalikan dari ‘pelukisan dangkal’ (Thin Description). Tugas etnografer atau antropolog tersebut, bukan hanya sebatas mendeskripsikan struktur suku-suku atau rtual-ritual masyarakat yang ditelitinya saja, tetapi juga mencari makna, menemukan apa yang sesungguhnya berada di balik perbuatan mereka, atau makna yang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, struktur, dan kepercayaan mereka.[10]
Lebih lanjut mengenai makna, Geertz berpendapat bahwa makna dalam kebudayaan bersifat publik, dan kembali kepada konteks masyarakat pendukungnya, karena mereka saling berbagi konteks makna dalam kebudayaan tersebut. Sehingga menurutnya, secara sosial kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna dalam terma-terma berupa sekumpulan tanda yang dengannya masyarakat melakukan suatu tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya, ataupun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian menghilangkannya. Dengan demikian, kebudayaan menemukan artikulasinya melalui alur tingkah laku, atau melalui tindakan sosial.
Ketika meneliti kebudayaan, seorang antropolog harus mencoba merekonstruksi masyarakat yang diteliti. Dalam hal ini, penafsiran mereka terhadap dokumen/teks yang bersifat publik(kebudayaan) itu, harus didasarkan pada pandangan , yang berasal dari pandangan asli pendukung kebudayaan tersebut (native’s point of view).[11] Jadi kajian antropologi yang interpretif, harus menghasilkan tulisan menurut definisi penduduk asli (di dasarkan pada penafsiran-penafsiran para informan kepada peneliti), kemudian memikirkan dan memetakan yang mereka sampaikan, dan menata nya kembali dengan melukiskan kesimpulan penjelasannya, sehingga menjadi tulisan etnografi yang bersifat alami.[12] Suatu hal yang hanya mungkin didapatkan dengan suatu kajian yang bersifat mikroskopis.
Oleh karena itu antropologi interpretatif memfokuskan perhatiannya pada subjek dalam skala kecil, seperti klan, suku, atau sebuah desa yang sistem kebudayaannya dapat dilukiskan dalam detil-detil karakter yang terperinci, dengan mengamati perbedaan fakta yang terjadi di dalam sistem kebudayaan tersebut. Oleh karenanya menurut Geertz, tidak akan mungkin ditarik teori umum (generalisir) tentang kebudayaan seluruh manusia. Karena analisa kebudayan, bukanlah sains eksperimental yang ingin menemukan suatu hukum, melainkan penafsiran yang ingin menemukan makna-makna.[13] Sehingga interpretasi kebudayaan tidak akan pernah selesai, dan tidak akan ada benar dan salah secara absolut.
D. Agama Sebagai Sistem Budaya
Dari berbagai bidang yang merupakan lahan kajian Geertz (mulai dari agrikultur, ekonomi, ekologi, pola-pola hubungan kekerabatan, sejarah, politik negara-negara berkembang, dll.), agama merupakan bidang yang paling menarik perhatian Geertz, yang menurutnya salah satu elemen terpenting dalam kebudayaan. Sebagaimana Geertz menganjurkan pendekatan interpretatif (hermeneutika) terhadap studi-studi ilmu sosial umumnya (termasuk studi kebudayaan), Geertz juga menganjurkan pendekatan ini untuk meneliti agama, dan merupakan pelopor penerapannya.
Buku pertama Geertz, the Religion of Java (1960), yang membahas secara mendetil mengenai kompleksnya hubungan tradisi keagamaan Islam, Hindu, dan Kepercayaan Asli setempat, memperlihatkan agama sebagai fakta kultural sebagaimana halnya dalam kebudayaan jawa, bukan hanya sekedar ekspresi kebutuhan sosial atau ekonomis semata. Dalam buku ini, walaupun pendekatan interpretatif tampaknya sudah digunakan Geertz, namun dia belum menawarkan tentang aspek-aspek teoritis pendekatan interpretatif terhadap agama.
Aspek-aspek teoritis pendekatan interpretatif terhadap agama, dijelaskan Geertz pada salah satu esai yang dimuatnya kembali dalam The Interpretation of Cultures (1973), yang bertajuk “ Religion as a Cultural System”(1966). Geertz memulai esai tersebut dengan menyatakan bahwa ia tertarik pada “dimensi kebudayaan” dalam agama. Menurutnya dalam satu kebudayaan terdapat ‘sistem-sistem budaya’ yang salah satunya adalah agama, yang akan terlihat ketika Geertz mendefinisikan tentang agama.[14]
Menurut Geertz, agama adalah sebuah sistem simbol, yakni segala sesuatu yang memberikan penganutnya ide-ide.[15]Sebagaimana kebudayaan yang bersifat publik, simbol-simbol dalam agama juga bersifat publik dan bukan murni bersifat privasi.
Kemudian menurut Geertz, simbol-simbol dalam agama tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang (penganutnya), atau simbol agama tersebut menyebabkan penganutnya melakukan sesuatu (misalnya ritual), karena dorongan perasaan yang sulit didefinisikan dan juga sulit dikendalikan.
Kekuatan perasaan itu muncul karena agama membentuk konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi . Maksud agama terpusat pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia. Konsepsi-konsepsi tentang dunia dan serangkaian motivasi serta dorongan-dorongan yang diarahkan oleh moral ideal adalah inti agama, yang diringkas Geertz dalam dua terma: pandangan hidup dan etos. Selanjutnya Geertz menambahkan bahwa agama melekatkan konsep-konsep (pandangan hidup dan etos) tersebut, kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya perasaan dan motivasi tersebut akan terlihat sebagai realitas yang unik.
Secara sederhana, agama membentuk sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki posisi istimewa dalam kehidupan tersebut. Agak berbeda dengan ‘sistem-sistem kebudayaan’ lainnya, simbol-simbol dalam agama menyatakan kepada penganutnya bahwa terdapat sesuatu yang ‘benar-benar riil’, sesuatu yang dianggap lebih penting dari apapun. Dalam ritual keagamaan, manusia dimasuki oleh desakan realitas ‘riil’ ini. Dengan demikian, perasaan dan motivasi seseorang dalam ritual (salah satu simbol) keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya, dan kedua hal tersebut saling memberi kekuatan.
Setiap agama, mempunyai cara-cara tersendiri untuk mengkombinasikan pandangan hidup dan etos mereka. Berkaitan dengan hal ini, Geertz menyimpulkan bahwa studi apapun tentang agama, akan berhasil bila telah menjalani dua langkah. Pertama, memulai dengan menganalisa seperangkat makna yang terdapat dalam simbol-simbol keagamaan itu sendiri. Kedua, karena simbol-simbol itu sangat terkait dengan struktur masyarakat dan aspek psikologis anggota masyarakat, maka rangkaian simbol-simbol ini, harus ditelusuri secara kontinyu, baik cara terciptanya, proses penerimaan dan pemaknaannya, dan pembelokan maknanya.

E. Penerapan Metode Interpretatif Dalam Studi Tentang Agama
Pendekatan-pendekatan teoritis sebagaimana diuraikan di atas, antara lain diterapkan Geertz ketika meneliti agama di tengah masyarakat bali modern, dan studi komparasinya terhadap masyarakat Muslim di Indonesia (Jawa) dan Maroko, dalam tulisan-tulisan Geertz berikut ini:
1. “Internal Conversion in Contemporary Bali” (1964) dalam Interpretation of Cultures (1973)
Ketika menggambarkan agama masyarakat Bali, Geertz menggunakan framework Weber mengenai dua tipe agama yang ada di dunia, yakni agama tradisional dan agama rasional. [16]
Melihat dengan perspektif Weber ini, Geertz menyatakan bahwa agama Bali bukanlah mistisisme India walaupun bernama Hindu, dan dapat dikategorikan sebagai agama tradisional. Hindu Bali, bermuatan nilai-nilai politeisme dan mitologi masyarakat setempat. Hampir tdak ada nilai-nilai rasional dalam bangunan teologi mereka, walaupun kita dapat dengan mudah menemukan ritual-ritual dan perasaan dekat dengan Tuhan di dalamnya walaupun beribu-ribu kuil terdapat di pulau ini dan bahkan penduduk bisa memeliki selusin kuil. Kebanyakan masyarakatnya tidak memiliki ide tentang Tuhan yang akan mereka sembah, tapi mereka tetap meyakini upacara-upacara tertentu yang mesti di laksanakan sebelum melakukan pekerjaan. Lebih jauh lagi, upacara-upacara ini selalu berkait dengan struktur sosial. [17]
Sebagai inti agama yang magis, pemujaan kematian dan mantra-mantra dalam agama Bali ini, terlihat dalam pertempuran antara Rangda dan Barong, yang merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat Bali selama berabad-abad. Sekalipun mereka telah berinteraksi dengan masyarakat Islam dan Kristen, namun mereka tidak pernah berpindah kepada salah satu agama tersebut. Jadi agama tradisional mereka bisa bertahan selama berabad-abad tanpa di sentu oleh pengaruh-pengruh agama rasional.
Pada tahun 1964, perubahan-perubahan sosial yang sangat drastis terjadi di Bali, yang sebagian besar disebabkan oleh angin kemerdekaan Indonesia. Pendidikan modern, kesadaran politik dan jaringan komunikasi telah membuka kesempatan masyarakat Bali dengan dunia luar. Perkembangan desa menjadi kota dan pertumbuhan penduduk semakin mendesak masyarakat tradisional. Itulah yang terjadi pada masyarakat tradisional ketika ketegangan sosial membawa rasa “kurang pas” terhadap dunia mereka selama ini dan berakhirnya zaman agama magis yang tampak benar-benar di alami oleh masyarakat Bali modern.
Sebenarnya, jika dilihat lebih dekat lagi, masyarakat Bali terlihat berada dalam proses yang disebut Weber sebagai “konversi internal”, transformasi kontinyu dari tata cara peribadatan tradisional menuju sosok agama rasional. Geertz mengisahkan pengalamannya ketika masih berada di Bali, bahwa pada suatu malam saat berlangsung satu upacara pemakaman, dia terlibat diskusi filosofis dengan penduduk setempat tentang makna dan tujuan agama yang kelihatannya tidak di acuhkan oleh generasi muda Bali saat itu. Dalam kebudayaan trdisional, hampir tidak di kenal diskusi-diskusi semacam ini yang sangat berciri agama rasional. Ternyata hal ini membuktikan suatu perubahan mendasar telah terjadi di jalan-jalan Bali.
Yang juga hampir-hampir tidak pernah terdengar dalam situasi tradisional, adalah suatu perkembangan satra, doktrin, naskah keagamaan dan organisasi-organisasi kependetaan. Sekali lagi, tanda-tanda perubahan ini sekarang telah masuk dalam kebudayaan Bali. Yang juga menarik diamati adalah bahwa para bangsawan, pangeran, dan raja-raja—karena hak istimewa mereka sedikit terancam oleh datangnya pemerintahan demokratis—juga menempatkan diri dalam perubahan ini, dengan harapan dapat mempertahankan status sosial mereka, yaitu dengan cara memprakarsai agama masyarakat Bali yang baru dan lebih definitif ini.
Walaupun Geertz mengakui bahwa konsepsi Weber tentang seluruh proses perubahan yang ditemukan di balik pertumbuhan agama-agama rasional dunia, di temukan dalam masyarakat Bali modern. Namun dari pengamatan yang dilakukan secara detil dan dari jarak dekat terhadap agama masyarakat Bali modern tersebut, Geertz masih merasa ragu dapat ditarik menjadi konsep ataupun teori-teori umum.
2. Islam Observed (1960).
Geertz menyatakan dengan cukup ambisius bahwa tujuan buku ini adalah untuk mendapatkan framework untuk keperluan analisis perbandingan agama, dan mengaplikasikannya kepada satu kepercayaan, dalam hal ini islam, yang tumbuh di dua daerah yang berbeda, yakni Indonesia dan Maroko. Dua negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan sama-sama mengalami perubahan sosial yang drastis di era modern, pasca kolonialisme. Walaupun mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat kedua negara tersebut berbeda (Indonesia bercocok tanam sedangkan Maroko menggembala), menurut Geertz tidak diragukan lagi, agama memiliki peran penting dalam proses transformasi sosial yang terjadi di kedua negara ini.
Masyarakat Maroko ketika Islam masuk (+ 1050 M), didominasi oleh suku-suku agresif dari gurun-gurun pasir dan pedagang-pedagang fanatik dari kota, dimana para ksatria (prajurit) dan para mistikus (kadan-kadang merangkap keduanya) merupakan figur utama dalam kebudayaan ini. Di masa-masa selanjutnya, figur ini semakin dipuja dan dianggap suci karena dianggap keturunan langsung Nabi muhamad (syarif), serta dikenal sebagai marabouth (dari kata Arab murabith, yang berarti orang yang diikatkan pada Tuhan). Mereka kemudian mencari pengikut-pengikut yang tersebar dalam sekte-sekte, yang sangat setia kepada pemimpin suci mereka.
Islam di Maroko dapat dilihat dari kisah hidup yang melegenda, seorang tokoh yang bernama Sidi Lahsen Lyusi, salah seorang generasi terakhir marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Dia adalah seorang yang berakhlak sangat terpuji, berpengetahuan luas, dan seorang figur yang gagah berani, yang mempunyai barakah (sejenis kharisma spiritual), yang telah dipertunjukkannya ketika melawan Sultan. Kisah ini, menunjukan karakteristik kesadaran religius ‘Islam Klasik’ yang tumbuh di dalam masyarakat Maroko, yang cenderung keras, tidak kenal kompromi, fundamental, dan agresif, yang akan sangat berbeda dengan di Indonesia.
Islam memasuki kepulauan Nusantara menjelang tahun 1300-an M, melalui kontak dagang dan merupakan bentuk toleransi kebudayaan India, sehingga Islam dapat bercampur dengan kebudayaan Hindu-Budha, dan animistik yang sudah ada di sana. Legenda Sunan kalijaga, menurut Geertz mencerminkan Islam di Indonesia pada awal pertumbuhannya. Legenda ini, menggambarkan bahwa Islam masuk dan bisa berbaur dengan agama-agama lama ( yang sebelumnya dianut Sunan kalijaga) dan juga dapat menyesuaikan diri dengan apa yang disebut Geertz sebagai kebudayaan ‘negara teater’[18]. Oleh sebab itu, Islam di Indonesia berkembang secara fleksibel,mampu beradaptasi, menyerap nilai-nilai lokal, pragmatis dan gradual, sehingga perasaan dan motifasi yang tercermin dalam masyarakatnya adalah kesadaran diri, ketenangan, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme, dan bisa dikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Namun baik Islam (klasik) di maroko maupun indonesia, sama-sama bersifat mistik, yang membawa masyarakat kepada perasaan tentang kehadiran secara langsung.
Kemudian, kedua negara tersebut sama-sama menghadapi dua tantangan yakni: penguasa kolonial dan modernisasi. Sebagaimana yang berkembang di dunia Islam umumnya pada waktu itu, keterbelakangan kaum muslim dibandingkan negara-negara Barat yang modern dan merupakan penguasa-penguasa kolonial, menimbulkan reaksi dari golongan fundamentalis yang disebut geertz dengan skripturalis. Gerakan skripturalis tersebut, ingin kembali ajaran Islam ‘dalam bentuk aslinya’ (hanya berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah), sehingga marabouthisme di Maroko maupun Islam Klasik yang berkembang di Indonesia (yang keduanya merupakan hasil adaptasi), mendapat tantangan dari gerakan ini.
Model Islam ‘skripturalis’ini dengan cepat menyebar, dan dalam proses penyebarannya memberikan kekuatan bagi pertumbuhan semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penguasa kolonial, serta melatar belakangi gerakan perjuangan kemerdekaan negara masing-masing pertengahan abad 20 M. Dengan demikian ‘kekuatan agama” bisa dikatakan menjadi kekuatan semangat nasional.
Namun ketika berbicara mengenai “kekuatan” agama, Geertz mengingatkan perlunya membedakan ‘kekuatan’ agama dengan ‘ruang lingkup’ pengaruh agama tersebut. Dari hasil pengamatannya terhadap Islam di Maroko dan Indonesia, geertz menemukan bahwa ruang lingkup atau wilayah religiusitas masyarakat muslim Indonesia lebih luas daripada masyarakat Maroko, karena hampir tidak ada aspek kehidupan yang tidak diwarnai oleh citra supernatural. Sedangkan di Maroko, yang merupakan segala-galanya hanyalah ‘pertemuan’ dengan Tuhan, sedangkan hal lainnya tidaklah bersifat religius.
Dari hasil penelitiannya dalam Islam Observed ini, Geertz menemukan bahwa walaupun sama-sama Islam yang dikembangkan dalam bangunan teologis yang sama, terdapat perbedaan dalam citarasa, karakter dan tekstur yang dimunculkan, oleh masyarakat Muslim di kedua negara tersebut.
F. Penutup
Demikianlah paparan mengenai pemikiran Clifford Geertz, dengan pendekatan interpretatifnya terhadap antropologi, khususnya studi tentang agama yang menurutnya merupakan ”sistem kebudayaan”. Studi etnografisnya yang sangat detil dengan melakukan ‘thick description” terhadap agama masyarakat Jawa, Bali, dan Maroko, telah menyebabkan teori-teori lama yang bersifat menggeneralisir untuk semua agama mengadapi dilema. Bahkan Geertz membuktikan, bahkan satu agama yang sama pun, -jika tumbuh dalam masyarakat yang berbeda-, sistem-sistem ide, sikap, dan perasaan yang dikembangkan para penganutnya akan berbeda, karena penghayatan religiusitas yang berbeda pula.


G. Daftar Pustaka

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures,New York: Basic Books, 1973.
Clifford Geertz, Local Knowlegde, London: Fontana Press, 1993.
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Daniel L.Pals, “ Religion as Cultural System: Clifford Geertz”, dalam Seven Theories of Religion , New york: Oxford University press, 1996
http:// religious.myztek.com/holbrook/geertz.
Mats Alvensson dan Kaj Skoldberg, Reflexive Methodology, London: Sage publications inc, 2000.
Paul Ricoeur, “The Model of The Text; Meaningful Action Considered as a Text”, dalam Paul rainbow and William M. Sullivan (ed.), Interpretive Social Science: A Reader, California: University of California Press, 1979.

[1] Awalnya Geertz sebagaimana yang diyakini oleh penganut fungsionalisme, berpandangan bahwa suatu agama selalu dibentuk oleh kondisi masyarakat pemeluknya, namun kenyataan yang dilihatnya, masyarakat pun dapat dibentuk oleh agama yang mereka anut. Daniel L.Pals, Seven Theories …, h. 235.
[2] Dia menganggap bahwa tujuan serta metode-metode ilmu-ilmu itu sudah sedari awal salah mengambil jalan. Ibid., h., 236
[3] Franz Boas (1858-1942), Alfred Louis Kroeber (1876-1960), dan Robert Lowie (1883-1957), Ilmuwan imigran dar Jerman yang melakukan penelitian di Amerika. Pals, Seven Theories.., h. 237.
[4] Bahkan lebih jauh, Geertz berharap, pemahaman mendalam etnografer terhadap tanda-tanda/ simbol-simbol tersebut dapat membuka atau meningkatkan dialog antar kebudayan. http:// religious.myztek.com/holbrook/geertz.
[5] Sebagaimana umumnya diketahui, Weber adalah salah seorang yang terlibat dalam perdebetan tentang metode verstehen (Inggris: understanding), yang mengkaji ide-ide manusia dengan perilakunya dalam bentuk penjelasan sistem-sistem sosial. Kelanjutan dari konsep ini adalah ide bahwa budaya merupakan hasil tindakan-tindakan manusia yang didasarkan pada sikap dan tata nilai yang ideal. Konsekwensinya, kita akan benar-benar memahami dan mampu menjelaskan apa yang sedang terjadi apabila kita memahami makna seluruh tindakan yang dilakukan seseorang. Pals, Seven Theories.., h. 239.
[6] Pendekatan hemeneutik dalam memahami kebudayaan seperti yang dilakukan Geertz, akan tampak jelas dari konsep kebudayaan yang ia tawarkan.Lihat Mats Alvensson dan Kaj Skoldberg, Reflexive Methodology, (London: Sage publications inc, 2000), h. 96-97.
[7] Lihat Paul Ricoeur, “The Model of The Text; Meaningful Action Considered as a Text”, dalam Paul rainbow and William M. Sullivan (ed.), Interpretive Social Science: A Reader, (California: University of California Press, 1979), h. 73-74.
[8] Kebudayaan digambarkan oleh Geertz sebagai;’ sebuah pola makna-makna (pattern of meaning) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan, dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Dalam hal ini pengaruh Weber tampak jelas, karena Weber mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terkurung dalam jaring-jaring makna yang dipintalnya sendiri. Pals, Seven Theories.., h. 240
[9] Lihat Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures,(New York: Basic Books, 1973), h. 26.
[10] Dengan demikian, konsep kebudayaan menurut Geertz pada dasarnya merupakan semiotika, yakni studi tentang bagaimana tanda-tanda dan simbol-simbol berhubungan dengan sesuatu yang di representasikannya (makna sesuatu tersebut).
[11] Lihat Clifford Geertz, Local Knowlegde, (London: Fontana Press, 1993), h. 55-72.
[12] Lihat Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.19.
[13] Dalam hal ini Geertz bukan sama sekali menutup adanya kemungkinan adanya ide-ide (teori) general yang dimiliki seorang antropolog, yang memungkinkan suatu teori dikaitkan dengan sampel yang lain, karena kadangkala suatu teori tentang harus bisa di try out oleh kebudayaan lain, dan harus bisa bertahan dalam aplikasi maupun falsifikasi terhadapnya. Pals, Seven Theories.., h.257.
[14] Agama adalah: (1) Satu sistem simbol yang bertujuan untuk (2) menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri sesorang (3) dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umm eksistensi dan (4)melekatkan konsepsi ini pada pancaran-pancaran faktual, (5) dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Pals, Seven Theories.., h. 244.
[15] Seperti simbol berupa lingkaran untuk berdo’a bagi pemeluk budhisme; sebuah peristiwa, seperti penyaliban; sebuah ritual, seperti salatnya orang muslim, dll.
[16] Weber menamakan agama tradisional dengan “agama magis” yang identik dengan masyarakat primitif yang kehidupannya dipenuhi warna politeisme, yang menemukan roh-roh yang harus disembah dalam setiap pohon ataupun batu, dan melakukan ritual baru setiap kali jalan hidup bertukar.Sedangkaan ‘agama rasional’ (menurut Weber adalah agama-agama besar dunia) tidak melihat bentuk-bentuk ketuhanan dalam roh-roh, melainkan ke dalam satu atau beberapa bentuk spiritual. Tuhan dalam agama rasional ini, terpisah dan berada ‘di atas’ segala sesuatu yang ada di dunia, termasuk yang dianggap roh-roh oleh ‘agama magis’. Pertemuan dengan Tuhan dalam agama rasional, diusahakan melalui pengalaman spiritual, yang merupakan cara untuk menemukan-Nya. Agama rasional ini bersifat abstrak dan logis. Para penganut agama rasional sangat sadar dan mengetahui bahwa mereka telah memilih satu sistem kepercayaan yang terorganisir dengan baik.Berkaitan dengan masalah kehidupan, dalam agama tradisional, jawaban yang diberikan biasanya bersifat parsial, terpisah-pisah, dan sederhana. Sedangkan agama rasional selalu mencari jawaban dalam skala kosmik, dengan melibatkan seluruh tatanan dunia.
Kemudian menurut Weber, agama rasional kebanyakan muncul ketika agama tradisional di suatu daerah tidak lagimampu memberikan apa yang dibutuhkan masyarakatnya, atau terjadi pergolakan sosial. Pals, Seven Theories.., h.247.
[17] Para pendeta setempat yang berkasta brahma memiliki tingkatan sosial yang lebih tinggi karena di sokong oleh tingkatan spiritual mereka. Masing-masing pendeta memilih orang dari kasta yang lebih rendah sebagai pengikut dalam menyembah dewa mereka masing-masing. Pengikut-pengikut ini mereka namakan “klien” (sahabat yang akan membela mereka). Di samping itu, salah satu persembahan utama dari para raja, pangeran atau para bangsawan di Bali adalah mengadakan vestifal keagamaan secara besar-besaran, sebuah pawai yang melibatkan banyak tenaga, biaya dan waktu.Biasanya, para pekerja upacara ini di ambil dari parapetani. Upacara-upacara tersebut secara simbolik mengingatkan seluruh masyarakat pada posisi mereka (para bangsawan) yang sebenarnya berada di tengah-tengah masyarakat, mereka yang di lahirkan berkasta tinggi mengadakan upacara dan pesta, sedangkan yang berkasta lebih rendah harus menjadi pekerja. Pals, Seven Theories.., h. 248.
[18] “Negara teater’ ini terjadi ketika kelas penguasa berkasta tinggi dianggap sebagai elit spiritual di negara tersebut. Pals, Seven Theories.., h.251.

Tidak ada komentar: