Selasa, 12 Februari 2008

PEMASARAN BERTANGGUNGJAWAB SOSIAL

A. Pemasaran: Pengertian, Manajemen dan Konsep

Pemasaran sering dikenal pula dengan istilah marketing (bahasa Inggris) dari asal kata market yang berarti pasar. Dapat dikatakan bahwa kata marketing sudah diserap dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan istilah pemasaran.[1] Mengenai pengertiannya, pemasaran seringkali tertukar atau dikacaukan oleh pengertian: penjualan, perdagangan, dan distribusi. Padahal masing-masing dari ketiganya hanya merupakan bagian dari kegiatan pemasaran secara keseluruhan.[2] Namun definisi pemasaran ini terus berkembang sejalan dengan tahapan perkembangan pemasaran itu sendiri.
Pada awalnya kegiatan pemasaran hanya berkisar pada kebutuhan dan keinginan manusia akan barang-barang dan jasa, sehingga perusahaan hanya berpikir bagaimana menghasilkan barang-barang dan jasa tersebut. Tahap berikutnya setiap perusahaan mulai menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah banyak untuk memenuhi pesanan konsumen yang terus meningkat. Kemudian pemasaran berkembang dengan mempertimbangkan atau melihat segi penerapan teori pasar dan distribusi. Sedangkan saat ini, kegiatan pemasaran telah menerapkan ilmu manajemen yang mencakup pengambilan keputusan yang didasarkan kepada konsep dan manajemen pemasaran.[3]
Melihat tahap-tahap perkembangan pemasaran tersebut di atas, pada dasarnya pengertian pemasaran dapat dibedakan menjadi dua, yakni dilihat dalam arti sempit dan dalam arti luas. Secara sempit, pengertian pemasaran hanyalah berhubungan dengan mengalirnya barang dan jasa.[4] Sehingga pengertian-pengertian pemasaran secara sempit ini dapat dikatakan tidak berbeda dengan pengertian distribusi.
Adapun pengertian pemasaran secara luas, antara lain dapat dilihat dari pendapat Djaslim Saladin, yang mengemukakan bahwa:
Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk: merencanakan, menentukan harga, promosi, dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan. [5]

Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai pemasaran yakni:
a. Pemasaran adalah kegiatan manusia yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan melalui proses pertukaran
b. Pemasaran adalah kegiatan perusahaan dalam membuat rencana, menentukan harga, promosi, serta mendistribusikan barang dan jasa.
c. Pemasaran berorientasikan kepada pelanggan yang ada dan potensial
d. Pemasaran tidak hanya bertujuan memuaskan langganan, akan tetapi juga memperhatikan semua pihak yang terkait dengan perusahaan.
e. Program pemasaran ini dimulai dengan sebuah ide tentang produk baru, dan tidak berhenti sampai keinginan konsumen benar-benar terpuaskan.[6]
Pendapat lain dikemukakan oleh William J. Stanton, sebagaimana yang dikutip oleh Basu Swastha dan T. Hani Handoko dari Fundamentals of Marketing, yakni:
Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, serta mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli yang potensial.[7]

Dari definisi-definisi di atas, terlihat bahwa kegiatan pemasaran adalah kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan sebagai suatu sistem yang mencakup usaha perusahaan yang diawali dengan mengidentifisir kebutuhan konsumen, menentukan produk yang sesuai, menentukan cara-cara promosi dan penyaluran atau penjualan produk tersebut. Oleh karena itu, kegiatan pemasaran harus dikoordinasikan dan dikelola secara baik atau diperlukan manajemen yang baik, yang dikenal dengan manajemen pemasaran.
Philip Kotler mendefinisikan manajemen pemasaran sebagai: “Proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi.”[8] Dari dafinisi ini, manajemen pemasaran dirumuskan sebagai suatu proses berupa penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan dan penentuan produk, harga, distribusi dan juga promosi. Dengan demikian kegiatan promosi yang antara lain dilakukan melalui iklan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemasaran.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup ke dalam pengertian manajemen pemasaran di atas, ditujukan untuk menimbulkan pertukaran yang diinginkan, sehingga baik penjual/produsen maupun pembeli/konsumen dapat merasakan keuntungan.[9] Sedangkan untuk memberikan kepuasan terhadap keinginan dan kepuasan konsumen, suatu perusahaan berpedoman pada suatu falsafah yang disebut konsep pemasaran.
Konsep pemasaran (marketing concept) mengajarkan bahwa kegiatan pemasaran dimulai dari usaha mengenal dan merumuskan keinginan serta kebutuhan konsumen, kemudian diikuti dengan merumuskan dan menyusun suatu kombinasi dari kebijakan produk, harga, promosi dan distribusi setepat-tepatnya, agar kebutuhan konsumen dapat dipenuhi secara memuaskan.[10]
Jadi, sebagaimana didefinisikan oleh William J. Stanton: “Konsep pemasaran adalah sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup Perusahaan”.[11] Dengan demikian, pada dasarnya menurut konsep pemasaran ini, dalam mendapatkan laba perusahaan harus berorientasi kepada konsumen dengan memperhatikan syarat ekonomi serta syarat sosial. Oleh karena itu, selain mengutamakan keinginan dan kebutuhan konsumen, perusahaan harus memperhatikan kebaikannya bagi masyarakat dan mengantisipasi adanya dampak negatif dari kegiatan pemasaran produk perusahaannya bagi konsumen khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya.
B. Tanggung Jawab Sosial dan Pemasaran
Setiap orang yang bergerak dalam suatu profesi, sudah dengan sendirinya memikul suatu tanggung jawab. Tanggung jawab yang pertama adalah terhadap pekerjaan dan hasil pekerjaannya tersebut, dan yang kedua adalah terhadap dampak pekerjaannya. Artinya jika pekerjaan atau profesinya tersebut, menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain baik disengaja ataupun tidak, maka ia harus bertanggungjawab atas hal tersebut. Bentuknya dapat berupa memberi ganti rugi, pengakuan secara jujur atas kesalahannya, atau bentuk-bentuk lainnya. Tanggung jawab seperti inilah yang disebut sebagai tanggung jawab sosial.[12]
Tanggung jawab sosial tidak hanya dimiliki oleh individu saja, namun juga dimiliki oleh setiap organisasi perusahaan. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa perusahaan adalah sebuah badan hukum tertentu serta disahkan oleh hukum dan aturan tertentu pula. Artinya, perusahaan merupakan bentukan dari manusia yang keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Sebagaimana manusia yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, perusahaan pun tidak akan dapat beroperasi dan mendapatkan keuntungan tanpa pihak-pihak yang terkait dengannya. Jadi kegiatan apapun yang dijalankan oleh perusahaan, termasuk kegiatan pemasaran, harus selalu mengacu kepada konsep tanggung jawab sosial, yang mengajarkan bahwa kendatipun mengejar kuntungan bagi perusahaan merupakan hal yang baik secara moral, namun tidaklah benar apabila dalam menghasilkan keuntungan itu mengorbankan kepentingan pihak-pihak lain, terutama kepentingan masyarakat luas.[13]
Adapun lingkup dari tanggung jawab sosial perusahaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Wujud paling pokok dari tanggung jawab sosial perusahaan, ialah keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Terdapat beberapa alasan yang membuat perusahaan harus terlibat secara sosial. Pertama, perusahaan dan seluruh karyawannya merupakan bagian internal dari masyarakat. Kedua, perusahaan telah merasakan keuntungan dan manfaat kesejahteraan dari sumber daya alam dan masyarakat. Ketiga, Merupakan komitmen moral bagi perusahaan untuk tidak melakukan kegiatan tertentu yang merugikan kepentingan masyarakat luas. Keempat, agar citra perusahaan tetap dapat diterima masyarakat, menjalin hubungan sosial dengan masyarakat merupakan suatu hal yang niscaya.
2. Keuntungan ekonomis. Artinya perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk mengejar keuntungan agar perusahaan tetap bisa eksis, sehingga semua karyawan serta seluruh pihak yang terkait lainnya dapat terpenuhi hak dan kepentingannya.
3. Mematuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Asumsinya, ketertiban dan ketentraman masyarakat tidak akan terwujud apabila perusahaan tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Jadi perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menjalankan kewajibannya secara baik dan teratur, sedangkan salah satu cara terbaik adalah dengan mengikuti aturan hukum yang ada.
4. Menghormati hak dan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan (stakeholders). Hal tersebut ditujukan demi terciptanya kehidupan sosial yang lebih baik, demi kelangsungan dan keberhasilan kegiatan perusahaan itu sendiri.[14]
Oleh karena itu, dalam pemasaran dikenal suatu konsep yang disebut sebagai konsep pemasaran berwawasan sosial (societal marketing concept). Konsep inilah yang menjadi falasafah adanya kegiatan pemasaran bertanggungjawab sosial. Konsep tersebut muncul sebagai akibat dari perkembangan masyarakat dan teknologi, seperti adanya kerusakan lingkungan, terbatasnya sumber daya, ledakan penduduk, kelaparan dan kemiskinan dunia, serta pengabaian pelayanan sosial.
Konsep yang merupakan perluasan dari konsep pemasaran ini, mengasumsikan bahwa orientasi perusahaan tidak lagi hanya kepada konsumen saja, tetapi juga memberikan kemakmuran kepada masyarakat untuk kebutuhan jangka panjang.
Philip Kotler, pencetus konsep pemasaran berwawasan sosial (societal marketing concept ), menyatakan bahwa:
Tugas organisasi perusahaan adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan kepentingan pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat.[15]

Adapun tujuan dari societal marketing concept (konsep pemasaran) ini adalah mengajak para pemasar (perusahaan) untuk membangun pertimbangan sosial dan etika dalam kegiatan pemasaran mereka.[16] Dengan demikian, suatu perusahaan yang menerapkan konsep ini dalam kegiatan pemasarannya, dapat dikatakan telah melakukan kegiatan pemasaran yang bertanggungjawab sosial.
Arahan Islam Tentang Pemasaran Bertanggungjawab Sosial
Islam menekankan adanya dimensi vertikal dan dimensi horizontal dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang ekonomi yang mencakup juga tentang pemasaran ini. Dimensi vertikal ekonomi Islam adalah transendensi pemilikan kekayaan yang diperoleh melalui bekerja sebagai realisasi kewajiban agama. Sehingga setiap usaha membangun kegiatan ekonomi selalu tidak terlepas dari pencarian ridha Ilahi. Sedangkan dimensi horizontal adalah makna sosial dalam pekerjaan dan kemajuan kegiatan ekonomi, baik dalam pengertian usaha maupun dalam kaitannya dengan kewajiban sosial pada sesamanya.[17]
Berkaitan dengan hal itu, Hamzah Ya’qub menyebutkan adanya empat macam tanggung jawab manusia, termasuk dalam pekerjaan ataupun usaha-usaha/kegiatan ekonomi. Pertama, tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, agar perilaku tersebut tidak bertentangan dengan aturan atau ketentuan hukum-hukum-Nya. Karena pada hari akhir manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya.[18]Kedua tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab terhadap atasan dan pihak yang memberi wewenang sesuai dengan jenjang organisasi. Ketiga tanggung jawab hukum. Hal ini biasanya berhubungan dengan kesediaan seseorang untuk bertanggungjawab di depan pengadilan. Keempat tanggung jawab sosial, yaitu kaitan moral dengan masyarakat. Artinya, orang yang melakukan suatu perbuatan, secara moral harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang tercela di mata masyarakat serta dapat merugikan masyarakat.[19].
Dari uraian di atas, paling tidak dapat dirumuskan tiga variabel dari tanggung jawab sosial menurut arahan Islam, yakni: terciptanya kemakmuran atau kesejahteraan, perilaku etis (perbuatan yang tidak tercela), dan kepedulian sosial (kemaslahatan masyarakat).
Kemakmuran atau kesejahteraan (keuntungan ekonomis) adalah merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang ataupun perusahaan dalam melakukan suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang bertanggung jawab sosial sebagaimana telah disinggung di atas. Namun variabel tersebut tidak dapat dilepaskan dari variabel lainnya yakni perilaku etis dan kepedulian sosial. Perilaku etis atau perbuatan tidak tercela merupakan arah yang harus ditempuh seseorang dalam melakukan suatu tujuan kesejahteraan. Ia mengarah kepada ketaatan untuk tunduk serta menjalankan aturan dan norma yang hidup di tengah masyarakat. Sedangkan kepedulian sosial merupakan bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai sosial dan moral dari suatu perilaku atau kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun perusahaan. Kepedulian sosial tersebut pada dasarnya merupakan faktor utama dalam mewujudkan keadilan sosial yang lebih merata. [20]
Jika diperhatikan lebih cermat, al-Qur`an telah memberikan arahan mengenai tanggung jawab sosial dalam melakukan usaha ekonomis/bekerja ini. Doktrin dalam ajaran Islam menyatakan bahwa bekerja merupakan Ibadah karena berimplikasi pada banyak hal. Dengan bekerja manusia dapat melanjutkan kehidupan dalam menjalankan amanat Tuhannya, menjaga dirinya serta dapat merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar.[21]
Selain itu, bekerja dapat pula memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya maupun keluarganya atau terpenuhinya variabel pertama yakni kemakmuran atau kesejahteraan karena dilimpahi rizqi oleh Allah melalui usahanya. Hal ini telah dijanjikan Allah sebagaimana terlihat dalam firmannya:
وما من دابّة فى ا لأ ر ض إلآعلى الله رزقها ويعلم مستقرّها ومستو دعها كلّ ف كتاب مبين[22]

Pada ayat lain al-Qur`an menjanjikan bahwa setiap usaha manusia akan mendapatkan imbalan berupa karunia (rizqi) di dunia dan berlaku unuk seluruh makhluk hidup, serta berupa pahala di akhirat kelak.
إ لا ا لذ ين صبروا وعملواالصلحت ألئك لهم مغفرة وأ زر كبير [23]

Mengenai anjuran berusaha secara etis, al-Qur`an mengajarkan antara lain:
- فإ ذا قضيت الصلا ة فانتصروا فى الأرض وابتغوا من فضل الله واذكوا الله كثيرا لعلكم تفلحون[24]
- إن الله لا يحبّ من كان خوّانا اثيما [25]
- فاستبقواالخيرات [26]
Arahan tersebut berkaitan dengan variabel kedua dari tanggung jawab sosial, yakni perilaku etis (tidak tercela) dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk juga dalam melakukan kegiatan pemasaran oleh perusahaan dengan membangun pertimbangan etika.
Adapaun arahan Islam mengenai kepedulian sosial, sangat berkaitan dengan pandangan Islam mengenai kepemilikan harta kekayaan. Di dalam setiap kekayaan selalu terdapat tanggung jawab sosial dan amanah bagi pemiliknya, untuk menggunakan kekayaan tersebut di jalan kebajikan. Kekayaan tidak sepenuhnya bebas nilai, baik dalam kaitan dengan cara memperolehnya, ataupun dengan cara bagaimana menggunakan kekayaan tersebut.[27]
Dalam pandangan al-Qur’an, rizki Tuhan berupa kekayaan, harta benda, dan ketentraman hidup, pada hakikatnya merupakan hasil dari apa yang dilakukan manusia, dan dipengaruhi oleh tingkat kualitas perbuatan yang dilakukannya. Al-Qur’an tidak pernah menyuruh seseorang mencari rizki kekayaan sebagai substansi material yang berdiri sendiri, atau terlepas dari amal saleh. Semuanya dapat dicapai dengan bekerja yang baik, dan untuk tujuan baik pula tidak hanya untuk bersenang-senang semata. Tetapi lebih jauh lagi, semuanya harus dijadikan sebagai bagian dari proses peribadatan, untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Tuhan dan kepentingan kemanusiaan.[28].
Dalam al-Qur`an terdapat arahan untuk melakukan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial, antara lain sebagaimana terdapat dalam ayat yang berbunyi:
وانفقوا ممّا جعلنكم مستحلفون فيه [29]
Demikian juga mengenai perusahaan, dalam melakukan kegiatannya seyogyanya tidak melupakan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat di sekitarnya. Selain itu, setiap perusahaan harus bertanggungjawab pula atas setiap tindakan dalam membangun usahanya.
Dari uraian di atas, semua perusahaan - termasuk yang bergerak di bidang produksi saja atau pemasaran saja, .atau yang bergerak di kedua bidang (produksi dan pemasaran) sekaligus- wajib menciptakan produk-produknya, atau melakukan cara-cara pemasaran produk-produk tersebut dengan cara yang dapat meningkatkan taraf hidup dan derajat kemanusiaan serta menciptakan maslahah al-‘ammah.
Sebaliknya, setiap perusahaan dilarang memproduksi barang dan melakukan cara-cara pemasaran yang justru merugikan atau merendahkan sendi-sendi kemanusiaan masyarakat. Di samping itu, setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas kegiatan mereka yang menimbulkan permasalahan sosial dan berpengaruh negatif bagi masyarakat, dengan tetap tanggap dan peduli serta ikut menyumbangkan kebajikan demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Jadi kaitan antara kegiatan pemasaran dan tanggung jawab sosial terletak pada ukuran etika dan moral masyarakat. Jika dalam pandangan masyarakat secara umum suatu cara pemasaran merugikan dan meresahkan masyarakat atau secara sosial menimbulkan dampak negatif, maka cara tersebut tidak layak untuk dilakukan. Sebaliknya jika dalam pandangan umum suatu cara pemasaran dapat mendukung kesejahteraan masyarakat secara lahir maupun batin, maka cara-cara seperti itu sangat diharapkan dan layak untuk diteruskan. Berkaitan dengan semua hal tersebut, dalam melakukan kegiatan pemasaran, semua perusahaan seyogyanya tidak hanya berlomba-lomba memburu keuntungan ekonomis dan kesejahteraan bagi kelompok tertentu semata, namun harus selalu mengutamakan kepedulian sosial.
D. Unsur-unsur Pemasaran
Salah satu konsep pokok dalam kegiatan pemasaran adalah adanya ‘pasar’ sasaran, yakni pelanggan potensial yang mempunyai keinginan dan kebutuhan tertentu yang mungkin mau dan mampu untuk ambil bagian dalam jual beli guna memuaskan kebutuhan dan keinginannya. [30] Dalam hal ini, ketika menjalankan cara-cara pemasaran produk-produknya, setiap perusahaan harus didorong dengan maksud untuk memuaskan calon konsumen sehingga secara etis harus menghindari niatan untuk memperdaya, mengelabui dan memanipulasi konsumen. Karena kadar terpenuhinya kepuasan konsumen/pelanggan merupakan salah satu faktor yang akan menentukan apakah perusahaan akan mendapatkan laba dalam jangka panjang atau tidak.[31]
Pelanggan (customer) termasuk satu dari lima tipe konsumen yang harus diperhatikan perusahaan[32]. Sebab perusahaan yang telah sukses karena terciptanya kepuasan pelanggan akan mendapatkan manfaat-manfaat penting seperti keharmonisan hubungan dengan pelanggan, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas pelanggan, memungkinkan pelanggan akan membeli jenis produk lainnya dari perusahaan yang sama, dan terciptanya word of mouth (rekomendasi dari mulut ke mulut) yang menguntungkan perusahaan.[33]
Oleh karena itu, setiap perusahaan harus menyadari bahwa orientasi dalam kegiatan pemasaran produk-produk atau jasa mereka juga adalah pelanggan. Karena perusahaan yang merancang produk tanpa masukan dari pelanggan dan melupakan pelanggan setelah penjualan, mungkin akan mendapat tanggapan atau komplain yang buruk dari pelanggan terhadap perusahaan karena mereka tidak mendapatkan kepuasan..[34] Dengan demikian kepuasan pelanggan merupakan unsur penting disamping unsur-unsur yang merupakan inti kegiatan pemasaran lainnya yakni: produk, harga, distribusi, dan promosi.
Inti kegiatan pemasaran tercakup dalam strategi marketing mix (bauran pemasaran). Bauran pemasaran (marketing mix) adalah serangkaian variabel pemasaran yang dapat dikuasai perusahaan, yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran.[35]
Rangkaian variabel atau unsur-unsur tersebut sering disebut dengan 4P yakni: 1) product (Produk), 2) price (harga), 3) place (distribusi), dan 4) promotion (promosi).
Dalam unsur produk, langkah pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah melakukan riset pemasaran, yakni mengamati kondisi perkembangan pasar mengenai kebutuhan dan keinginan pasar tentang produk yang akan serta telah dibutuhkan dan diinginkan untuk segera dipenuhi, atau akan dipenuhi di masa yang akan datang. Langkah ini bertujuan agar produk yang dibuat laku terjual karena telah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar.[36]
Penerapan konsep produk pada dasarnya harus melalui suatu riset perusahaan. Karena memproduksi suatu barang tanpa melakukan riset pemasaran terlebih dahulu, dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip keadilan. Dalam artian sebuah produk yang dirancang perusahaan tanpa mengetahui kepada siapa produk ditujukan, berarti mengabaikan perbandingan antara satu kepentingan dengan kepentingan yang lain. Karena dalam syari’at Islam, unsur keadilan dalam hal hubungan ekonomi termasuk pemasaran, tidaklah cukup jika pertukaran hanya didasarkan pada asas memberi dan menerima saja. Tetapi juga harus mempertimbangkan arti penting keharmonisan, keseimbangan, kebaikan, dan perbandingan antara kepentingan dan keperluan.[37] Disamping itu, perusahaan yang merancang produknya tanpa melakukan riset pemasaran terlebih dahulu, terdapat kemungkinan produknya tidak diminati konsumen, walaupun secara kualitas memiliki keunggulan.[38]
Oleh karena itu di dalam teori perusahaan, untuk menentukan jenis produk apa yang akan di buat, harus memperhatikan dua alasan yakni adanya kebutuhan masyarakat atau pasar dan manfaat positif apa yang bakal diperoleh perusahaan. Pengertiannya, dalam menentukan jenis produk yang akan dibuat, perusahaan harus melihat barang yang diperkirakan akan dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya dengan mengamati dan mencermati dinamika di dalam masyarakat. Jika perusahaan telah menemukan kebutuhan apa yang telah, sedang, dan akan diperlukan oleh masyarakat, maka hal ini tentu saja merupakan peluang untuk membuat jenis produk tersebut, dan karenanya perusahaan diperkirakan, akan mendapat imbalan ekonomis yang seimbang karena telah memproduksi barang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.[39]
Dalam hal ini, kebutuhan masyarakat dapat dikategorikan dalam dua macam, yakni kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Jika barang yang akan diproduksi ini berkait dengan kebutuhan pokok, di mana barang sangat dibutuhkan ketersediaannya, maka merupakan keharusan yang tinggi bagi perusahaan untuk segera membuatnya. Hal ini mengingat adanya unsur sosial yang tinggi berkenaan dengan hal tersebut.[40]
Di samping itu yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah menjamin pengadaan produk barang dan jasa sebagai upaya memenuhi kebutuhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia. Produk tersebut tentunya berupa barang dan jasa yang secara positif berguna dan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Berkaitan dengan hal ini, Islam telah melarang pengadaan barang dan jasa yang mempunyai dimensi merugikan atau dapat berdampak menurunkan kesejahteraan manusia, seperti pengadaan minuman keras, obat-obatan terlarang, pengadaan jasa-jasa prostitusi dan bisnis hiburan mesum, serta bisa dikatakan termasuk ke dalam jajaran ini adalah pengadaan iklan-iklan berkonotasi seksual atau menonjolkan unsur-unsur seksualitas oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis advertising. Semua hal tersebut sangat tidak sesuai dengan arahan Islam, yang antara lain terlihat dalam sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
أمرت الرسول أن لا تأ كل إلا طيّبا ولا تعمل إلا صا لحا [41]
Harga merupakan salah satu unsur dari marketing mix. Untuk mengetahui peranan variabel harga dalam pemasaran dapat dilihat dari reaksi konsumen terhadap harga suatu barang. Jika harga suatu produk yang telah ditentukan pada suatu tingkat tertentu, mengakibatkan konsumen sangat bereaksi terhadap produk tersebut, berarti variabel ini mempunyai peranan yang relatif sangat penting dalam pemasaran. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka menunjukan bahwa variabel harga trsebut relatif kurang dapat meningkatkan volume pemasaran.[42]
Harga yang ditentukan perusahaan terhadap produk-produknya, pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yakni: 1) faktor ongkos atau biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi dan komersialnya; 2) faktor margin yang diinginkan perusahan.[43]
Harga yang ditetapkan oleh suatu perusahaan pada akhirnya akan dibebankan atau dibayar oleh konsumen. Agar masyarakat, khususnya masyarakat konsumen dapat ditingkatkan kesejahteraannya. Penetapan harga tersebut harus sesuai dengan daya beli mereka. Dalam hal ini, syari’at Islam telah melarang cara-cara yang merugikan masyarakat, seperti penimbunan produk perusahaan dalam jangka waktu tertentu agar para pembeli membayarnya dengan harga tinggi atau dikenal dengan ihtikar. Ihtikar merupakan usaha penimbunan atau penyembunyian dalam waktu tertentu secara sengaja dengan maksud menimbulkan barang-barang tertentu hilang dipasaran dalam waktu tertentu, dan ketika muncul harganya melonjak tinggi. [44]
Saluran distribusi merupakan penopang yang sangat penting untuk menjamin suatu produk sampai ke tangan konsumen. Untuk itu perusahaan dituntut untuk menjalankan prinsip pengelolaan manajemen distribusi, yang antara lain:[45]
a) Keamanan dan keselamatan barang yang dikirim.
b) Kecepatan datangnya barang kepada konsumen.
c) Kemurahan biaya distribusi.
d) Konsumen mendapat pelayanan yang cepat dan tepat.
Oleh karena itu, segala cara yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan tersebut harus dihindarkan seperti halnya talaqqi rukban yang telah disinggung dalam pembahasan tentang harga diatas.
Kegiatan promosi termasuk salah satu elemen marketing mix yang berkaitan dengan komunitas pemasaran. Komunikasi pemasaran adalah:
Aktifitas untuk menginformasikan pemasaran, membujuk atau mempengaruhi kepada pasar sasaran atas perusahaan berikut produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut.[46]

Adapun tujuan promosi adalah:[47]
1. Memajukan citra perusahaan yang bersangkutan, dan atau
2. Memperbesar volume penjualan produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Macam-macam jenis promosi adalah:[48]
a) Pengiklanan (advertising), yang pembahasannya akan dilakukan pada sub bagian tersendiri.
b) Penjualan tatap muka (personal selling), yakni merupakan suatu presentasi secara lisan dalam suatu percakapan dengan seorang (atau lebih) calon pembeli, dengan tujuan untuk menjual produk atau jasa tertentu.
c) Promosi penjualan (sales promotion), yakni terdiri dari aktivitas-aktivitas pemasaran seperti: pertandingan-pertandingan, hadiah-hadiah, display, show, pameran-pameran, demonstrasi-demonstrasi, dll.
d) Publisitas (Hubungan mayarakat/ public relations), yakni merupakan stimulasi permintaan secara non personal, produk, servis atau kesatuan usaha tertentu dengan jalan mencantumkan berita-berita penting tentangnya di dalam sebuah publikasi, atau mengupayakan presentasi tentangnya melalui radio, TV, atu sandiwara yang tidak dibiayaai oleh pihak sponsor.
[1] Buchari Alma, Dasar-dasar Bisnis dan Pemasaran, cet.3 (Bandung: Alfabeta, 1997), h. 98.
[2] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran: Analisa Prilaku Konsumen, cet. 2 (Yogyakarta: BPFE, 1997), h. 5.
[3] Ating Tedjasutisna, Pemasaran SMK: Kelompok Bisnis dan Manajemen, (Bandung: Armico, 1999), I: 15.
[4] Pengertian pemasaran secara sempit antara lain dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli yang disarikan oleh Buchari Alma sebagai berikut: Menurut Charles F. Philips dan Delbert J. Duncan dalam bukunya Marketing Principles and Methods adalah: “Marketing yang oleh para pedagang disamakan dengan distribusi dimaksudkan dengan segala kegiatan untuk menyampaikan barang-barang ke tangan konsumen…”. Maynard dan Beckman dalam Principles of Marketing menyatakan: “Marketing berarti segala usaha yang meliputi penyaluran barang dan jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi”. Sementara Paul Converse dan Fred M. Jones dalam Introduction to Marketing mengemukakan bahwa dunia bisnis dibagi dua yaitu: pertama produksi yang diartikan sebagai menciptakan barang ,dan kedua adalah marketing yaitu pekerjaan memindahkan barang-barang ke tangan konsumen. Sedangkan William J. Shultz dalam Outline of Marketing menyebutkan marketing atau distribusi adalah usaha/kegiatan yang menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Begitu pula tidak jauh berbeda dengan pendapat Raybun D. Tousley, Eugene Clark, dan Fred E. Clark dalam Principles of Marketing yang menyatakan bahwa: “Marketing terdiri dari usaha mempengaruhi pemindahan pemilikan barang dan jasa termasuk distribusinya.” Lihat Buchari Alma, Dasar-dasar…, h. 98-99.
[5] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran dan Manajemen, (Bandung: Mandar Maju, 1996), h.3.
[6] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h.3.
[7] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[8] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran: Analisa, Perencanaan, Implementasi dan kontrol, alih bahasa oleh Hendra Teguh dan Ronny A. Rusli, cet. 6 (Jakarta: Prenhallindo, 1987), I: 13.
[9] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[10] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[11] Lihat Ibid., h. 6.
[12] A. Sony Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, cet. 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 44.
[13]A. Sony Keraf, Etika Bisnis....,h. 122.
[14] A. Sony Keraf, Etika Bisnis,..,h. 123- 127.
[15] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran: Analisa…, I:24.
[16] Ibid., I:24..
[17] Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: LESFI, 1997), h. 68.
[18] Lihat Q.S. Maryam (19): 93-95.
[19] Lihat Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, cet. 1 (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 93-94.
[20] M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 136.
[21] Q.S. (9): 105.
[22] Q.S. Huud (11): 6.
[23] Q.S. Huud (11) : 11.
[24] Q.S. al-Jumu’ah (62): 10.
[25] Q.S. an-Nisa (4): 107.
[26] Q.S. al-Baqarah (2): 148.
[27] Musa Asy’ari, Islam.., h. 23..
[28] Ibid.,, h .22.
[29] Q.S. al-Hadid (57): 7
[30] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h.5.
[31] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h 8.
[32] Kelima tipe konsumen tersebut dapat dirinci berdasarkan tangga loyalitas.Pertama prospek (prospect), yakni orang-orang yang mengenal produk atau jasa perusahaan namun belum pernah memasuki tokonya, serta belum pernah membeli produk atau jasa tersebut. Pelanggan seperti ini menempati anak tangga paling bawah dari kelima tipe konsumen ini. Kedua pembelanja (shopper), yaitu prospek yang telah mengunjungi toko akan tetapi belum membuat keputusan membeli. Ketiga tipe konsumen yang dinamakan pelanggan (customer) yakni orang yang membeli produk atau jasa perusahaan. Orang-orang inilah yang harus benar-benar diperhatikan perusahaan agar menjadi klien tetap perusahaan. Keempat Klien (client), yakni tipe konsumen yang secara reguler membeli produk perusahaan. Kemudian perusahaan akan meraih kesuksesan jika mempunyai banyak penganjur yakni tipe konsumen yang kelima. Pengaanjur (advocates) ini adalah mereka yang telah sangat puas dengan produk atau jasa perusahaan, sehingga menceritakan kepada siapa saja mengenai bagusnya produk dan jasa perusahaan tersebut. Lihat Fandy Tjiptono, Soal-jawab Pemasaran, cet. 1 (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 114-115.
[33] Fandy Tjiptono, Soal-jawab… Ibid., h 119.
[34] Tanggapan atau komplain tersebut dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: voice response, private response, dan third party response. Voice response merupakan tanggapan yang disampaikan langsung atau meminta ganti rugi kepada perusahaan atau distributornya. Private response bisa berupa peringatan dan berita dari mulut ke mulut antara pelanggan dengan kolega, teman, atau keluarganya mengenai pengalaman buruknya berkaitan dengan produk suatu perusahaan. Sedangkan third party response merupakan tindakan yang meliputi usaha mendapatkan ganti rugi secara hukum, mengadu ke media massa, atau langsung mendatangi lembaga konsumen, instansi hukum, dan sebagainya. Lihat Ibid., h. 118.
[35] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h 5.
[36] Muslich, Etika Bisnis: Pendekatan Subtantif dan Fungsional, cet.1 (Yogyakarta: Ekonisia, 1998), h. 38
[37] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, alih bahasa Anas Sidik, cet.1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 45-46.
[38] Philip Kotler, Manajemen…, I: 6.
[39] Muslich, Etika…, h. 55.
[40] Muslich, Etika…, h. 55.
[41] Jalaluddin as-Suyuti, Al-Jami’ as-Sagir fi Ahadis al-Basyir an-Nazir, (ttp. Syirkah an-Nur Asia, t.t.), I: 66. Hadis dari Abu Hurairah.
[42] Muslich, Etika…, h.39.
[43] Ibid h. 40-41.
[44] Berkaitan dengan harga ini, selain ikhtikar, untuk mencegah segala bentuk ketidak-adilan dalam penentuan harga, islam telah melarang beberapa hal lain seperti: 1) talaqqi rukban, yakni pedagang yang berusaha mendapat keuntungan dengan menyongsong penjual (produsen) di pinggir kota agar penjual dari kampung tidak tahu harga yang berlaku dikota (pasar kompetitif sesungguhnya); 2) mengurangi timbangan, karena berarti memnjual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit; 3) menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk; 4) transaksi najasyatau si penjual menyuruh orang lain memuji barang dagangannya atau menawarnya dengan harga tinggi agar orang lain tertarik; dll. selengkapnya lihat Adiwarman A.Karim, Islamic Microeconomics, Edisi 1 (Jakarta: Muamalat Institute, 2001), h. 116.
[45] Muslich, Etika…, h. 39.
[46] Fandy Tjiptono, Soal-Jawab…,h. 189.
[47] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h 147.
[48] Lihat Ibid. h. 148-149.

PERSPEKTIF EKONOMI MAKRO INDONESIA

A. Pendahuluan
Ekonomi makro adalah bidang ilmu yang mempelajari keseluruhan ekonomi dalam bentuk: jumlah barang dan jasa yang diproduksi, total pendapatan yang dihasilkan, tingkat pengangguran, serta sifat-sifat umum harga barang. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Hingga 1930 sebagian besar analisis ekonomi terfokus pada industri dan perusahaan. Ketika terjadi Depresi Besar pada tahun 1930-an, dan dengan perkembangan konsep pendapatan nasional dan statistik produk, bidang ekonomi makro mulai berkembang. Saat itu, gagasan-gagasan yang terutama berasal dari Jhon Maynard Keynes, yang menggunakan konsep aggregate demand untuk menjelaskan fluktuasi antara hasil produksi dan tingkat pengangguran, sangat berpengaruh dalam perkembangan bidang ini. Ekonomi Keynesian didasarkan pada gagasan-gagasannya. Dalam karyanya Keynes menulis bahwa Pemerintah kadangkala harus menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Pembedaan tradisional berkenaan dengan ekonomi makro konvensional adalah antara dua pendekatan berbeda yakni: ekonomi Keynesian, memusatkan pada permintaan; dan ekonomi sisi-penyediaan (atau neo-klasik) yang memusatkan pada persediaan. Kedua pendekatan tersebut berkembang di Barat, dan biasanya diterapkan juga untuk menganalisis persoalan-persoalan ekonomi makro di berbagai negara, termasuk Indonesia. Makalah ini akan melihat lebih jauh mengenai penerapan teori ekonomi makro “produk Barat” tersebut (khususnya teori neo-klasik) dalam konteks Indonesia.
B. Analisis Penerapan Teori Ekonomi Makro Konvensional Di Indonesia
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya tahun 1979, Mubyarto menegaskan tentang tidak cocoknya teori-teori ekonomi Barat bagi kondisi nyata ekonomi Indonesia, sebagai berikut:
(1) Teori Ekonomi Neoklasik yang terbentuk di dunia Barat satu abad yang lalu hanya relevan untuk menganalisis sebagian kecil perekonomian kita, dan tidak relevan bagi sebagian besar yang lain.
(2) Teori Ekonomi Neoklasik (Barat) ini telah tidak begitu berkembang sebagai ilmu di Indonesia tetapi lebih kelihatan berkembang sebagai seni.
“Hipotesis” tersebut bertambah kuat dan sejak krismon (krisis moneter) 1997-1998 menjadi semakin kuat lagi dengan membesarnya peranan sektor ekonomi informal. Jika buku-buku teks teori ekonomi (Neoklasik) menyatakan bahwa teori ekonomi sama dengan teori harga (price theory), maka jelas bahwa teori ekonomi tidak dapat dipakai untuk menganalisis peristiwa-peristiwa ekonomi di luar pasar. Artinya jika sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat/bangsa Indonesia diselenggarakan secara informal, maka pisau analisis yang tepat bukanlah teori harga atau teori ekonomi pasar tetapi teori ekonomi kelembagaan.
Padahal kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat Indonesia adalah bergerak pada sector informal yang lebih dikenal sebagai “ekonomi rakyat”. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan BPS 3,5% (tahun 2002) jelas-jelas merupakan sumbangan ekonomi rakyat yang dapat diandalkan ketahanannya. Ekonomi rakyat bukanlah ekonomi tersembunyi (hidden economy) tetapi ekonominya wong cilik yang dapat dengan mudah dilihat dan ditemui di mana-mana di sekitar kita, di desa-desa maupun di kota-kota. Menjamurnya pedagang kaki lima di mana-mana di kota-kota besar dan kecil, adalah indikator penemuan ekonomi rakyat pada habitatnya yang benar, ketika ekonomi sektor industri modern makin tertutup dan bermasalah. Jika pemerintah menganggap menjamurnya pedagang kaki lima sebagai masalah yang memusingkan, ditinjau dari para pelaku ekonomi rakyat ia merupakan pemecahan masalah (solution). Dan jalan keluar atau pemecahan masalah ini sama sekali tidak memperoleh bantuan modal dari pemerintah atau bank-bank pemerintah, tetapi semuanya dengan modal mereka sendiri. Ekonomi rakyat menjadi pendukung utama perekonomian nasional, meskipun hampir tidak pernah dipihaki kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemulihan ekonomi nasional dari krisis yang berkepanjangan justru terletak pada ekonomi rakyat. Bahwa ekonom-ekonom modern zaman sekarang pura-pura tidak mengerti ekonomi rakyat dan mengatakan itu sebagai ekonomi tersembunyi (hidden economy) memang mudah dipahami karena pakar-pakar ekonomi ini sudah tercekoki oleh teori-teori ekonomi Neoliberal dari Barat yang hanya “bergaul” dengan fakta-fakta ekonomi modern, ekonomi industri, ekonomi pasar uang/modal.
Kerancuan penerapan teori ekonomi barat juga terlihat dalam menganalisis tingkat pengengguran. Jika Parpol-parpol dalam Kampanye Pemilu 2004 mengritik pemerintah yang tidak mampu mengatasi pengangguran 40 juta tenaga kerja Indonesia, maka nampak jelas bahwa Parpol-parpol tersebut memang tidak memahami masalah hakiki ekonomi Indonesia. Karena para penganggur yang mendaftar tidak pernah ditanya tentang kehidupannya (miskin atau tidak), maka bagi ekonom Indonesia, tidak seperti di negara industri maju, masalah pengangguran seharusnya tidak merupakan masalah paling utama. Yang benar, kemiskinan adalah masalah yang lebih penting ketimbang masalah pengangguran. Penganggur belum tentu miskin, sedangkan penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan pasti miskin, yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang , papan, pendidikan dan kesehatannya.
Demikian lebih tidak benar lagi jika pakar-pakar ekonomi menyatakan bahwa hanya melalui pertumbuhan ekonomi tinggi pengangguran dapat diatasi. Menteri Keuangan baru-baru ini menyatakan hal yang sama yaitu bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan. Kedua masalah yang disebut terakhir hanya dapat diatasi melalui kebijakan khusus yang bersasaran pada penciptaan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Inilah yang dikeluhkan Prof. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, yang merasakan kemandulan ilmu ekonomi (Neoklasik) untuk menganalisis masalah-masalah kelaparan (dan kemiskinan) yang melanda negaranya tahun 1974, yang mengakibatkan 1,5 juta orang meninggal.
Topik ekonomi makro yang juga keliru diterapkan adalah persamaan Y=C+I+G dengan anggapan dasar bahwa C adalah “buruk” dan tidak produktif, sedang I, yang hanya dapat dilakukan perusahaan-perusahaan besar adalah “baik”, produktif, dan mampu menciptakan kesempatan kerja. Pakar ekonomi konvensional tidak pernah mau mengakui bahwa ekonomi rakyat mampu ber-investasi, bahkan dengan menggunakan modal sendiri atau dapat memperoleh modal melalui (rumah-rumah) pegadaian. Dalam pada itu perbankan atas arahan BI juga membuat kekeliruan dengan selalu menggolongkan kredit kendaraan bermotor sebagai kredit konsumsi, padahal bagi ekonomi rakyat kendaraan bermotor dimanfaatkan sebagai “alat produksi” yang berarti merupakan pengeluaran investasi.
"Kerancuan" atau "kemelesetan" teori ekonomi makro Neoklasik jika diterapkan pada kondisi ekonomi Indonesia yang berpenduduk besar dengan kekuatan ekonomi rakyat yang besar pula, namun karena bersifat informal, tak tercatat dalam statistik dan penerbitan-penerbitan resmi pemerintah, lalu tidak pernah diperhitungkan. Salah satu angka yang dianggap "kunci" bagi pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Karena Indonesia memiliki lembaga Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mencatat angka-angka "rencana" investasi (penanaman modal) "yang disetujui" pemerintah, maka pemerintah dari tahun ke tahun selalu menerbitkan angka-angka persetujuan ini baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Meskipun angka-angka BKPM sudah sering dikritik karena realisasi penanaman modal selalu jauh berbeda dengan rencana, namun angka-angka untuk tahun 2002 disiarkan dan dikomentari secara luas oleh pers dan para politisi dalam rangka menonjolkan kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah. Demikian analisis yang dilakukan tentu saja meleset karena angka-angka "keliru" atau tidak lengkap tersebut memang sekedar sebagai alat mengritik pemerintah bukan untuk benar-benar menemukan masalah riil yang dihadapi ekonomi Indonesia.
Meskipun tidak semua teori ekonomi Neoklasik keliru dan tidak relevan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia, namun ada 3 kelemahan mendasar yang harus diperbaiki jika teori ini diharapkan dapat diterapkan di Indonesia. Itulah ekonomi kelembagaan yang memiliki 3 ciri khas, yaitu: (1) kesadaran adanya peranan nilai dan ideologi dalam penelitian sosial, (2) penelitian bersifat holistik (menyeluruh) dan interdisipliner, dan (3) bersifat evolusioner yaitu berciri historikal dan dinamis.
C. Ekonomi Pancasila Sebagai Alternatif
Perekonomian Indonesia yang pernah dijajah 350 tahun disamping bersifat dualistik juga bersifat “menolak”, dan berusaha “melawan” kekuatan ekonomi dan modal asing yang lama mencengkeramnya. Maka ekonomi Indonesia adalah anti penjajahan (anti-kolonialisme, anti- imperialisme, dan anti-liberalisme) termasuk terhadap kekuatan modal kuat di dalam negeri sendiri yang mulai menancapkan kukunya selama (ekonomi ) Orde Baru 1966-1997 yang liberal.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh Ekonomi Indonesia adalah ketidak mampuan ekonom konvensional yang mengikuti aliran Neoklasik itu untuk melihat gejala semacam ekonomi rakyat. Salah seorang ekonom pernah menolak apa yang disebut “ekonomi rakyat”. Baginya “ekonomi ya ekonomi”. Kesimpulan ini disebabkan karena kacamata yang dipakai yaitu kacamata Neoklasik memang tidak mampu melihat gejala ekonomi rakyat. Gejala ini hanya bisa ditangkap lewat kacamata ekonomi-sosiologis atau antropologi ekonomi. Karena itulah, dalam rangka advokasi Ekonomi Pancasila Prof. Mubyarto pernah mengusulkan dipergunakannnya pendekatan multi-disipilin dalam melihat gejala ekonomi. Sebenarnya pendekatan ini sudah dipikirkan oleh Bung Hatta, ketika ia menulis buku pengantar mengenai Ekonomi-Sosiologi. Studi dengan pendekatan antropologi kini sudah dimulai, termasuk studi disertasi. Buku “Ekonomi Moral, Rasional dan Politik” adalah sebuah kumpulan esai-esai antropologi-ekonomi yang disunting oleh Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra et. al. yang memberikan gambaran mendalam mengenai ekonomi rakyat. Demikian pula hasil penelitian disertasi Dr. Irwan Abdullah yang berjudul “Muslim Businessmen of Jatinom”, sebuah hasil studi antropologi yang informatif, mendalam dan menarik tentang perekonomian rakyat di kota kecil di Klaten, Jawa Tengah. Dari daftar kepustakaan buku ini bisa dikumpulkan hasil-hasil studi yang cukup luas dan mendalam mengenai perekonomian rakyat. Buku-buku itu bisa menjadi bahan penyusunan buku teks atau buku bacaan mengenai ekonomi rakyat, dengan pendekatan sejarah dan multi-disiplin ilmu-ilmu sosial. Buku semacam itu akan sangat membantu memecahkan masalah-masalah ontologi dan epistemologi Ekonomi Rakyat. Oleh karena itu, beberapa pakar ekonomi Indonesia kemudian memeperkenalkan istilah “Ekonomi Pancasila”.
Menurut Mubyarto Ekonomi Pancasila adalah ekonomi kelembagaan karena mendasarkan pada nilai dan ideologi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 45. Pembukaan UUD 45 berisi tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan bebas dari kekuatan asing, dan melalui kebebasan itu seluruh warga bangsa dapat dicerdaskan dan ditingkatkan kesejahterannya.
Istilah “Ekonomi Pancasila” baru muncul pada tahun 1967 dalam suatu artikel Dr. Emil Salim. Ketika itu belum begitu jelas apa yang dimaksud dengan istilah itu. Istilah itu menjadi lebih jelas ketika pada tahun 1979, Emil Salim membahas kembali yang dimaksud dengan “Ekonomi Pancasila”. Pada pokoknya “Ekonomi Pancasila” adalah suatu konsep kebijaksanaan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Kekanan artinya bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri artinya mengalami intervensi negara dalam bentuk perencanaan memusat. Secara sederhana Ekonomi Pancasila dapat disebut sebagai sebuah sistem ekonomi pasar dengan pengendalian pemerintah atau “ekonomi pasar terkendali”. Mungkin ada istilah-istilah lain yang mendekati pengertian “Ekonomi Pancasila”, yaitu “sistem ekonomi campuran”, maksudnya campuran antara sistem kapitalisme dan sosialisme” atau “sistem ekonomi jalan ketiga”. Tetapi kedua istilah itu banyak variasinya di dunia. Sistem ekonomi yang berlaku di Amerika Utara dan Eropa Barat umpamanya, dapat disebut sebagai sistem ekonomi campuran, karena sudah tidak asli kapitalis, tetapi bukan pula sosialis. Tapi persepsi umum menilai bahwa sistem ekonomi AS adalah sebuah model ekonomi kapitalis yang paling representatif, sedangkan sistem ekonomi di Uni Soviet (dulu sampai 1991) atau RRC adalah model ekonomi sosialis yang paling baku. Barangkali yang lebih mendekati model ekonomi campuran adalah sistem ekonomi Inggris atau negara-negara Eropa Barat yang lazim disebut juga sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Pendekatan filsafat ilmu terhadap Ekonomi Pancasila, menghendaki tiga tahap pembahasan. Pertama adalah pembahasan ontologis mengenai keberadaan “Ekonomi Pancasila”. Kedua, pembahasan epistemologis yang menjawab pertanyaan bagaimana memahami Ekonomi Pancasila itu dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga adalah pembahasan aksiologis yang mempertanyakan hasil atau kondisi ideal yang dihasilkan oleh proses pembentukan Ekonomi Pancasila.
Pertanyaan awal yang harus dijawab oleh para penganjur Ekonomi Pancasila adalah apa itu Ekonomi Pancasila secara teoritis-konseptual maupun hampiran empirisnya ?. Dari impresi penelitiannya yang sangat luas, Prof. Mubyarto mengatakan bahwa praktek Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Pancasila in action, dengan mudah dapat dijumpai dan dikenali di mana-mana di seluruh Indonesia. Praktek ekonomi itu seringpula disebut sebagai “ekonomi rakyat” yang bersifat moralistik, demokratik dan mandiri. Dengan gambaran dan pembahasan itu sering Ekonomi Pancasila diidentikkan dengan ekonomi rakyat.
Jika salah satu wajah ekonomi Pancasila itu adalah ekonomi ekonomi rakyat yang dijumpai di daerah-daerah, di perdesaan dan kota-kota kecil maupun kampung-kampung kota-kota di Indonesia (disitu banyak dijumpai industri rakyat atau kerajinan rakyat), maka gambaran itu dekat dengan aliran Hijau dalam teori Galtung.[1] Menurut Galtung aliran Hijau bercirikan kolektivisme dimana berlaku kepemilikan kolektif atas faktor produksi yang menghasilkan produk kolektif maupun individual. Dalam distribusi ekonomi ini bertumpu pada pasar lokal, rencana lokal dan pertukaran. Ini sebenarnya adalah gambaran dari sebuah ekonomi tradisional. Jika ini gambaran aliran Hijau maka perekonomian Indonesia tidak hanya bercorak lokal tetapi juga antar-regional, nasional bahkan internasional. Hasil perkebunan rakyat sejak berabad-abad yang lalu menjangkau pasar internasional dan itulah yang memancing kolonialisme Barat.
Ekonomi lokal ini juga sudah bersentuhan dengan modernitas yang mengandung inovasi. Sebagai perekonomian rakyat yang telah mengalami modernisasi, perekonomian rakyat pada dasarnya adalah perekonomian pasar yang didasarkan pada sistem kepemilikan individu dan kolektif. Sebagai ekonomi yang mengandung campuran biru dengan unsur pasar dan modal, maka pengertian pasar disini sudah mengalami perubahan, terutama karena pengaruh teori Keynes, yaitu “pasar terkendali” atau “pasar berkeadilan”. Konsep modalpun juga telah berkembang bukan hanya berupa modal finansial dan modal manusia (human capital), tetapi juga bentuk-bentuk modal lainnya yang diketemukan dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu modal sosial (nilai-nilai keutamaan), modal kultural (kreativitas dan estetika), modal intelektual (teknologi dan informasi) dan modal spiritual (keyakinan dan semangat). Modal-modal baru ini telah membebaskan ekonomi dari sistem kapitalis yang hanya mengenal modal finansial saja.
Ekonomi Pancasila disebut juga sebagai ekonomi yang berasaskan kekekeluargaan, kegotong-royongan dan kerjasama. Ini adalah nilai-nilai tradisional yang bersumber pada budaya Indonesia. Tapi asas kekeluargaan ini, yang berdasarkan kepada solidaritas mekanis, telah ditransformasikan menjadi solidaritas fungsional, dengan nilai-nilai individualitas dalam lembaga koperasi. Jika itu ciri Ekonomi Pancasila maka ini tergolong dalam aliran Merah Muda atau Nordic. Lagi pula, sistem koperasi yang dibawa oleh Hatta, dipelajarinya ketika ia berkunjung ke negara-negara Skandinavia pada tahun 1926 bersama-sama dengan Dr. Samsi. Selain itu, pasal 33 UUD 1945, menyebutkan bahwa cabang-cabang penting kebutuhan rakyat dikuasai oleh negara, sehingga melahirkan BUMN. Jika ini juga ciri Ekonomi Pancasila, maka Ekonomi Pancasila mengikuti model negara kesejahteraan Eropa Barat. Hal ini lebih menegaskan, bahkan Ekonomi Pancasila tergolong ke dalam aliran Merah Muda. Peranan negara dalam wujud perencanaan pusat (central planning agency) yang dilembagakan dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang masih terus bekerja hingga sekarang, menunjukkan pula bahwa Ekonomi Indonesia mengambil unsur Merah. Namun, Indonesia juga mengakui peranan sektor swasta termasuk asing. Pada masa Ekonomi Terpimpin (1960-1965) mulai berkembang perusahaan-perusahaan swasta besar. Pada masa Orde Baru (1966-1998), sangat menonjol peranan konglomerasi dan perusahaan-perusahaan multinasional hingga sekarang. Indonesia juga menganut rezim devisa bebas dan perdagangan bebas dengan luar negeri. Ini merupakan ciri aliran Biru. Tidak terlalu salah jika Ekonomi Indonesia (yang sebagian menyimpang dari Pancasila) sebagai realitas ekonomi, merupakan kombinasi dari aliran Merah dan Biru dan Hijau sehingga menjadi aliran Merah Muda. Cuma dalam aliran Merah Muda Galtung, warna-warna itu adalah warna-warna yang lemah atau kombinasi yang lemah dari tiga warna itu. Di sini kita melihat adanya kontradiksi antara Ekonomi Pancasila dan realitas Ekonomi Indonesia. Itulah maka, Mubyarto, Sri-Edi Swasono dan Sritua Arief, melakukan kritik yang tajam terhadap realitas Ekonomi Indonesia yang bercorak kapitalis.

D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan teori ekonomi konvensional (neo klasik) secara penuh untuk menganalisis ekonomi makro Indonesia atau untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan di Indonesia, masih mengandung beberapa kelemahan. Oleh karena itu, mengikuti kerangka teori enam aliran ekonomi di dunia menurut Johan Galtung, Ekonomi Pancasila tergolong ke dalam ekonomi campuran ketiga, pada asasnya lebih menjanjikan dalam konteks Indonesia sesuai dengan histories-sosiologisnya.
Pada dasarnya Ekonomi Pancasila adalah aliran Hijau yang berasal dari Dunia Ketiga. Secara ontologis keberadaan Ekonomi Pancasila perlu dibuktikan dengan buku sejarah ekonomi Indonesia, khususnya ekonomi rakyat. Gambaran mengenai ekonomi rakyat kontemporer diwujudkan dalam penelitian multi-disiplin, khususnya ekonomi sosiologi dan antropologi ekonomi yang mampu menangkap kelembagaan ekonomi rakyat, baik tradisional maupun modern.

E. Daftar Pustaka
Balairung, Jurnal Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, edisi 37/Th XVIII/2004
Harris, John, Janet Hunter, and Colin M. Lewis (Ed), 1995, The New Institutional Economics and Third World Development, London, Routledge
Keynes, John Maynard, 1936, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London, Macmillan & Co
Mubyarto, 1982, Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta, Yayasan Idayu
__________, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta, BPFE
__________, 2003, Ekonomi Pancasila : Landasan Pikir dan Misi Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, BPFE
__________, 2004, Ekonomi Pancasila : Renungan Satu Tahun PUSTEP-UGM, Yogyakarta, Aditya Media
__________, 2004, Pendidikan Ekonomi Kita, Yogyakarta, Aditya Media
Mubyarto, dan Daniel W, Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press
Oliver, J.M., 1973, The Principles of Teaching Economics, London, Heinemann Educational Books
PUSTEP-UGM, 2003-2004, Perkembangan Pemikiran Ekonomi Pancasila Jilid I-III, Yogyakarta, PUSTEP-UGM
Rahardjo, Dawam. “Ekonomi Pancasila Dalam Tinjauan Filsafat Ilmu”, http://www.google.com
http://id.wikipedia.org

[1] Johan Galtung, menyebut adanya 6 aliran pemikiran ekonomi yang disimbolkannya dengan warna-warna. Yang paling dasar adalah aliran tiga warna: merah, biru dan hijau. Biru adalah lambang ekonomi kapitalis yang berintikan pasar dan modal. Warna Merah mewakili ekonomi sosialis yang bertumpu pada negara dan kekuasaan. Sedangkan warna Hijau mewakili ekonomi Dunia Ketika yang sedang berkembang, yang bersendikan masyarakat sipil (civil society) dan dialog. Ketiga aliran yang lain merupakan ekonomi campuran. Tapi pengertian “campuran” menurut Galtung berbeda dengan persepsi umum yang bersumber dari pandangan Samuelson dalam buku teksnya. Pertama adalah campuran antara biru, merah dan hijau, yang menjadi warna Merah Muda atau Merah Jambu (pink). Tapi representasi aliran Merah Muda ini adalah negara-negara Eropa Barat minus Inggris, terutama negara-negara Nordic, yaitu negara-negara yang mengikuti konsep negara kesejahteraan. Sedangkan campuran antara warna Biru dan Merah menghasilkan warna Kuning yang diwakili oleh negara-negara Timur Jauh, khususnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapore, yang menggabungkan secara tegas unsur-unsur pasar dan negara, modal dan kekuasaan. Aliran pemikiran lain yang disebutnya adalah campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning yang dinilai sebagai kombinasi yang ideal, karena tidak langsung mencampur warna Biru dan Merah yang paling banyak dikritik atau dalam bahasa studi perdamaian, paling berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Aliran ini masih merupakan “angan-angan”, belum ada representasinya. Mengacu pada teori Galtung itu, gagasan Ekonomi Pancasila adalah sah, logis, dan tidak aneh seperti tercermin dalam istilah ejekan “sistem ekonomi bukan-bukan”. Pancasila sering juga disebut sebagai kombinasi antara Declaration of Independence (aliran biru) dan Manifesto Komunis (aliran merah). Tetapi yang lebih tepat, Pancasila intinya adalah kombinasi tiga ideologi, yaitu Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi, tetapi kesemuanya didasarkan pada Humanisme dan kepercayaan Monoteisme. Bung Karno sendiri dalam salah satu artikelnya menyebut tiga sumber ideologi, yaitu Nasionalisme, Islamisme dan Komunisme. Sedangkan Bung Hatta menyebut tiga sumber lain, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia. Jika Ekonomi Pancasila dapat dirumuskan sebagai “ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila”, maka Ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sebuah sistem Ekonomi Campuran.

EKONOMI SYARI’AH: HARAPAN DAN MASA DEPAN PEREKONOMIAN UMAT MANUSIA

A. Ekonomi Syari’ah Sebagai Harapan
Pada saat ilmu ekonomi konvensional telah siap dalam formatnya yang sudah sangat maju, Ilmu Ekonomi dengan perspektif Islam atau yang sering dikenal dengan nama Ekonomi syari’ah, baru menikmati masa kebangkitannya pada tiga atau empat dekade terakhir ini saja. Untuk mempelajari ekonomi syari’ah ini, yang harus dipahami pertama kali adalah mengetahui kedudukan ekonomi syari’ah dalam sistem Islam secara universal.
Pada hakikatnya Islam merupakan kesatuan ajaran aqidah dan syari’ah yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat terpisahkan, dimana aqidah merupakan sistem keyakinan terhadap keesaan Tuhan (Tauhid) yang bersifat absolut, yang menjadi dasar universal. Sedangkan Syari’ah merupakan penjelmaan nilai-nilai tersebut dalam sistem kehidupan masyarakat yang terus berubah, dan menyangkut berbagai aspeknya. Untuk menjalankan syari’ah ini diperlukan sistem dalam pranata sosial yang terbuka dan dinamis, yang dapat menjawab tantangan perubahan dan pluralitas (Musa Asy’ari, 1997: 11-12). Salah satu aspek yang diatur dalam Syari’ah yang penjabarannya adalah fiqh, adalah aktivitas muamalah. Pengaturan dalam hal ini bertujuan untuk meraih kemaslahatan, mewujudkan keadilan, dan mengurangi kezaliman dalam bidang ekonomi.
Dengan demikian Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw merupakan petunjuk jalan hidup baik dalam kegiatan ibadah maupun muamalah bagi seluruh umat Islam, bahkan bagi seluruh umat manusia sebagaimana penegasan al-Qur’an bahwa Islam adalah Rahmatan lil alamin. Oleh penganutnya Islam dianggap memuat ajaran-ajaran komprehensif, yang dapat memberi jalan keluar bagi seluruh persoalan kemanusiaan (ukhrijat linnas), termasuk persoalan ekonomi. Gambaran tentang kemampuan syari’at Islam dalam menjawab segala permasalahan kontemporer bisa diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal dan horizontal. Mayoritas ahli fiqh telah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu`amalat) adalah boleh, kecuali ada dalil yng menunjukkan bahwa sesuatu terlarang. Tentang prinsip mu`amalat, khususnya yang berhubungan dengan “hukum asal segala sesuatu” ahli usul menetapkan kaidah: al-Asl fi al-asy-ya’ al-ibahah (As-Suyuti, 1415 H: 44).
Oleh karena itu ketika sistem ekonomi yang dominan pada saat ini (Kapitalisme), dianggap kurang memuaskan (untuk tidak mengatakan gagal) dalam menjawab persoalan perekonomian manusia, maka adanya sistem perekonomian yang lebih baik yang dapat ditawarkan Islam, menjadi harapan yang menjanjikan. Apalagi Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Kegagalan pendekatan pembangunan ekonomi secara konvensional itu, ditandai dengan adanya kemiskinan masyarakat, eksploitasi kaum kaya terhadap kaum miskin, meningkatnya disparitas pada tingkat regional dan internasional, tidak seimbangnya neraca produksi dan konsumsi terhadap kebutuhan lingkungan, dan tidak rasionalnya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, beberapa ahli ekonomi menekankan perlunya pertanggungjawaban sosial, cultural dan agama dalam memilih jalur-jalur pembangunan ekonomi (Muhammad, 2003:41).
Dengan demikian, untuk mempermudah kita memahami ekonomi Islam secara komprehensif, maka ada baiknya kita tempuh dengan menggunakan pendekatan perbandingan, yakni dengan membandingkan system ekonomi Islam dengan system ekonomi konvensional (kapitalisme dan sosialisme).

Perbandingan Sistem Ekonomi
Sistem Ekonomi
Paradigma Yang Dianut
Basis Fondasi Mikro
Landasan Filosofis
Sosialisme
Marxian
tidak ada kepemilikan pribadi atas alat-alat maupun faktor-faktor produksi lainnya.
Dialektika-Materialistik
Kapitalisme
ekonomi pasar
menusia ekonomi (homo economicus
Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire
Islam/ Syari’ah
Syariah
manusia sebagai seorang muslim yang ahsani taqwim (homo islamicus)
individualisme yang tunduk akan perintah Tuhan dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi yang bertujuan mencapai falah (kemenangan, kebahagiaan) di dunia dan akhirat dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia
(Arif, 2001: 13).

Tabel di atas memperlihatkan, Sistem ekonomi Sosialisme yang berpedoman pada paradigma Marxisme dengan dasar filosofis Dialektika-Materialistik memberikan basis fondasi mikro pada tidak adanya kepemilikan pribadi dalam hal produksi. Kemudian Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menjadikan paradigma ekonomi pasar sebagai cara pandangnya, dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai menusia ekonomi (homo economicus) dimana dasar filososfisnya bersumber pada paham Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire. Sementara Sistem Ekonomi Islami adalah sistem yang berdasarkan sisi pandang paradigma syariah dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai seorang muslim (homo islamicus) yang tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai (akidah) yang tercermin dalam sikap hidup manusia (akhlak). Sistem Ekonomi Islami sendiri menjadikan dasar filosofisnya bahwa manusia sebagai individualisme yang tunduk akan perintah Tuhan dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi yang bertujuan mencapai falah (kemenangan, kebahagiaan) di dunia dan akhirat dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
B. Implementasi Ekonomi Syari’ah
Dari uraian pendahuluan, terlihat bahwa Sistem pemikiran ekonomi syari’ah berbeda sekali dengan sistem pemikiran ekonomi modern yang sekular-positif (sosialisme dan kapitalisme). Sistem pemikiran ekonomi syari’ah dengan jelas sekali didasarkan pada nilai-nilai yang tidak diragukan kebenarannya. Aliran ekonomi syari’ah sarat dengan nilai-nilai yang merupakan asumsi yang harus terpenuhi dalam jalannya perekonomian, walaupun kenyataannya nilai-nilai ini juga perlu disesuaikan dengan keadaan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi memandang manusia sebagai homo islamicus. Oleh karena itu bagian-bagian yang membentuk sistem, kebijakan sistem islami dan faktor lingkungan sosiologis masyarakat tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terinternalisiasi dalam sumber kehidupan tersebut (Prayudi, 2006).
Pada dataran implementatif, penerapan ekonomi syari’ah dapat dibagi menjadi tiga level yaitu teori ekonomi islami, sistem ekonomi islami dan perekonomian umat Islam. Dalam hal pengembangan teori, telah banyak pemikiran-pemikiran ekonomi islami sebut saja misalkan pemikiran dari Bagir Sadr, Umer Chapra, Fahim Khan, Abdul Mannan, M.A. Choudury, Muhammad Arief, Abbas Mirakhor, Yusuf Qardhowi, dan lain-lain yang mencoba menjawab berbagai permasalahan dan tujuan hidup manusia terutama di bidang ekonomi. Di lain pihak teori yang sudah berkembang saat ini (secara ekstrim diwakili sosialisme dan kapitalisme) sudah banyak dipertanyakan realitas dari pencapaian tujuan normative dari sistem tersebut yaitu negara kesejahteraan (welfare state), hal ini paling tidak oleh beberapa tokoh ekonomi yang mengembangkan teori itu sendiri seperti : Gunnar Myrdal - seorang peraih nobel ekonomi yang tidak bangga dengan penghargaan yang dia terima, Joan Robinson (Penemu teori Monopolistic Competition), Amartya Sen (peraih nobel 1998 di bidang ekonomi), dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan sistem ekonomi islami kemudian, maka teori-teori yang sudah dikembangkan tadi harus diterjemahkan kedalam bentuk peraturan-peraturan, baik dalam bentuk regulatory rule maupun constitution rule. Sedangkan dalam hal penerapan perekonomian ummat Islam maka yang harus dilakukan oleh ummat Islam adalah bahwa umat Islam harus mengusai perekonomian karena kalau tidak maka umat Islam hanya akan terus bergantung pada ummat yang lain.
Penegakan pada salah satu level saja tidak akan menghasilkan tegaknya syariah islam dalam bidang ekonomi. Jadi menegakkan perekonomian umat tidak cukup dengan sidiq, amanah dan tabligh saja, namun harus pula dilengkapi dengan fatonah yaitu kecerdasan dalam strategi berekonomi. Hal yang lebih mendesak lagi dalam hal pengembangan ekonomi islami adalah implementasi dari ketiga level tingkatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, karena suatu sistem ajaran, termasuk agama, tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikan, jika tidak dilaksanakan. Oleh karena itu dalam Islam keuntungan yang dikejar dalam berekonomi bukan hanya keuntungan material, melainkan ada keuntungan-keuntungan lain yang bersifat lebih maknawi, karena dalam berniaga atau berekonomi sebenarnya kita berada dalam beribadah kepada Allah (Nurcholis Madjid, !999).
Sejauh ini, realisasi dari penegakan tiga level implementasi grand theory sistem ekonomi islam yang telah diterapkan di berbagai negara adalah pada sektor keuangan, yang terutama terlihat dengan maraknya pendirian bank-bank berbasis syari’ah.Setelah lembaga keuangan syariah menjamur, mestinya sektor riil yang berbasiskan syariah juga ditumbuhkan, sehingga nantinya perlu ada asosiasi hotel syariah, produk makanan syariah, dsb.

C. Masa Depan Ekonomi Syari’ah
Perkembangan sektor moneter syariah yang tanpa diimbangi oleh sektor riil yang sepadan pada akhirnya akan membuat sektor moneter syariah stagnan. Bila sektor riil syariah ikut bergerak, maka akan tercapai apa yang disebut sebagai ekuilibrium antara perbankan syariah dan sektor riilnya. Pada dasarnya, perbankan syariah tidak akan berkembang bila pertalian dengan sektor riil tidak terjalin erat. Untuk tujuan ini, perlu ada kajian-kajian dan langkah-langkah serta usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk mendukung proses perkembangan sektor moneter yang seimbang dengan bergeraknya sektor riil
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, Islam menawarkan konsep ekonomi yang dilandasi nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama (religion value based) yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Raymond Charles, mengatakan bahwa ekonomi Islam telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri. Di bidang produksi ia sangat memuliakan kerja dan mengharamkan segala bentuk eksploitasi. Di bidang distribusi ia menetapkan dua kaidah "bagi masing-masing menurut kebutuhannya", dan "Bagi masing-masing menurut hasil kerjanya". Dengan adanya penghargaan terhadap prestasi kerja seseorang, secara langsung ataupun tidak dapat meningkatkan produktivitas, sehingga meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat, sehingga kesenjangan ekonomi yang sangat tampak akibat praktek-praktek ekonomi kapitalis, dapat diperkecil atau jika mungkin dihilangkan.
Dengan kata lain, konsep ekonomi Islam telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari’ah) harus diawasi oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan Islam. Adanya mekanisme pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran, selama tidak ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama, adalah sah.
Pada dasarnya Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam hal pengembangan daya guna ini, ketika misalnya seseorang kekurangan modal, solusi yang ditawarkan dalam konsep Islam adalah kerjasama (mudarabah, musyarakah ataupun murabahah), yang pembagian keuntungannya didasarkan kerja-kerja nyata, bukan prediksi berupa dipastikannya keuntungan sesuai dengan berjalannya waktu dengan prosentase tertentu, seperti instrumen interest (bunga) dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, berbicara mengenai pengembangan sektor riil, maka konsep ekonomi dan perdagangan yang dilandasi nilai-nilai dan etika Islam, nampaknya lebih menjanjikan dibandingkan konsep ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Oleh karena itu melaksanakan system syari’ah, sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pengembangan sektor riil ini. Dengan perkataan lain salah satu hal yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memajukan sektor riil, adalah dengan mengembangkan ekonomi syari’ah.
Untuk memajukan sektor riil perlu didukung oleh satu lembaga keuangan yang memiliki manajemen sederhana akan tetapi kaya fungsi. Lembaga seperti itu dapat kita lihat dalam konsep Baitul Maal wa at- Tamwil (BMT). Secara prinsip, BMT merupakan lembaga ekonomi mikro berbasiskan syari’ah yang bergerak dalam sektor riil, dan sasarannya ditujukan untuk memberdayakan kelompok ekonomi lemah (masyarakat kecil atau UKM). Meskipun manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat, akan tetapi pemerintah masih belum mengakui keberadaan BMT secara legal formal, sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah yang berdiri sendiri. Dengan demikian, kekuatan legal BMT masih sangat lemah, padahal adanya regulasi dan infrastruktur yang jelas sangat membantu menopang keberlangsungan UKM dan kelompok masyarakat ekonomi lemah.
Dari uraian diatas terlihat bahwa lingkaran persoalan yang dihadapi BMT adalah pada ketiadaan peraturan yang mendukung keberadaannya. Dari sini, formalisasi hukum ekonomi Islam (mu`amalat) menjadi signifikan, karena dengan tersedianya perangkat aturan yang sejalan dengan karakteristiknya, BMT bisa memaksimalkan fungsinya dan konsisten dengan kesyariahannya.

D. Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
Arif, Muhammad, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 2, Winter 1985, p. 87-103.
Asy’ari, Musa. Islam Etos Kerja Dan pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta, LESFI, 1997.
Bornstein, Morris, Comparative Economic System : Model and Cases, terj. Kelas Sistem Ekonomi FEUI 1999/2000, Jakarta, 1999.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Oleh Ikhwan Abidin B, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, Jakarta, 2001
Chapra, Umer, The Future of Economic : Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Shariah Economics and Banking Instintute (SEBI), Jakarta, 2001.
Ilyas, Daniel, “Sistem Pemikiran Ekonomi Islami”, Makalah dalam Diskusi Internal KEI FSI-SMFEUI (tidak dipublikasikan), Jakarta : 2001.
Karim, Adiwarman A, “Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Shariah Economics Days 2001 oleh FSI-FEUI. 2001.
Madjid, Nurcholis. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999.
Mannan, M. A. Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta, 1992.
Mirza, Iskandar .“Sejarah dan Aktualisasi Ekonomi Syariah” @ eramuslim.com, 2002.
Rahardjo, M. Dawam. Etika Ekonomi Dan Manajemen, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Rodinson, Maxime, Islam dan Kapitalisme, terj. Asep hikmat, Bandung: Iqra’, 1982.
Saefuddin, Imam. Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1999
Siddiqi , Muhammad Najetullah, “History of Islamic Economic Thought”, dalam A. Ahmad dan K. R. Awan, ed., Lectures on Islamic Economics, IRTI-IDB, Jeddah, K.S.A., 1992.

DISKURSUS OTENTISITAS

A. Pengantar
Dalam Islam, praktis tidak ada segi kehidupan manusia yang tidak tersentuh hukum. Walaupun jika dibandingkan dengan ajaran Yahudi ortodoks, regulasi yang ditetapkan dalam al-Qur`an sebenarnya lebih sedikit yang mengatur perilaku dalam kehidupan sehari-hari, namun di mata Barat, Islam tampak seperti “agama hukum”, sebab Islam memang ingin membentuk dan mengatur seluruh jalur kehidupan sehari-hari penganutnya.[1] Ke manapun seorang Muslim[2] melangkah dan dalam aktivitas apapun, baik bersifat material maupun spiritual, individu atau sosial, gagasan atau operasional, keagamaan atau politis, ekonomis ataupun moral, (hukum) Islam selalu menyertainya.[3]
Dalam hukum Islam dikenal kaidah tagayyur al-ahkam litagayyur al-azman. Kaidah yang menunjukan azas fleksibilitas hukum Islam ini, bisa dipastikan sebagai antisipasi dari perkembangan yang merupakan suatu keniscayaan. Namun ketika sistem hukum yang dibangun oleh para imam dianggap telah baku, hukum Islam -dan berarti pelaksananya atau Muslim- seolah-olah terlalu sulit mengikuti apalagi mengontrol perkembangan yang terus berlangsung ke arah modernitas.[4]
Dalam banyak hal modernisasi dipersamakan dengan westernisasi. Maka pilihan untuk menerima atau menolak modernisasi, hampir selalu diartikan sebagai meniru Barat agar bisa maju seperti mereka, atau menolak segala pengaruh budaya Barat dan tetap terbelakang, sehingga seolah-olah tidak mungkin menjadi modern dengan tetap menjadi Muslim, dalam pengertian orang yang selalu melaksanakan “hukum Allah”.
Ketika menerima modernisasi (yang cenderung diartikan westernisasi), yang terjadi pada umumnya adalah peniruan budaya secara membabi-buta dengan segala ekses negatifnya, yang sering berarti mengabaikan hukum atau tata nilai yang berlaku sebelumnya.[5] Kenyataannya, hal tersebut belum mampu mengejar ketertinggalan kaum Muslim dari Barat, yang kebanyakan justru ‘kehilangan’ basis peradabannya, sehingga terperangkap di antara dua budaya, menjadi konsumen yang frustasi atas teknologi asing yang tidak mampu mereka kuasai sepenuhnya.[6] Dalam konteks ini, kemodernan telah terbukti menggerogoti budaya, nilai, dan identitas tanpa memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya, sehingga “otentisitas” yakni secara sederhana merupakan suatu proses pencarian ‘jati diri’, kemudian menjadi sesuatu yang dirasa penting.[7]
Dari uraian di atas, terlihat bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara modernitas dan perlunya dinamika pemikiran hukum Islam, serta pencarian keotentikan sebagai alternatif bagi kegagalan modernisasi (dalam artian westernisasi). Makalah ini ditulis dalam upaya mengkaji hal tersebut. Pada bagian akhir akan dilihat diskursus otentisitas dalam permasalahan ekonomi, yang sebagaimana bidang-bidang lainnya, juga diatur oleh hukum Islam.
B. Tantangan Modernitas Dalam Sejarah Hukum Islam
Islam, sejak masa konsepsinya telah menghadapi dan menjawab tantangan-tantangan intelektual maupun spiritual. Bahkan wahyu al-Qur’an sendiri, sebagian adalah merupakan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang dilontarkan kepadanya oleh agama-agama Yahudi dan Kristen yang lebih tua perkembangannya. Kemudian, serangkaian krisis intelektual dan kultural timbul dalam Islam masa awal (dari abad ke-2 H/8 M-4 H/10 M). Yang paling serius dan signifikan adalah yang dihadapkan oleh intelektualisme Hellenis. Namun tantangan-tantangan tersebut, oleh kaum Muslim -yang pada waktu itu secara psikologis tak terkalahkan demikian juga secara politis-, dihadapi dengan cara berassimilasi, menolak ataupun menyesuaikan diri dengan pengaruh-pengaruh baru tersebut. Terlebih lagi Islam tidak dibebani oleh beban tradisi yang mati, sehingga justru unsur-unsur dan aliran pemikiran barulah yang sebagian besar mensuplai dan membangun kandungan Islam itu sendiri.[8]
Keberhasilan Muslim generasi awal tersebut, tidak diikuti oleh penerusnya ketika pengaruh-pengaruh Barat memasuki Dunia Islam pada abad 18 M, dan berlanjut sampai abad 19 dan 20 M, bahkan mungkin hingga kini. Kegoyahan yang timbul dari kekalahan-kekalahan politik oleh negara-negara Barat imperialis serta missi-missi Kristen, menjadikan kaum Muslim secara psikologis kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dalam menjawab tantangan intelektual dan pemikiran modern melalui proses-proses assimilatif-kreatif.[9] Keadaan yang salah satu penyebab utamanya, secara positif diyakini diakibatkan oleh kejumudan yang melanda Dunia Islam dengan berkembangnya slogan ‘tertutupnya pintu ijtihad’.
Imbasnya dalam perkembangan hukum, dominannya teori taqlid (kesetiaan yang ketat terhadap doktrin yang sudah mapan), menyebabkan semakin jelasnya pertentangan-pertentangan yang tak dapat diakurkan antara hukum Islam (tradisional) dengan kebutuhan masyarakat Muslim. Dalam keadaan ini, nampaknya sangat menarik bagi kaum Muslim untuk meninggalkan hukum Islam tersebut, dan mengatur diri dengan patokan-patokan serta nilai-nilai Barat. Pengesampingan terhadap hukum Islam tradisional tersebut, yang paling mencolok terjadi dalam lapangan hukum publik, serta transaksi sipil dan transaksi komersial. Karena memang pada bidang-bidang tersebutlah, terletaknya kekurangan-kekurangan sistem hukum Islam tradisional dalam sudut pandang dan tuntutan era modern.[10]
Yang juga tidak dapat didukung oleh pandangan modern adalah bentuk tradisional dari yurisdiksi pidana serta beberapa permasalahan hak asasi manusia. Dalam sudut pandang Barat yang modern, bisa jadi hukum Islam kelihatan begitu mengerikan. Bahkan substansi hukum Islam, seoalah-olah bisa diringkas dalam tiga kata saja, yakni: purdah, rajam, dan potong tangan. Kenyataan bahwa ketika kaum Muslim bermaksud untuk mendirikan suatu “Negara Islam” pemberlakuan hal-hal tersebutlah yang digaungkan pertama kali, stereotif Barat itu tampaknya tak begitu mengherankan.
Usaha-usaha pembaharuan yang terjadi pada masa-masa tersebut (abad 18-19 M), tentu saja merupakan hal yang penting untuk dicatat dalam sejarah perkembangan hukum Islam. Upaya tersebut didorong karena adanya kebutuhan untuk kembali kepada kepercayaan yang asli, untuk menemukan kembali landasan-landasannya, dengan harapan bahwa agama itu dapat dihidupkan kembali dan dilihat dengan pandangan yang baru, agar menjadi sarana yang signifikan untuk memecahkan masalah-masalah masa kini. Hal inilah sesungguhnya hakikat ‘fundamentalisme’.[11]
Gerakan fundamentalisme, paling tidak dapat dibagi ke dalam dua macam. Pertama fundamentalisme literer yang perhatian utamanya adalah kembali kepada teks wahyu (mencakup al-Qur’an dan al-Hadis) sebagai satu satunya sumber yang mutlak yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan secara harfiah kata demi kata. Kedua fundamentalisme rasional, yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah atau ke masa lalu yang dikenal dengan gerakan salafiyah, tetapi kecenderungannya tidak sesempit fundamentalisme literer yang memahami wahyu secara harfiah saja.[12]
Gerakan kedua tersebut yang merupakan reaksi terhadap kelumpuhan dan kemerosotan serta ketergantungan Dunia Islam yang semakin besar pada Barat ini, menuntut agar dibukakannya pintu bagi usaha-usaha menuju pemahaman modern atas Islam (ijtihad), disamping berusaha membersihkan Islam dari unsur-unsur luar yang telah menyusup sebagai ajaran Islam, penyimpangan-penyimpangan sufi, dan unsur-unsur heretik.[13]
Satu hal revolusioner yang juga dihasilkan gerakan salafiyah, adalah upayanya untuk menetapkan perbedaan konseptual antara syari’at sebagai hukum ilahi al-Qur’an di satu sisi, dan bangunan yurisprudensi dan keilmuan al-Qur’an yang merupakan norma-norma hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an disisi lain yang tidak mengikat manusia untuk selama-lamanya karena berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan juga bersifat lokal.[14]
Namun, para perintis gerakan salafiyah (fundamentalisme rasional) tampaknya masih berhati-hati dengan seruan mereka bahwa pintu ijtihad telah dibuka kembali. Mereka menetapkan syarat-syarat yang cukup ketat bagi orang-orang yang akan melakukan penafsiran baru. Bahkan para ulama yang sebenarnya telah memiliki syarat-syarat tersebut, kenyataannya tidak terlalu inovatif. Sehingga pintu penafsiran baru memang telah terbuka baginya, tapi ternyata ia tidak berjalan melewatinya.[15]
Perkembangan terakhir ( + sejak tahun 70-an), fundamentalisme rasional tidak lagi diwakili dan didukung oleh ulama-ulama reformis, namun oleh kaum cendikiawan di bidang sains dan teknologi didikan universitas-universitas Barat /universitas dengan metodologi Barat, tetapi masih terikat pada Islam dalam lingkup etika dan moral. Ketika terjun menjadi tenaga penggerak politik dan re-islamisasi, gerakan mereka cenderung mengarah kepada radikalisme terutama jika berhadapan dengan rezim-rezim yang menurut mereka tidak islami. Karena pada dasarnya tidak dibekali kemampuan yang dipersyaratkan para ulama perintis di atas, mereka membaca al-Qur’an dengan cara yang nyaris naif dan tanpa filter. Kemudian secara selektif mengambil darinya bagian-bagian yang tampaknya mengandung makna penting dan berkaitan langsung dengan diri mereka secara pribadi.[16] Julukan kaum fundamentalis dewasa ini, nampaknya hanya ditujukan bagi kelompok terakhir tersebut, sehingga fundamentalisme selalu berkonotasi negatif bahkan disamakan dengan terorisme.
C. Diskursus Otentisitas
Fundamentalisme (dalam pengertian-pengertian di atas), bukanlah satu-satunya bentuk reaksi kaum Muslim terhadap modernitas. Terdapat suatu gejala intelektual yang mirip dengan fundamentalisme rasional dan secara historis merupakan kelanjutan dari fundamentalisme rasional kaum salafy, tetapi agak berbeda ketika menyikapi modernisasi. Perbedaan sikap tersebut, bisa jadi disebabkan oleh semakin nyatanya kegagalan modernisme (yang sebenarnya bertujuan menyediakan logika bagi kolonialisme, liberalisme dan developmentalisme) yang belum begitu dirasakan para pendahulunya. Atau karena persentuhan langsung mereka dengan Dunia Barat secara akademis, sehingga metode-metode barat mempengaruhi cara berpikir mereka. Mereka adalah para penganjur ‘pencarian keotentikan/otentisitas’,[17] yang sering disebut kaum intelektual/cendikiawan Muslim.[18]
Konteks berpikir dan menulis kaum intelektual tersebut sangat berbeda dengan konteks kaum (ulama) modernis sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh masyarakat mereka (perjuangan anti kolonial, modernisasi sekuler, kerakyatan atau sosialis), sudah tentu turut mewarnai cara mereka memandang masyarakat, dunia, dan memandang Islam itu sendiri. Selanjutnya, karena pengaruh ekonomi global dan proses-proses budaya dirasakan lebih kuat daripada yang pernah terjadi sebelumnya, mengharuskan kaum intelektual tersebut terlibat dalam wacana-wacana global tentang hak asasi, demokratisasi, pluralisme, dan masyarakat sipil, yang kemudian mengerucut ke dalam pembicaraan mengenai nilai-nilai universal dan keaslian budaya.[19]
Ketika terjadi benturan antara islamitas (dalam pengertian sumber pokok Islam), modernitas, dan lokalitas, kaum fundamentalis rasional/ kaum salafy (yang telah berhasil merumuskan adanya perbedaan antara syari’at dengan fiqh) mengatasinya dengan mendialogkan antara ketiga unsur tersebut, melalui pemahaman modern (ijtihad) mereka terhadap kandungan al-Qur’an. Sedangkan yang dilakukan para penganjur otentisitas ketika terjadi benturan tersebut, menurut Robert D. Lee adalah lebih dari itu, yakni berusaha “melampaui” dan kemudian “melihat” di balik permukaan segala sesuatu dari ketiga unsur tersebut, untuk merasakan “saripati budaya”, dan kemudian berusaha menciptakan landasan-landasan baru, yang menunjukkan keotentikan.[20]
Para intelektual itu, dengan kemampuan mereka, berusaha menciptakan standar keotentikan tersebut dan menjadi pembuat keputusan dalam berbagai persoalan bagi masyarakatnya. Masyarakat yang telah terlanjur dicekoki konsepsi yang yang tidak sesuai dengan akar mereka dan ternyata mengikuti tradisi yang tidak mereka ketahui asal-usul dan makna sesungguhnya itu. Sehingga penciptaan standar penilaian bagi pemikiran dan perilaku untuk mengisi kehampaan makna tersebut, adalah hal yang mendesak.[21] Oleh karena itu mereka berusaha menemukan kembali, atau bahkan menciptakan landasan-landasan baru mengenai berbagai permasalahan kemodernan (hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.). Dalam pengertian yang luas, standar-standar atau landasan-landasan hasil pemikiran tentang keotentikan tersebut, menciptakan hukum-hukum baru bagi masyarakat Muslim, yang jika didukung kekuatan politik, bisa menjadi sesuatu hal yang mengikat.[22]
Standar tentang keotentikan yang berusaha ditetapkan para intelektual penganjur keotentikan tentu saja berbeda-beda, karena mereka masing-masing melakukan pembacaan yang unik atas ‘Islam’ yang berkembang dalam masyarakatnya.[23] Oleh karena itu, mereka memegang teguh pentingnya Islam bagi setiap individu, sehingga penafsiran tidak mereka biarkan hanya diserahkan kepada para penafsir utama saja- baik ulama maupun negara. Dengan mempersoalkan kembali para subyek penafsir ini, membuat mereka terlibat dalam pertandingan terbuka dengan kekuatan-kekuatan yang lebih menyukai ‘batang tubuh ajaran’ Islam tetap dalam keadaan terkunci, dan terkungkung dalam bidang-bidang yang ekslusif, walaupun tidak mampu menjawab tantangan zaman.[24]
D. Otentisitas Dan Diskursus Ekonomi Islam
Kegagalan modernisasi yang paling terasa adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme yang akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam,[25] kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations.[26] Oleh karena itu, ketika era ‘kebangkitan Islam’ terjadi sekitar tahun 70-an, gagasan-gagasan tentang ekonomi Islam bermunculan, bahkan mulai diimplementasikan, di antaranya dengan mendirikan bank-bank syari’ah.
Dalam permasalahan ekonomi, pencarian akan sistem ekonomi Islam yang otentik, melahirkan tiga mazhab pemikiran. Semua mazhab tersebut merujuk kepada Islam sebagai alternatif dari sistem ekonomi konvensional yang notabene berakar dari kebudayaan Barat, dan dalam prakteknya banyak bertentangan dengan hukum Islam. Ketiga mazhab tersebut adalah: mazhab Iqtisaduna (disebut mazhab pertama)[27], mazhab mainstream (disebut mazhab kedua)[28], dan mazhab alternatif (disebut mazhab ketiga)[29].
Mazhab pertama (iqtisaduna), dalam menyikapi ilmu ekonomi konvensional adalah menegasikannya sama sekali, atau menolak teori-teori ekonomi konvensional serta berusaha membangun teori menurut ‘Islam’ dari nol. Sementara mazhab kedua (mainstream), dalam menyikapi ilmu ekonomi konvensional adalah mengambil yang baik, dan meninggalkan yang buruk yakni yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip al-Qur`an dan Sunnah Rasul. Sedangkan mazhab ketiga (alternatif) bersikap lebih kritis lagi terhadap ilmu ekonomi konvensional, juga terhadap kedua mazhab sebelumnya. Menurut mazhab ketiga, membangun teori dari nol sebagaimana yang ingin dilakukan mazhab pertama adalah tidak mungkin karena menafikan ilmu yang telah ada. Sedangkan mazhab kedua, pada dasarnya hanyalah jiplakan dari ilmu ekonomi konvensional, dengan menghilangkan riba dan menambahkan zakat serta niat.[30]
Sebagaimana telah diuraikan di atas, karakteristik dari pencarian otentisitas, adalah tidak dimungkinkannya mensahkan satu pembacaan ‘unik’ dan menganggapnya sebagai satu-satunya wacana “Islam otentik”. Demikian pula dalam wacana ekonomi Islam ini, mazhab-mazhab pemikiran yang berkembang, bisa dianggap sebagai otentik dari Islam, tetapi tidak dapat disahkan sebagai satu-satunya “pemikiran ekonomi Islam yang otentik”. Adapun mengenai eksistensinya, sebagai sebuah teori sangat mungkin diuji oleh teori yang lain, dan kemampuannya bertahan serta besarnya jumlah pendukung teori tersebut, yang akan membuktikan keotentikannya.
E. Penutup
“Islam” tidak kebal terhadap perubahan sosial dan perkembangan zaman. Oleh karena itu kecenderungannya dalam mengatur seluruh segi kehidupan umatnya, menjadikannya harus selalu dinamis mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut, sehingga pemikiran ‘hukum Islam” seyogyanya senantiasa terus berkembang agar tidak ditinggalkan penganutnya.
Diskursus otentisitas pada dasarnya merupakan mata rantai terakhir dari perkembangan pemikiran hukum Islam, yang diusung oleh para intelektual Muslim, dengan berusaha menemukan kembali, atau bahkan menciptakan landasan-landasan baru mengenai berbagai permasalahan kemodernan seperti hukum itu sendiri, ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987.

Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam, alih bahasa E. Kusnadiningrat Jakarta: Rajawali Press, 2000

Hofmann, Murad W. Menengok Kembali Islam Kita, alih bahasa Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003

Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT Indonesia, 2002.

Karim, Adiwarman, dkk. , Islamic Microecoomics , Jakarta: IIIT Indonesia, 2001.

Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik, alih bahasa oleh Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000.

Pratiknya, Ahmad W. “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986.

Al-Qardawi, Yusuf, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, alih bahasa Rofi’ Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995

Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Van der Meij, Dick, Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, Jakarta: INIS, 2003 .





[1] Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka hidayah, 2003), h. 89. Padahal ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an sebenarnya hanya berjumlah sekitar 500 ayat. Lihat Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, alih bahasa E. Kusnadiningrat (Jakarta: Rajawali Press, 2000), h.14.
[2] Kata Muslim secara literal berarti individu yang secara total tunduk dan patuh pada peraturan (hukum) Allah.
[3] Menurut Qardawi Hal ini sudah merupakan karakteristik Islam. Lihat Yusuf al-Qardawi, Karakteristik Islam, Kajian Analitik, alih bahasa Rofi’ Munawwar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h.123.
[4] Dengan anggapan bahwa segala yang perlu diketahui telah diketahui dan difahami oleh generasi-generasi yang lebih dekat dengan sumbernya, taqlid (peniruan) menjadi suat model bahkan satu-satunya model. Suatu stagnasi yang sebenarnya tidak ‘islami’ dalam kehidupan intelektual, yang menyebabkan dunia Islam jatuh ke jurang inkompetensi, kelesuan, dan kemerosotan. Ditambah pula dengan pengabaian terhadap ilmu-ilmu alam yang menekankan rasionalitas, serta pukulan terhadap titik-titik syaraf pusat kebudayaan Islam (Cordoba tahun 1236 M dan Baghdad tahun 1258 M) oleh kaum Nasrani dan bangsa Mongol, melengkapi kejatuhan dan ketertinggalan dunia Islam. Sementara Di sisi lain, Barat mengalami perkembangan yang luar biasa di bidang sains dan teknologi sejak renaisance, yang menyebabkan dinamisme ekonomi dan militer, dan pada gilirannya kekuatan imperialisme mereka tidak dapat dihalangi negara-negara muslim. Sejak itu tampaknya hanya masalah waktu sebelum Barat, menjadi ‘contoh wajib’ kebudayaan dunia. Hofmann, Menengok …., h. 31-32.
[5] Saluran-saluran yang menjadi jalan masuk pengaruh ini tak terhitung banyaknya, seperti: struktur politik, mekanisme pemerintahan dan pengadilan, ketentaraan, pendidikan modern, film, media massa,pemikiran modern, dan di atas segalanya adalah kontak langsung dengan Dunia Barat. Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h.313.
[6] Hofmann, Menengok …., h. 85.
[7] Robert D.Lee, Mencari Islam Autentik, alih bahasa oleh Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000),h. 219.
[8] Rahman, Islam, h. 311. Dalam hal ini, menurut Coulson, al-Qur`an seolah-olah tidak lebih sebagai muqadimah dari suatu kitab hukum Islam, kitab yang kemudian dioperasikan oleh generasi-generasi berikutnya secara terus menerus. Lihat Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987), h. 24.
[9] Rahman, Islam, h. 311-312.
[10] Coulson, Hukum Islam.., h.175-176.
[11] Hofmann, Menengok …., h.116. Istilah fundamentalisme sebenarnya tidak ada padanannya dalam bahasa Arab. Istilah itu ciptaan barat yang dimaksudkan untuk melukiskan fenomena Barat. Untuk menggambarkan fenomena yang serupa, belakangan ini bangsa Arab menciptakan istilah al-usuliyah (berkaitan dengan sumber pokok), lihat Ibid., h. 117
[12] Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi (W. 1763), Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab, pendiri wahabisme (W.1787), Muhammad ibn al-Sanusi, Pendiri gerakan Sanusi di Libya (W. 1860), Gerakan Ikhwan al-Muslimin Mesir, dan Jama’at al-Islami Pakistan, menggunakan pendekatan literer ini. Hofmann, Menengok ….., h.118.
[13] Gerakan ini antara lain dikembangkan oleh: Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Syaikh ibn Badis, dan Muhammad Asad. Ibid.,h. 121.
[14] Lihat Ibid h. 122.
[15] Ibid., h. 124.
[16] Hofmann, Menengok ….., h.125.
[17] Empat di antaranya yang dianggap sebagai tokoh pelopor yang merepresentasikan pemikiran keotentikan Islam, adalah: Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Ali Syari’ati, dan Muhammad Arkoun. Lihat Robert D.Lee, Mencari Islam….
[18] Cendikiawan (intelektual) ialah orang yang karena pendidikannya –baik formal, informal, maupun non formal, mempunyai perilaku cendikia, yang tercermin dalam kemampuannya menatap, menafsirkan, dan merespon lingkungan sekitarnya dengan sifat: kritis, kreatif, obyektif, analitis, dan bertanggung-jawab. Karena sifat-sifat tersebut menjadikan cendikiawan memiliki wawasan dan pandangan yang luas, yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Lihat Ahmad W. Pratiknya, “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 3.
[19] Martin van Bruinessen, Kata Pengantar untuk Farish A. Noor, “Suara Baru Tentang Islam” dalam Dick van der Meij, Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: INIS, 2003), h. 160.
[20] Robert D.Lee, Mencari Islam …, h. 33.
[21] Robert D.Lee, Mencari Islam…, h. 33.
[22] Walaupun demikian kaum intelektual muslim tersebut, tidak menunjukkan suatu sikap umum baik dalam urusan-urusan keagamaan, kehidupan budaya, ataupun kehidupan politik. Mereka kerap kali mengambil posisi yang berbeda dalam perdebatan-perdebatan yang sangat penting, dan wacana mereka bukanlah satu-satunya wacana. Kadang-kadang di antara mereka ada yang menjalin hubungan erat dengan gerakan-gerakan oposisi Islam, sementara yang lainnya lebih dekat dengan pemikiran yang resmi. Tetapi disebabkan oleh pemikirannya yang “merdeka”, maka baik pemerintah maupun gerakan-gerakan Islam seringkali mencurigai (tidak mempercayai) mereka. Kemungkinan pengaruhnya yang besar di kalangan generasi terdidik, merupakan suatu alasan tambahan untuk kecurigaan. Bruinessen, dalam Van der Meij, Dinamika…, h. 160.
[23]Robert D.Lee, Mencari Islam…, h. 222.
[24]Farish A. Noor, “Suara Baru…, dalam Van der Meij, Dinamika…, h.163.
[25] Weber yang antara lain mengatakan: 1) tidak mungkin mengembangkan kapitalisme tanpa adanya kelas atau kelompok wirausahawan, 2) tidak mungkin ada kelas wirausahawan tanpa satu dasar moral, dan 3) tidak ada dasar moral tanpa keyakinan keagamaan (religious premises), memastikan bahwa dasar moral Kapitalisme (Barat) adalah Ajaran Protestan. Lihat Max Weber,
[26] Lihat Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), h.3-7.
[27] Pendukung mazhab iqtisaduna antara lain: Dr. Kadim Sadr, Dr. Baqir al-Hasani, dan Dr. Abbas Mirakhor. Ibid, h.162.
[28] Pendukung mazhab mainstream antara lain M.A. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, Metwally, dll. Ibid. h.165.
[29] Pendukung mazhab alternatif ntara lain M.A Choudhury, M.Arib, dan Timurkuran. Ibid. h. 168.
[30] Penjelasan lebih rinci lihat Adiwarman Karim dkk. , Islamic Microecoomics , (Jakarta: IIIT Indonesia, 2001).