Selasa, 12 Februari 2008

MEMBANGUN ETIKA BISNIS ISLAMI

The function of business ethics is helping businessman to solve the morality problems in his business practice’s. Overseas Chineses success in build kingdom of business with they colective capitalism, surely based on a business ethics as a charter moral. According to Max Weber, that: 1) no capitalism building without group of entrepreneurship ; 2) no group of entrepreneurship without moral charter; and 3) no moral charter without religion premises, Confusianism –as Chinese ethnic philosophy’s and religion’s- positively assumed as charter moral or society core values for Chinese. Confusianism key influence in the surrounding and inheritance culture to Chinese family business are: paternalism, personalism, and insecurity. To know more, this article try to explain the details to Chinese business ethics, especially the Confusianism principles of business.

A. Pengantar

Salah satu disiplin pokok filsafat adalah etika[1]. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Konsepsi etika merupakan konsepsi norma dan moral di mana ia layak dipakai sebagai sumber acuan bagi kegiatan tertentu di masyarakat, dan dalam konteks hubungan sosial dan antar personal di dalam masyarakat universal.[2] Dengan demikian, etika bisnis dapat diartikan sebagai pengetahuan dan tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas,[3] yang berlaku secara universal dalam kegiatan ekonomi, dimana penerapannya untuk menunjang maksud dan tujuan bisnis.[4]
Bagi pelaku bisnis, etika bisnis berfungsi membantu mereka dalam mendekati masalah moral dalam praksis bisnis secara tepat, atau juga melakukan pendekatan masalah bisnis dengan sentuhan moral. Etika bisnis membantu para manajer dan pelaku bisnis menangkap nuansa “lain” yang tidak dapat ditangkap dengan mata ekonomi atau manajemen murni semata. Meski tidak berpretensi untuk memberikan jawaban atau keputusan etis yang siap pakai, etika akan membantu memecahkan berbagai masalah dengan pendekatan yang lebih daripada sekedar pendekatan ekonomi-bisnis semata.[5]
Kenyataannya, penerapan suatu etika tertentu dalam kegiatan bisnis, terbukti membantu kesuksesan dan keberhasilan suatu mayarakat. Misalnya masyarakat etnis Cina, yang sudah pasti kesusksesannya didasari oleh keyakinan dan nilai-nilai yang digunakan dalam setiap proses pengorganisasian aktivitas ekonomi mereka. Oleh karena itu, mengikuti petunjuk hadis Nabi yang berbunyi Utlub al-‘ilma walau bi sin, nampaknya

B. Konfusianisme Dalam Perilaku Masyarakat Etnis Cina[6]
Para pengamat perkembangan ekonomi dikagumkan oleh kemajuan pesat yang dicapai masyarakat etnis Cina dalam bidang ekonomi. Menurut Robertson, di Indonesia, masyarakat etnis Cina yang berjumlah hanya 3-4% penduduk, mengendalikan 75 % modal swasta.[7] Untuk pertanyaan apakah landasan yang mendasari kemajuan itu?, beberapa analis berpendapat positif dan mengemukakan bahwa konfusianisme adalah alasan utamanya. Terlepas benar atau tidaknya pendapat itu mungkin ada baiknya kalau kita tahu makna dari konfusianisme, seperti yang dijabarkan Felik Tan.[8]
Apakah konfusianisme itu?. Istilah ini dipakai untuk menyebut falsafah seseorang yang disebut Kung-tze atau Kung-fu-tze, yang artinya guru atau Master Kung. Orang Barat yang terpelajar melatinkannya menjadi konfusius. Filsuf ini hidup antara 551 dan 478 sebelum Masehi. Ketika berumur tiga tahun, ayahnya meninggal dunia dan ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan miskin. Setelah dewasa, ia menjadi pegawai negeri untuk menerapkan ide-idenya tentang masyarakat dan negara, tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menjadi seorang guru keliling, berjalan kaki mengajar orang-orang yang sudi menerima hasil dari buah pikirannya. Dalam profesi ini, ia berhasil sehingga sampai sekarang ia dihormati sebagai "guru teladan sepuluh ribu generasi".[9]
Dewasa ini, konfusiaisme memiliki fungsi dan kedudukan ganda antara lain sebagai filsafat, maupun agama. Sebagai sistem filsafat, maka konfusianisme menekankan bidang etika sebagai aturan tingkah laku dan pedoman umum bagi para penganutnya, sehingga sering dikatakan bahwa konfusianisme merupakan sistem filsafat yang humanistik. Sementara sebagai budaya, konfusianisme dapat ditelaah melalui perkembangan ajaran konfusianisme yang mewarnai hampir sebagian besar budaya Cina, yang kemudian diwujudkan dalam adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan, ritual-ritual, maupun sebagai pedoman hidup sehari-hari[10], termasuk dalam aktivitas ekonomi. Kalau agama didefinisikan sebagai perhatian pokok (ultimate concern) yang menentukan tingkah laku dan pandangan manusia, dan selama dua ribu lima ratus tahun ajarannya menjadi tata susila (ethics), dasar pendidikan, dasar tradisi sosial rakyat Negara Tengah, maka dengan fungsi yang dipenuhi ini, dapatlah juga konfusianisme dipersamakan dengan agama.[11]
Ajaran Konfusius antara lain adalah pembenaran nama. Menurut Konfusius, segala sesuatu di dunia ini punya nama. Di dalam nama, terkandung fungsinya. Begitupun juga di dalam masyarakat, setiap orang punya nama. Nama di sini sama artinya dengan istilah status yang di pakai dalam sosiologi. Di dalamnya terkandung tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Jika setiap orang membenarkan dan tidak memalsukan namanya, pergaulan sosial akan berjalan licin.[12]
Selain pembenaran nama, konfusius menyatakan bahwa dalam pergaulan, tindakan seseorang selalu berhubungan dengan orang lain. Hubungan ini dapat dikelompokkan menjadi lima pertalian pokok, yaitu antara ayah dan anak, saudara dan saudara, suami dan istri, sahabat dan sahabat, serta yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam hubungan ini, setiap pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak menghormati. Kakak berbaik hati, adik menjungjung. Suami tulus, istri patuh. Sahabat lebih tua peka, sahabat muda khidmat. Yang berkuasa murah hati, yang dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian itu merupakan hubungan keluarga, karena keluarga dapat di anggap sebagai dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial inilah, manusia dididik, diajar kebajikan, dan dibentuk tabiatnya.[13]
Oleh karena itu, keluarga atau cia, merupakan satuan terkecil yang amat penting di dalam masyarakat Cina. Sehingga masyarakat Cina, bukanlah masyarakat yang individualistik. Bahkan ketika dalam bidang ekonomi mereka bisa berhasil menyusul kapitalisme Barat, kapitalisme yang mereka lahirkan tidak bersifat individual melainkan kolektif, dengan kata lain, mungkin bisa dikatakan telah mampu menghasilkan versi-non individualistik dari kapitalis.[14]
Jadi, jika mengunakan teori Weber yang antara lain mengatakan: 1) tidak mungkin mengembangkan kapitalisme tanpa adanya kelas atau kelompok wirausahawan, 2) tidak mungkin ada kelas wirausahawan tanpa satu dasar moral, dan 3) tidak ada dasar moral tanpa keyakinan keagamaan (religious premises), maka dapat dikatakan bahwa kapitalisme yang dikembangkan wirausahawan etnis Cina, didasari ajaran moral Konfusianisme.[15]
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh ajaran Konfusius tersebut dalam perilaku berekonomi masyarakat etnis Cina, bagian berikut akan mengulas hal tersebut..
C. Jiwa atau Semangat Kapitalisme Cina
Berbicara mengenai jiwa atau semangat kapitalisme Cina, tiga warisan utama sejarah sosial Cina, yakni paternalisme, personalisme, dan insecurity (rasa tidak aman) nampaknya bertindak sebagai faktor penentu. Paternalisme berasal dari etika Konfusius, yang memberikan legitimasi hirarki, yang didasarkan pada pertukaran dari rasa hormat dan tanggung jawab ke atas, tetapi ke bawah dengan kekerasan. Adapun personalisme adalah suatu kekuatan yang berkaitan dengan masalah pembentukan hubungan kepercayaan, untuk mengisi absennya institusi-institusi dan struktur kemasyarakatan seperti hukum, -yang jika tidak- akan mendukung tindakan-tindakan pertukaran. Sedangkan insecurity (rasa tidak aman), merupakan hal yang endemis bagi sekelompok orang Cina. Pola tradisional dari dominasi kaum atas melalui tetap diberlakukannya monopoli atas interpretasi dogma pemerintah, telah memberikan rata-rata orang Cina, mempunyai sedikit harapan kesejahteraan dan sangat besar ketergantungannya pada keluarga.[16]
Pada tingkat diri sendiri, kekuatan-kekuatan ini tidak dipergunakan lagi, karena seolah-olah terdapat ketegangan antara: suatu tingkat kepercayaan diri sendiri yang tinggi karena dengan demikian peran konfusius sedang dipenuhi pada satu sisi, pada sisi lain suatu sikap defensif (pembelaan) dan sikap hati-hati yang berasal dari perasaan tidak aman. Ketegangan tersebut disalurkan sebagai desakan kuat untuk mengontrol kepemilikan (ownership). Dorongan untuk mengontrol ini, menjadi penting bagi kewirausahaan, karena akan memberikan motivasi untuk memprakarsai pengambilan resiko dan untuk mencari kombinasi yang baru dari elemen-elemen yang dapat menghapuskan kekayaan.[17]
Pada tingkat pertalian (relationship) dan kekerabatan (kin), mungkin ketegangan seperti tergambar di atas bisa saja tidak terlihat. Namun pada tingkat sosial-psikologis, terdapat masalah ketidakpercayaan yang umum pada masyarakat Cina, yang menyebabkan mereka tidak mempunyai tradisi menginstitusionalkan kerjasama, dan sangat percaya pada “kekeluargaan yang bermanfaat” bagi kestabilannya.[18]
Jadi satuan identitas yang sangat penting dan sangat tinggi tingkat ketergantungannya, adalah keluarga inti. Kerjasama yang ada pada masyarakat, bergantung pada jaringan kerja sosial bagi konstruksi hubungan yang bisa diandalkan tersebut. Bentuk jaringan kerja seperti ini, merupakan pilihan institusional pada hukum perjanjian, yang mampu menghasilkan tingkatan-tingkatan yang tinggi dari efisiensi bisnis dengan pengurangan biaya-biaya transaksi dan dengan mengambil fleksibilitas organisasi serta dengan kemampuan menyesuaikan diri yang strategis. Di sini, tradisi warisan Konfusian berperan untuk melegitimasi kekuasaan yang bertepatan dengan perilaku kepemilikan dan kepemimpinan, yang mengungkapkan autokrasi yang penuh kebaikan.[19]
Dengan menerapkan batasan-batasan yang jelas pada hubungan-hubungan pertukaran, dan membatasi pada jaringan tertentu dari hubungan langsung atau marga, orang Cina membuat sistem yang lebih mempercayakan pada individu-individu tertentu. Sistem tersebut, tergantung secara keseluruhan pada karakteristik pribadi mereka dan kewajiban-kewajiban pribadi. Individu-individu kunci ini, perlu menguasai bidang yang menjadi inti tindakan mereka, jika tidak -dalam istilah kasarnya- mereka tidak perlu mengikatkan diri. Persepsi moral masyarakat tersebut, memperkuat jaringan kerjasama yang tergambar, sementara pada saat yang sama memperkenalkan gagasan pembagian tanggung-jawab atau kesejahteraan, dan kompetisi non agresif yang memasyarakat.[20]
D. Perilaku Wirausaha Masyarakat Etnis Cina
Dalam perilaku berekonomi, ajaran Konfusianisme memiliki apa yang disebut dengan ‘panduan yang tak terlihat’ (the hidden principles), yaitu lima sifat kebajikan, yang perinciannya sebagai berikut: Pertama mencontoh. Yang dimaksud mencontoh adalah meniru dengan mencoba memproduksi kembali suatu barang atau jasa dengan mutu yang lebih baik daripada yang asli, dan mampu menjualnya dengan harga yang lebih murah. Kedua konsensus. Dalam kehidupan ekonomi, setiap manusia merupakan perpanjangan tangan dari keluarga, perusahaan dan komunitasnya. Oleh karena itu, kepentingan kelompok harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi, karena tanpa adanya kelompok, perorangan tidak memiliki penopang. Ketiga berpandangan jauh. Pengusaha harus memperkuat posisi pasar terlebih dahulu, daripada memperoleh keuntungan, sambil terus merebut pasar melalui produk dan jasa yang diandalkan. Sehingga menanggung kerugian terlebih dahulu tidak masalah. Keempat menjaga mutu atau nama. Produk yang dijual jangan sampai cacat, sehingga tidak akan ada kewajiban meluruskan nama. Sedangkan yang terakhir atau kelima semangat bersaing. Persaingan yang keras di antara mereka sendiri dalam merebut pangsa pasar, akan menjadi pengalaman untuk membentuk sosok pengusaha yang berdaya tahan tinggi, tangguh dan ulet.[21]
Sementara itu, Tao Chi Kung mengajarkan 16 prinsip bisnis yaitu: 1) Rajin dan tekun berusaha, kemalasan berakibat petaka; 2) hemat dalam pengeluaran, pemborosan menggerogoti modal; 3) Ramah kepada setiap orang, ketidak sabaran mendatangkan kerugian; 4) Jangan menyia-nyiakan kesempatan, penundaan menghilangkan peluang; 5) Lugas dalam transaksi, keraguan membawa pertikaian; 6) Berhati-hati dalam memberikan kredit, kemurahan hati yang berlebihan memboroskan modal; 7) Periksa semua perhitungan dengan cermat, kelalaian menghambat rezeki; 8) Bedakan yang baik dari yang jahat, ketidakpedulian melumpuhkan usaha; 9) Kendalikan kesedihan dengan sistematis, kecerobohan menciptakan kekacauan; 10) adil dan tidak pilih kasih terhadap karyawan, prasangka menimbulkan kemalasan; 11) periksa dengan cermat semua nota pengeluaran dan pemasukan, kealpaan akan berakibat mahal; 12) Periksa dagangan sebelum diterima, kesembarangan mendatangkan kemalangan; 13) kaji dengan teliti setiap perjanjian, ingkar menghancurkan kepercayaan; 14) Bijaksana dan jujur dalam usaha; manajemen yang buruk membuka peluang korupsi. 15) tunjukan rasa tanggung jawab, sikap tak bertanggungjawab mengundang kesulitan; dan 16) Bersikap tenang dan penuh percaya diri, sikap nekat menghambat perkembangan.[22]


E. Penutup dan Refleksi

Dengan menerapkan ajaran konfusianisme, bangsa Cina telah membuktikan daya tahan etos kerja yang ulet dan tangguh. Di manapun mereka berada, mereka menciptakan komunitas yang terjalin erat dan hierarkis, dengan tingkat kohesivitas yang cukup tinggi. Kapitalis konfusius tumbuh di dalam masyarakat di luar Cina daratan. Apalagi, negara-negara yang menjadi tempat kelompok tersebut bermukim, tidak mempunyai pretensi menghalangi pertumbuhan bisnis mereka, sehingga memungkinkan pengusaha Cina tersebut menyusun jaringan kekuatan pasar, jaringan yang konon menguasai jaringan pasar internasional yang dominan.
Belajar dari pengalaman kalangan Cina perantauan tersebut, sebagaimana Konfusianisme dan juga Protestan, “Islam” sebagai agama dengan ajaran-ajaran yang sarat dengan prinsip-prinsip etik, pada dasarnya atau bahkan seharusnya dijadikan sebagai dasar moral (moral charter) atau nilai utama (core values) bagi masyarakat Muslim, dalam segala aspek kehidupannya, termasuk dalam lapangan ekonomi. Dalam hal ini diperlukan ketekunan untuk menemukan prinsip-prinsip bisnis atau etika bisnis Islami dari sumber-sumber pokok, yang tentu saja harus memuat nilai-nilai dasar atau ideal moral al-Qur`an, yakni prinsip keadilan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, cet.1, Jakarta: Gramedia, 1996.

Devos, H. Pengantar Etika, cet 1 .Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.

Lasiyo, “ Ajaran Konfusianisme Tinjauan sejarah dan Filsafat” dalam Lasiyo dkk., Pergulatan Mencari Jati Diri. Yogyakarta: Interfidei, 1995.

Muslich, Etika Bisnis; Pendekatan Subtantif dan Fungsional, Yogyakarta: Ekonisia, 1998.

Noer, Rosita. Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1998.

Redding Gordon S., “ Kebudayaan dan Perilaku Kewirausahaan Di Kalangan Cina Perantauan” dalam B.N Marbun (ed.), Pusparagam Manajemen Indonesia dan Bisnis Cina di Asia Tenggara., Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992.

Setiadi, Rudi, “Benarkah Mereka Maju Karena Konfusianisme?”, dalam Pikiran Rakyat, edisi . 8 April 2003.

Thong, Gregory, “The Management of Change Small Business Entreprises in Malaysia”, dalam Asia Pasific Journal of Management, 1987, dikutip dari Bob Widyohartono, “Etika Bisnis pertanggungjawaban dan Ketanggapan Sosial”, dalam Bisnis Indonesia, 20 Oktober 1999.

Wardoyo, Kosasih Atmo. “ Pengaruh Konfusianisme Pada Perilaku Berekonomi Etnis Cina; Pendekatan Teologis Filosofis”, dalam Lasiyo dkk., Pergulatan Mencari Jati Diri., Yogyakarta: Interfidei, 1995









[1] Walaupun dalam beberapa tempat para filosof menyebut term “etika” sebagai sinonimnya ‘moral’ namun keduanya mempunyai perbedaan. Jika moral berisi ajaran-ajaran maka etika berisi alasan-alasan mengenai moralitas itu sendiri. Etika lebih dipahami sebagai filsafatnya moral (tingkah laku) atau sebagai ilmu pengetahuannya kesusilaan (moral) yang membicarakannya secara ilmiah, sehingga etika termasuk cabang dari filsafat. Lihat H. devos, Pengantar etika, cet 1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), h.1.
[2] Muslich, Etika Bisnis; Pendekatan Subtantif dan Fungsional, (Yogyakarta: Ekonisia, 1998), h. 2.
[3] Moralitas atau etos berarti sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebas (kesadarannya), atau karakter kepribadian seseorang dalam mengafirmasikan nilai etis obyektif. Hal inilah yang membedakan moralitas dengan hukum. Jika hukum mengikat perbuatan manusia secara resmi dan formal dan belum tentu dilaksanakan dengan kesadaran manusia yang tulus, maka moralitas dijalankan dengan suatu kesadaran tanpa harus diikat secara resmi.Sehingga kesadaran moral lebih besar daripada kesadaran hukum, karena syarat-syarat moral oleh setiap individu diawali oleh seluruh komponen sosial. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, cet.1, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 676.
[4] Muslich, Etika.., h.4.
[5] Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1998), h..15.
[6] Cina dalam hal ini, meliputi masyarakat Cina yang masih berdomisili di wilayah leluhurnya (Cina daratan), serta masyarakat Cina perantauan yang bermukim di negara-negara tertentu.
[7] Di Thailand masyarakat etnis Cina berjumlah kurang dari 8,5 5 penduduk, menguasai 60-70 5 perekonomiann. Di malaysia, mereka mengontrol 70 % perekonomian, sementara di Philipna 68 % penjualan komersial di tangan etnis Cina. Gordon S. Redding, “ Kebudayaan dan Perilaku Kewirausahaan Di Kalangan Cina Perantauan” dalam B.N Marbun (ed.), Pusparagam manajemen Indonesia dan Bisnis Cina di Asia Tenggara., ( Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992), h.102.
[8] Rudi Setiadi, “Benarkah Mereka Maju Karena Konfusianisme?”, dalam Pikiran Rakyat, edisi . 8 April 2003.
[9] Konfusius hidup di daratan Cina pada masa dinasti Chou (1122-2222 SM), ketika kerajaan itu sudah berantakan. Negara-negara bagian saling berperang berebut kekuasaan. Kehidupan sosial terganggu dan keadaan politik tidak karuan. Dalam situasi kacau-balau ini, rakyat menderita dan sangat mengharapkan pemulihan ketentraman dan kedamaian. Ajaran konfusius memenuhi harapan itu dan perlahan-lahan meningkat menjadi falsafah dasar hidup orang Cina. Pengaruhnya melebar dan meresap ke dalam kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Lihat Ibid..
[10] Lasiyo, “ Ajaran Konfusianisme Tinjauan sejarah dan Filsafat” dalam Lasiyo dkk., Pergulatan Mencari jati Diri., ( Yogyakarta: Interfidei, 1995), h. 20.
[11] Walaupun demikian, Konfusius tidak berspekulasi tentang supernatural maka lima kebajikan yang diutarakannya semua bertujuan sosial. Lima kebajikan tersebut:Kebajikan pertama, merupakan yang paling luhur yaitu jen. Artinya, perikemanusiaan, murah hati, kecintaan. Beberapa contoh dari ajaran konfusius, 'seorang yang jen jika ingin mengembangkan diri, juga berhasrat mengembangkan orang lain'. Mengerti orang lain seperti mengerti diri sendiri itu namanya jen, 'Seorang yang jen melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan'. "Seorang jen mementingkan tabiatnya. Seorang rendah mementingkan posisinya".Kebajikan yang kedua disebut yi, keadilan, kebenaran. Setiap orang memperlakukan sesama manusia sesuai dengan kesusilaan dan bukan karena pertimbangan lain, "Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu walaupun cara itu digunakan terhadap kita". Inilah tindakan yi.Yang ketiga ialah li, tindakan yang pantas, sopan santun, dan sesuai dengan keadaan. Konfusius menyelaraskan kelakuan lahir dengan keluhuran batin. Biar haus sekali, tidak pantas minum langsung dari teko; itu wu li (tidak ada li). Wu li juga kelakuan yang mengakibatkan rasa kurang enak bagi orang lain. Diceritakan bahwa kalau dikalangan orang dusun Konfusius sederhana dan ikhlas; kalau di keraton kata-katanya teliti dan diucapkan dengan penuh perhatian. Tindakan lahir harus dilakukan dalam harmoni dan keseimbangan. Seorang luhur, kata konfusius, mengetahui istialah-istilah yang patut dipakai dan tingkah lakunya sesuai dengan maknanya. Kebajikan keempat disebut zhi, 'kebijaksanaan'. Pengetahuan diperoleh dengan mempelajari fakta-fakta luar, tetapi kebijaksanaan berkembang dari pengalaman batin. Dalam hidup, yang kedua lebih bermutu. Kebajikan kelima ialah hsin, 'kepercayaan terhadap orang lain'. Kata kofusius, 'Dalam pergaulan terlebih dahulu saya mendengarkan apa yang dilakukan orang dan mempercayai kelakuannya, sesudah itu baru saya dengar lagi perkataanya dan mengamati kelakuannya'. Lihat Rudi Setiadi, “ Benarkah…,” dalam Pikiran…
[12] Rudi setiadi, “Benarkah …”, dalam Pikiran…,
[13] Ibid.
[14] Gordon S. Redding, “ Kebudayaan dan Perilaku …,” h. 81.
[15] B.N Marbun (ed.), Pusparagam manajemen Indonesia dan Bisnis Cina di Asia Tenggara., ( Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1992), h. x
[16] Gordon S. Redding, “ Kebudayaan dan Perilaku…”,, h. 86.
[17] Ibid..
[18] Ibid., h. 87.
[19] Gordon S. Redding, “ Kebudayaan dan Perilaku ..”, h. 87.
[20] Ibid..87-88.
[21] Kosasih Atmo Wardoyo, “ Pengaruh Konfusianisme Pada Perilaku Berekonomi Etnis Cina Pendekatan Teologis Filosofis”, dalam Lasiyo dkk., Pergulatan Mencari…, h. 68-70..
[22] Gregory Thong, “The Management of Change Small Business Entreprises in Malaysya”, dalam Asia Pasific Journal of Management, 1987, dikutip dari Bob Widyohartono, “Etika Bisnis pertanggungjawaban dan Ketanggapan Sosial”, dalam Bisnis Indonesia, 20 Oktober 1999.

Tidak ada komentar: