Selasa, 12 Februari 2008

Civil Society dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

A. Pendahuluan
Beberapa dasawarsa terakhir wacana civil society (masyarakat sipil) mulai mendominasi panggung perdebatan ilmu-ilmu politik, ekonomi, dan sosial baik pada skala lokal dan terutama global. Perkembangan wacana masyarakat sipil tak pelak didorong oleh hasrat pencarian jawaban atas kegagalan berbagai wacana ilmiah baik yang berangkat dari disiplin ekonomi, politik, dan sosial dalam menjawab berbagai tantangan kemanusiaan. Salah satu bentuk kegagalan yang sangat menonjol adalah masih merajalelanya kemiskinan, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Merajalelanya kemiskinan dan lemahnya perekonomian masyarakat -tidak dapat tidak- terkait dengan praktek serta kebijakan pembangunan yang diambil oleh negara. Pembangunan (developmentalisme) yang dijalankan oleh kebanyakan negara (termasuk Indonesia), pada dasarnya mengusung ideologi kapitalisme. Meskipun sebagian kalangan menganggap kapitalisme telah menjadi wujud akhir evolusi ideologi, tanda-tanda ketidakmampuan ideologi ini sudah tidak dapat dipungkiri, karena nampaknya tidak mampu lagi menunjukkan jalan lain tentang bagaimana solusi yang tepat untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan yang dihadapi umat manusia.
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilakukan selama ini, jika menggunakan definisi pembangunan yang dikemukakan Prof. Dudley Seers,[1] belum menunjukkan keberhasilan. Hal ini mendorong penggalian berbagai wacana yang dapat membantu menjelaskan penyebab dari semakin merosotnya kualitas kehidupan dan lingkungan kehidupan manusia.
Telah jelas bahwa berbagai upaya pencapaian kesejahteraan tidak dapat lagi didominasi oleh pemerintah maupun organisasi ekonomi sebagaimana sebelumnya. Oleh karena itu civil society merupakan salah satu wacana yang dianggap cukup dapat memberikan penjelasan dan sekaligus membuka peluang untuk membuka jalan alternatif. Di sisi lain ‘Islam’ dengan sistem nilainya, diyakini dapat memberikan alternatif bagi kegagalan sistem kapitalisme. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengeksplorasi wacana Civil society terutama yang berbasis Islam dan tindak pemberdayaan ekonomi umat yang dilakukannya. Sebelumnya akan diidentifikasi terlebih dahulu penyebab kegagalan pembangunan ekonomi dalam upaya mengurangi apalagi mengentaskan kemiskinan.
B. Pembangunan Di Indonesia
Sebelum tahun 1970-an, tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang diyakini akan memberikan efek menetes hingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi. Namun, pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an menunjukkan bahwa banyak di antara negara Dunia Ketiga yang berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Oleh karena itu, pembangunan tidak lagi diukur dengan GNP yang tinggi semata tetapi memasukkan pula paramater penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan dan penyediaan lapangan kerja. Semuanya harus berjalan seiring. Tidak dapat disebut pembangunan jika GNP tinggi namun kemiskinan atau pengangguran dan ketimpangan pendapatan tetap tinggi.
Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya menyikapi persoalan kemiskinan dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses. Dalam hal ini, pembangunan yang telah berjalan di Indonesia, menurut Bambang Ismawan bisa diketegorikan ke dalam dua generasi. (Bambang Ismawan, 2002).
Dalam pendekatan pembangunan generasi pertama, untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, pemerintah menyediakan format bantuan yang sangat beraneka ragam mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah peralatan serta modal. Pendekatan ini, walaupun nampaknya telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial secara signifikan, namun telah menimbulkan berbagai persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil, dengan rakyat miskin secara keseluruhan. Pada sisi lain, pendekatan pembangunan generasi pertama membutuhkan biaya yang amat besar dan harus ditanggung oleh negara yang dalam kenyataannya semakin lama semakin jauh diluar kemampuan negara untuk membiayai sendiri. Sebagai akibatnya, seperti dalam kasus Indonesia berbagai program pembangunan sosial semakin lama semakin tergantung pada negara dan pembiayaannya semakin mengandalkan pinjaman luar negeri.
Pendekatan proyek dikembangkan selama generasi pertama pembangunan, dan dalam kenyataannya sebagian besar tidak berlanjut. Pendekatan proyek ini memiliki beberapa karakteristik, yaitu: adanya batasan waktu, bekerja berdasarkan budget yang sudah dialokasikan, serta tidak diketahui tindak lanjutnya. Batasan waktu yang melekat pada pendekatan proyek seringkali meniadakan hasil-hasil yang telah dicapai oleh proyek itu sendiri. Hal ini terjadi karena persoalan kemiskinan adalah persoalan komplek yang penanganannya tidak bisa instant result, dan karenanya membutuhkan komitmen yang panjang. Pendekatan proyek yang hanya bekerja berdasarkan alokasi budget dalam pengalaman lapangan tidak bisa menarik sumber-sumber pendanaan lain dalam jumlah yang signifikan yang bisa menjamin keberlanjutan dari proyek. Proyek bekerja untuk menghabiskan alokasi yang sudah ditentukan dan tidak perlu mempertimbangkan apakah dana yang sudah dihabiskan akan kembali atau tidak (meskipun dana tersebut adalah dana pinjaman). Kenyataan menunjukkan berbagai proyek juga tidak pernah mempertimbangkan kondisi pasca proyek. Apa yang akan terjadi apabila berbagai pelayanan dan bantuan menghilang? Siapa yang akan bertanggung jawab meneruskan kegiatan yang sudah dimulai? Hal-hal tersebut menjadi persoalan pada pendekatan proyek.
Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar. Kelompok masyarakat yang dalam generasi pertama diandalkan oleh pemerintah menjadi lokomotif pembangunan yaitu sektor usaha besar dan konglomerasi telah mendominasi baik pertumbuhan ekonomi, pangsa pasar maupun produk domestik bruto (PDB) , akan tetapi dominasi itu ternyata tidak diikuti pengelolaan internal perusahaan yang baik (good corporate governance). Berbagai fasilitas dan perlakuan khusus yang disediakan pemerintah sebagai upaya mengakselerasi pertumbuhan mereka ternyata dalam kenyataannya justru banyak disalahgunakan serta mendorong berbagai tindakan yang tidak sepantasnya (misconduct). Ambruknya sektor usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi Indonesia yang strukturnya memang sudah timpang. Pelajaran lain yang diambil dari itu adalah eksisnya sektor ekonomi rakyat yang selama ini dimarjinalisasi ternyata mampu menjadi bantal penyelamat ekonomi nasional. Oleh karena itu, seharusnya menjadi kesadaran bersama bahwasanya kedepan sektor ekonomi rakyat perlu mendapatkan perlakuan yang sepantasnya dan sewajarnya sebagai alternatif pelaku ekonomi nasional.
Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan generasi kedua ini adalah: 1) diversifikasi pelaku utama pembangunan, 2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri, 3) semakin pentingnya peran perempuan, 4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable). Dengan demikian pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu tabungan masyarakat.
Dalam generasi kedua, berbagai inisiatif pembangunan meletakkan persoalan keberlanjutan pada prioritas pertama. Sebagai konsekuensinya, pendekatan proyek mulai digantikan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang memang pada satu sisi menuntut pemerintah untuk secara bertahap mentransformasi perannya dari pelaksana berbagai proyek menjadi fasilitator dan berkonsentrasi pada penyusunan sistem dan kebijakan yang pro ekonomi rakyat. Sementara pada sisi lain, pelaku-pelaku pembangunan perlu diberdayakan untuk bertanggung jawab mengambil peran yang lebih besar. Dalam hal pemberdayaan masyarakat ini, menurut hemat penulis, peran civil society tampaknya akan dapat mempercepat penanggulangan kegagalan pembangunan (pendekatan generasi pertama).

C. Civil Society
Wacana civil society dapat dilacak kembali pada abad 17, periode dimana para filsuf contractarian seperti Hobbes dan Locke merumuskan civil society sebagai suatu abstraksi atas kondisi masyarakat yang dihadapkan dengan konsepsi negara alam yaitu suatu kondisi hipotetis dimana kehidupan manusia tidak diatur dan masing-masing manusia mengejar kepentingannya sendiri. Dalam kondisi semacam itu mereka meramalkan akan terjadinya warre atau perang semua melawan semua. Warre dikhawatirkan akan membahayakan hak-hak fundamental individu, dan untuk mengatasinya maka individu-individu menyerahkan kebebasan alamiah mereka dan bersepakat untuk memasuki masyarakat yang terikat peraturan . Kondisi masyarakat yang menyepakati suatu kesepakatan semacam inilah yang disebut dengan civil society. Jadi kata civil pada civil society oleh Hobbes dan Locke lebih dimaknai sebagai civilized society, masyarakat yang beradab. (Riza Primahendra, 2002).
Kebangkitan ilmu ekonomi politik pada abad 18 dengan tokohnya Adam Smith mempengaruhi wacana civil society. Berbeda dengan Hobbes dan Locke yang melihat potensi terjadinya warre apabila individu-individu dibiarkan mencari pemenuhan atas kebutuhan dan keinginannya sendiri, Smith melihat bahwa individu sebagai makhluk rasional sadar bahwa pemenuhan kebutuhannya tergantung pada orang lain dan karenanya akan tercipta suatu mekanisme pengaturan diri didalam masyarakat. Dengan demikian civil society dikonsepkan oleh Smith sebagai kelompok individu yang penuh kebaikan dan dapat mengatur diri mereka sendiri . Dianggap penuh kebaikan karena adanya kesadaran bersama bahwa kemajuan seorang individu juga merupakan kemajuan yang lain, dan dikatakan dapat mengatur diri karena adanya aspek rasionalitas pada individu. Smith melihat bahwa aspek keberadaban suatu masyarakat lebih didorong oleh suatu motif ekonomi yaitu tindakan mencari keuntungan dan karenanya civil society pada dasarnya merupakan bagian dari masyarakat komersial. (Riza Primahendra, 2002).
Sepemikiran dengan Smith, salah seorang pemikir yang secara khusus menulis buku tentang civil society adalah Adam Ferguson. Ferguson melihat civil society sebagai suatu fenomena sosial perubahan pola dan struktur kemasyarakatan yang ditandai dengan menghilangnya berbagai otoritas dan kelas sosial tradisional, diikuti dengan munculnya spesialisasi dan kemampuan masyarakat untuk mengatur diri dan mempertahankan tatanannya. Motor utama dari proses transformasi masyarakat ini adalah motivasi ekonomi yang didukung dengan kekuasaan politik yang terkonsentrasi dan terpisahkan dari aktifitas ekonomi. (Riza Primahendra, 2002).
Mengingat masyarakat sipil ditandai dengan kemampuan menyelaraskan kepentingan individu dan kepentingan bersama disertai kemampuan mengatur diri, maka Ferguson dan terutama Smith melihat intervensi negara sebagai sesuatu yang dapat melumpuhkan kapasitas aktor ekonomi. Peran negara oleh Smith ditekan menjadi minimal dan lebih difungsikan untuk menyediakan kerangka pengaturan (regulatory framework) bagi individu dan masyarakat untuk melakukan pertukaran, kontrak, dan kerja sama (Chandhoke, 1995).
Menurut Haryatmoko, wacana tentang civil society dewasa ini lebih terasa pemikiran Antonio Gramssci , yang memahami bahwa civil society adalah arena yang kompleks, yang harus dipahami, dimainkan, dan diubah oleh gerakan-gerakan kelas pekerja, dan jangan dibiarkan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang telah memiliki hegemoni secara kodratiah. Oleh karena itu, penekanan diberikan pada peran lingkup sipil di dalam perjuangan untuk emansipasi terhadap negara. Pemberdayaan sektor-sektor sosial dan masyarakat sipil, mendapat nilai setara dengan perubahan struktur-struktur politik. Dengan demikian, proyek yang berorientasi negara, dilihat hanya sebagai masa transisi ke arah pemberdayaan sosial ( Haryatmoko, 2003 : 210-211).
Dalam konteks tersebut, civil society dilihat sebagai kumpulan institusi-institusi masyarakat sipil yang berbeda dari lembaga-lembaga negara atau struktur-struktur negara. Hal ini senada dengan Bernard Adeney Risakotta, yang memaknai civil society sebagai: seseorang, kelompok, lembaga atau instansi yang bukan state (negara) dan bukan militer, disamping dimaknai sebagai masyarakat beradab. (Risakotta, tt : 50-51).
Civil society ini, dalam arti politik bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktek-praktek politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Sedangkan dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian ekonomi global dan cengkraman konglomerasi, dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok.( Haryatmoko, 2003 : 212). Dengan demikian, konsepsi masyarakat sipil sebagai suatu arena dan sistem interaksi antar berbagai institusi negara, pasar, dan masyarakat memiliki potensi peran yang strategis. Potensi peran yang dimiliki oleh masyarakat sipil adalah menjadi katalis dialog (catalyst of dialogue), melakukan penyeimbangan kepentingan (balancing interest), pemberian sinyal (picking up signals), dan mobilisasi untuk aksi bersama (collective action).

D. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yakni; yang bersifat people contend (pendapat masyarakat), participatory (partisipatif bagi masyarakat), empowering (memberdayakan masyarakat), and sustainable (dapat didukung masyarakat). Konsep ini lebih luas dari semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses kemiskinan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan alternatif (alternatif development) yang menghendaki demokrasi yang melekat, pertumbuhan ekonomi yang tepat, keseimbangan gender dan keadilan antara generasi. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses perubahan sosial yang berusaha untuk mengembangkan, mendirikan, serta memperkuat posisi tawar menawar orang-orang pinggiran yang tidak berdaya, atau masyarakat yang berada pada lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Oleh karena itu pemberdayaan bertujuan untuk : Pertama : melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya harus ditempuh dan menjadi dasar bagi upaya pemberdayaan masyarakat (Ginanjar Kartasasmita 1986 : 8).
Pemberdayaan sesungguhnya berangkat dari adanya ketidakberdayaan dan ketidakmampuan manusia baik sebagai individu kelompok, maupun kesatuan dalam masyarakat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat yakni :
1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan masyarakat tidak hanya terletak pada kekurangan atau kemiskinan dalam diri masyarakat itu sendiri, tetapi sangat terkait dengan sektor kekuatan dan institusi lain. Masyarakat tidak berdaya karena dihadapkan dengan elemen lain yang kuat misalnya : elit politik, pemerintah, pasar dan lain-lainya.
2. Ketidakberdayaan masyarakat sesungguhnya sangat multidemensional artinya : bahwa ketidakberdayaan tidak semata-mata pada aspek ekonomi fisik (kurangnya modal, terbatasnya pangan, minimnya sarana prasarana dan lain-lain), akan tetapi juga terletak pada aspek sosial budaya (lemahnya pendidikan, keterampilan, kurangnya informasi, tiadanya jaringan organisasi sosial, budaya pasrah yang bisa juga disebabkan pemahaman keagamaan, serta lemahnya kesadaran) dan juga pada aspek sosial politik (lemahnya kekuatan tawar menawar, lemahnya artikulasi politik, tidak adanya patron politik, lemahnya partisipasi politik dan lain-lain sebagainya).
Upaya memberdayakan masyarakat ini, dapat dilihat dari tiga sisi yaitu: pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan bagi berkembangnya potensi masyarakat (enabling), dengan titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena bila demikian tentunya sudah akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk mendorong, memotifasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam upaya ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya, untuk itu ada program-program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat yang terpinggir atau yang terbawah.
Ketiga, memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutup diri dari interaksi karena hal itu justru akan mengkerdilkan yang kecil dan menglunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Perlu diingat bahwa pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu atau masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya maka akan tercipta masyarakat yang berkeadilan, yang dibangun di atas landasan pemerataan.
Dalam hal pemberdayaan ini, lembaga-lembaga agama seharusnya berada di tengah-tengah kaum tertindas tersebut, untuk “berjihad” mengurangi kemiskinan. ( Musa Asy’arie, 1997: 30). Terlebih ajaran Islam sangat menekankan umatnya untuk membantu kaum miskin menanggulangi keadaan mereka.
E. Civil Society Berbasis Islam dan Tindakan Pemberdayaan Umat.
Dalam ajaran Islam seperti yang dijelaskan al-Qur’an, pemilikan mutlak hanya layak bagi Tuhan sendiri, karena semua yang dilangit dan di bumi adalah ciptaan-Nya dan milik-Nya.( Q.S. al-Baqarah (2): 6, dan al-Maidah (5): 120). Manusia hanya menjadi khilafah di muka bumi ini, sebagai pengemban amanah dari tuhan untuk mengelola alam semesta. (Q.S.al-Baqarah (2): 6, juga Fathir (35): 39) Oleh karena itu pemilikan seseorang terhadap harta kekayaan tidaklah bersifat mutlak, krena kekayaan diperoleh melalui proses yang melibatkan berbagai hal di luar dirinya, yaitu orang lain di luar dirinya, serta sumber daya alam.( Q.S az-Zariyat (51): 19). Di dalam setiap kekayaan selalu terdapat tanggung jawab sosial dan amanah bagi pemiliknya, untuk menggunakan kekayaan tersebut di jalan kebajikan. Kekayaan tidak sepenuhnya bebas nilai, baik dalam kaitan dengan cara memeperolehnya, ataupun dengan cara bagaimana menggunakan kekayaan tersebut.( Musa Asy’ari, 1997: 23).
Dalam pandangan al-Qur’an, rizki Tuhan berupa kekayaan, harta benda, dan ketentraman hidup, pada hakikatnya merupakan hasil dari apa yang dilakukan manusia, dan dipengaruhi oleh tingkat kualitas perbuatan yang dilakukannya. Al-Qur’an tidak pernah menyuruh seseorang mencari rizki kekayaan sebagai substansi material yang berdiri sendiri, atau terlepas dari amal saleh. Semuanya dapat dicapai dengan bekerja yang baik, dan untuk tujuan baik pula tidak hanya untuk bersenang-senang semata. Tetapi lebih jauh lagi, semuanya harus dijadikan sebagai bagian dari proses peribadatan, untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Tuhan dan kepentingan kemanusiaan. ( Musa Asy’ari, 1997: 22). Berkaitan dengan hal ini, untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat, Islam menetapkan suatu prinsip bahwa kaum miskin mempunyai hak atas pendapatan atau kekayaan para anggota masyarakat lainnya yang mampu. (Q.S. 70: 24-25).
Ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah, memberikan dasar yang tegas untuk mencapai pertumbuhan merata dalam rangka memecahkan masalah kemiskinan, sebagaimana juga masalah ketidakmerataan kekayaan dan pendapatan. (Ziauddin Ahmad, 1998:18). Ditetapkannya institusi zakat yang sampai saat ini dianggap sebagai keyword dalam gagasan sisitem ekonomi Islami sebagai salah satu rukun agama, memperkuat tujuan pengentasan kemiskinan tersebut.
Dalam hal ini, sebenarnya ajaran Islam menekankan pentingnya peranan negara memberikan jaminan bagi setiap warganya untuk memperoleh kebutuhan pokoknya menurut prinsip ‘hak atas penghidupan’. (Afzalur Rahman, 1995; IV; 315). Namun kenyataannya, kebanyakan negara (berpenduduk mayoritas Muslim), gagal menjalankan peranan tersebut. Begitu pula dalam konteks Indonesia, dalam hal pengumpulan dan pendistribusian zakat misalnya, terkait dengan berbagai faktor (terutama politik hukum) sampai saat ini negara belum berhasil mengelolanya.
Oleh karena itu, munculnya berbagai institusi sosial ekonomi, yang mendasarkan pengoperasionalannya pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang mempunyai concern terhadap pemberdayaan ekonomi rakyat miskin, sejauh ini telah mampu menunjukkan perannya dalam mengayomi golongan masyarakat yang nampaknya termarjinalkan oleh kebijakan negara. Dua di antaranya adalah Dompet Dhuafa (Republika), dan PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil).
Dompet Dhuafa merupakan salah sat bentu fund rising by Press, yang bisa dikatakan sebagai wujud masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberdayaan ekonomi umat. Dompet Dhuafa Republika adalah lembaga nirlaba yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS). Organisasi ini lahir dari empati kolektif komunitas jurnalis yang banyak berinteraksi dengan masyarakat miskin, sekaligus kerap jumpa dengan kaum kaya. Problematika kompleks kaum miskin hanya mungkin terpecahkan dengan upaya sistematis, lintas unsur dan profesional. Digagaslah sebuah manajemen yang menggalang kebersamaan dengan siapapun yang berkepedulian kepada kaum dhuafa. Empat orang wartawan yaitu Parni Hadi, Haidar Bagir, S. Sinansari ecip dan Eri Sudewo, secara formal mendirikan lembaga independen ini dengan nama Dompet Dhuafa. Atas pertimbangan profesionalisme pengelolaan dana, tanggal 2 Juli 1993 kegiatan penghimpunan dan pendayagunaan dana tersebut diformalkan.
Seiring waktu berjalan, DD menekuni kekhidmatannya. Sejak awal beroperasi DD mendedikasikan dan mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada publik. Pertanggungjawaban diantaranya dilakukan dengan publikasi perolehan dana dan artikel-artikel pendayagunaan dana melalui Harian Umum REPUBLIKA. Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik setiap tahun, dipublikasikan pula melalui berbagai media massa ternama. Dari aspek legal formal, DD memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dengan mendaftarkan lembaga ke Departemen Sosial RI sebagai organisasi yang berbentuk Yayasan. Pembentukan yayasan dilakukan di hadapan Notaris H Abu Yusuf SH tanggal 14 September 1994, dan diumumkan dalam Berita Negara RI No. 163/A.YAY.HKM/1996/PN JAKSEL.Memasuki milenium baru, DD memantapkan hak kepemilikan pada masyarakat. Representasinya adalah Badan Wakaf. Badan ini adalah dewan tertinggi organisasi.
Inti aktivitas Dompet Dhu’afa adalah 1) adalah memenuhi kebutuhan kaum dhuafa (mustahik). Aktivitas lain, diorientasikan dalam mendukung ke arah pemenuhan kebutuhan mustahik (menyantun dhu’afa); 2) mewujudkan tali silaturahmi dalam masyarakat (muzaki/donatur - mustahik - lembaga DD - mitra).(menjalin ukhuwwah), dan; 3) menjalin etos kerja. Dalam tataran praktis, dana ZIS menjadi salah satu tiang pemberdayaan. Dalam tataran lain, DD pun harus membangkitkan semangat membangun yang non-ZIS. Faktor yang lain itu adalah jiwa, tenaga, waktu dan doa. Faktor ini harus terintegrasi dalam satu jalinan, baik di kalangan muzaki, dalam lembaga DD dan mitra maupun di tingkat mustahik.
Adapun PINBUK yang merupakan salah satu Badan Pekerja Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK), telah melakukan langkah-langkah strategis dan taktis dalam mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat. Langkah-langkah ini dilakukan dengan menggiatkan pembinaan pengusaha kecil melalui pengembangan BMT. Tokoh penting yang berada di balik gerakan ekonomi kerakyatan melalui PINBUK tersebut adalah Muhammad Amin Azis. Langkah-langkah ini dilakukan dengan menggiatkan pembinaan pengusaha kecil melalui pengembangan Baitul Maal wat-Tamwil atau Balai-usaha Mandiri Terpadu (BMT). Sampai saat ini, PINBUK telah berhasil medorong terbentuknya lebih dari 2.990 BMT yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Bagian Data PINBUK Pusat, 10/1999).
PINBUK juga melakukan upaya-upaya pengembangan manajemen, pengembangan teknologi, dan pengembangan pasar bagi usaha kecil. Dengan besarnya peranan PINBUK dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di lapisan bawah, agar dapat memacu masyarakat untuk menggali dan memanfaatkan potensi ekonomi yang dimilikinya, sehingga menjadi kekuatan nasional dalam pelaksanaan pembangunan bangsa. Berkaitan dengan hal ini, PINBUK berperan sebagai katalisator, fasilitator dan mediator dalam upaya mengkonvergensikan seluruh potensi dan kekuatan dari lembaga yang melakukan pengembangan ekonomi kerakyatan (baik pemerintah, Ormas dan LSM) khususnya dalam menyiapkan penguatan ekonomi rakyat, sehingga akan terjadi titik sinergi yang baik diantara lembaga-lembaga tersebut dan terciptanya kinerja yang optimal dalam pembangunan bangsa.
Dua lembaga tersebut telah berusaha menjalankan perannya sebagai civil society dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip ajaran Islam dan berhasil menggugah kesadaran serta mengembangkan potensi umat. Satu hal yang harus ditekankan, kegagalan pendekatan pembangunan (generasi pertama), benar-benar harus dijadikan pelajaran, sehingga pendekatan pembangunan ekonomi (pemberdayaan) masyarakat melalui institusi tersebut, tidak boleh menimbulkan ekses negatif yang hampir tidak dapat ditanggulangi oleh developmentalism.

F. Penutup
Civil Society sebagai suatu wacana memiliki sejarah panjang lebih dari empat abad dan masih terus berkembang. Dalam perspektif kekinian, Civil Society dipandang sebagai salah satu jalan untuk mencapai perikehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat yang telah gagal dicapai baik oleh teori pembangunan maupun teori politik. Civil Society mempunyai peran untuk menginisiasi proses-proses katalis dialog (catalyst of dialogue), penyeimbangan kepentingan (balancing interest), pemberian sinyal (picking up signals), dan aksi bersama (collective action). Tindak pemberdayaan masyarakat sipil menjadi keharusan dan dilakukan dengan mengacu pada: akses informasi,keterbukaan, partisipasi, tanggung gugat (accountability), dan kapasitas organisasi dan kelembagaan lokal.
Di sisi lain “Islam” dengan prinsip-prinsip ajarannya yang komprehensif dan universal, (terutama) oleh penganutnya dianggap sebagai satu-satunya pilihan ideal untuk menanggulangi kekagalan sistem ekonomi yang didasari ideologi kapitalistik. Oleh karena itu, mewujudkan Civil Society- Civil Society yang berlandaskan prinsip ajaran Islam, nampaknya menjadi suatu hal yang sangat menjanjikan untuk menanggulangi problem kemanusiaan seperti kemiskinan ini.



G. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ziauddin. Al-Qur`an: Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998.

Asy’arie, Musa. Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.

Chandhoke, Neera, 1995, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, Istawa, Yogyakarta

Clement, Kevin P., 1999, Teori Pembangunan Dari Kiri Ke Kanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Gellner, Ernest, 1995, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan, Bandung.

Haryatmoko. Etika, Politik dan Kekuasaan, Jakarta: kompas, 2003.

http://www.dompetdhuafa.or.id/.

http://www/. Bmtlink.web.id.

Iqbal, Munawwar (ed.). Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, London: the islamic Foundations, 1986.

Ismawan, Bambang. “Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat” http://www.binaswadaya.org. 07/08/2002.
Primahendra, Riza. “Masyarakat Sipil Dan Tindak pemberdayaan”, dalam http://www.binaswadaya.org.08/01/2003.
Quthb. Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994.

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

Risakotta, Bernard Adeney (ed.). Keadilan dan HAM Dalam Perspektif Agama-agama.Yogyakarta: ttp. Tt.

[1] Prof. Dudley Seers pernah mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai pembangunan suatu negara yang harus diajukan adalah: apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan berarti yang berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan? Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode tertentu sedikit banyak telah teratasi, maka tidak diragukan lagi bahwa periode tersebut memang merupakan periode pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi, jika satu, dua, atau bahkan semua dari ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka negara itu tidak bisa dikatakan telah mengalami proses pembangunan yang positif, meskipun selama kurun waktu tersebut pendapatan per kapitanya mengalami peningkatan hingga dua kali lipat.

Tidak ada komentar: