Selasa, 12 Februari 2008

PEMASARAN BERTANGGUNGJAWAB SOSIAL

A. Pemasaran: Pengertian, Manajemen dan Konsep

Pemasaran sering dikenal pula dengan istilah marketing (bahasa Inggris) dari asal kata market yang berarti pasar. Dapat dikatakan bahwa kata marketing sudah diserap dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan istilah pemasaran.[1] Mengenai pengertiannya, pemasaran seringkali tertukar atau dikacaukan oleh pengertian: penjualan, perdagangan, dan distribusi. Padahal masing-masing dari ketiganya hanya merupakan bagian dari kegiatan pemasaran secara keseluruhan.[2] Namun definisi pemasaran ini terus berkembang sejalan dengan tahapan perkembangan pemasaran itu sendiri.
Pada awalnya kegiatan pemasaran hanya berkisar pada kebutuhan dan keinginan manusia akan barang-barang dan jasa, sehingga perusahaan hanya berpikir bagaimana menghasilkan barang-barang dan jasa tersebut. Tahap berikutnya setiap perusahaan mulai menghasilkan barang dan jasa dalam jumlah banyak untuk memenuhi pesanan konsumen yang terus meningkat. Kemudian pemasaran berkembang dengan mempertimbangkan atau melihat segi penerapan teori pasar dan distribusi. Sedangkan saat ini, kegiatan pemasaran telah menerapkan ilmu manajemen yang mencakup pengambilan keputusan yang didasarkan kepada konsep dan manajemen pemasaran.[3]
Melihat tahap-tahap perkembangan pemasaran tersebut di atas, pada dasarnya pengertian pemasaran dapat dibedakan menjadi dua, yakni dilihat dalam arti sempit dan dalam arti luas. Secara sempit, pengertian pemasaran hanyalah berhubungan dengan mengalirnya barang dan jasa.[4] Sehingga pengertian-pengertian pemasaran secara sempit ini dapat dikatakan tidak berbeda dengan pengertian distribusi.
Adapun pengertian pemasaran secara luas, antara lain dapat dilihat dari pendapat Djaslim Saladin, yang mengemukakan bahwa:
Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk: merencanakan, menentukan harga, promosi, dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan. [5]

Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai pemasaran yakni:
a. Pemasaran adalah kegiatan manusia yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan melalui proses pertukaran
b. Pemasaran adalah kegiatan perusahaan dalam membuat rencana, menentukan harga, promosi, serta mendistribusikan barang dan jasa.
c. Pemasaran berorientasikan kepada pelanggan yang ada dan potensial
d. Pemasaran tidak hanya bertujuan memuaskan langganan, akan tetapi juga memperhatikan semua pihak yang terkait dengan perusahaan.
e. Program pemasaran ini dimulai dengan sebuah ide tentang produk baru, dan tidak berhenti sampai keinginan konsumen benar-benar terpuaskan.[6]
Pendapat lain dikemukakan oleh William J. Stanton, sebagaimana yang dikutip oleh Basu Swastha dan T. Hani Handoko dari Fundamentals of Marketing, yakni:
Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, serta mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli yang potensial.[7]

Dari definisi-definisi di atas, terlihat bahwa kegiatan pemasaran adalah kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan sebagai suatu sistem yang mencakup usaha perusahaan yang diawali dengan mengidentifisir kebutuhan konsumen, menentukan produk yang sesuai, menentukan cara-cara promosi dan penyaluran atau penjualan produk tersebut. Oleh karena itu, kegiatan pemasaran harus dikoordinasikan dan dikelola secara baik atau diperlukan manajemen yang baik, yang dikenal dengan manajemen pemasaran.
Philip Kotler mendefinisikan manajemen pemasaran sebagai: “Proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi.”[8] Dari dafinisi ini, manajemen pemasaran dirumuskan sebagai suatu proses berupa penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan dan penentuan produk, harga, distribusi dan juga promosi. Dengan demikian kegiatan promosi yang antara lain dilakukan melalui iklan merupakan salah satu bagian dari manajemen pemasaran.
Kegiatan-kegiatan yang tercakup ke dalam pengertian manajemen pemasaran di atas, ditujukan untuk menimbulkan pertukaran yang diinginkan, sehingga baik penjual/produsen maupun pembeli/konsumen dapat merasakan keuntungan.[9] Sedangkan untuk memberikan kepuasan terhadap keinginan dan kepuasan konsumen, suatu perusahaan berpedoman pada suatu falsafah yang disebut konsep pemasaran.
Konsep pemasaran (marketing concept) mengajarkan bahwa kegiatan pemasaran dimulai dari usaha mengenal dan merumuskan keinginan serta kebutuhan konsumen, kemudian diikuti dengan merumuskan dan menyusun suatu kombinasi dari kebijakan produk, harga, promosi dan distribusi setepat-tepatnya, agar kebutuhan konsumen dapat dipenuhi secara memuaskan.[10]
Jadi, sebagaimana didefinisikan oleh William J. Stanton: “Konsep pemasaran adalah sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup Perusahaan”.[11] Dengan demikian, pada dasarnya menurut konsep pemasaran ini, dalam mendapatkan laba perusahaan harus berorientasi kepada konsumen dengan memperhatikan syarat ekonomi serta syarat sosial. Oleh karena itu, selain mengutamakan keinginan dan kebutuhan konsumen, perusahaan harus memperhatikan kebaikannya bagi masyarakat dan mengantisipasi adanya dampak negatif dari kegiatan pemasaran produk perusahaannya bagi konsumen khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya.
B. Tanggung Jawab Sosial dan Pemasaran
Setiap orang yang bergerak dalam suatu profesi, sudah dengan sendirinya memikul suatu tanggung jawab. Tanggung jawab yang pertama adalah terhadap pekerjaan dan hasil pekerjaannya tersebut, dan yang kedua adalah terhadap dampak pekerjaannya. Artinya jika pekerjaan atau profesinya tersebut, menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain baik disengaja ataupun tidak, maka ia harus bertanggungjawab atas hal tersebut. Bentuknya dapat berupa memberi ganti rugi, pengakuan secara jujur atas kesalahannya, atau bentuk-bentuk lainnya. Tanggung jawab seperti inilah yang disebut sebagai tanggung jawab sosial.[12]
Tanggung jawab sosial tidak hanya dimiliki oleh individu saja, namun juga dimiliki oleh setiap organisasi perusahaan. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa perusahaan adalah sebuah badan hukum tertentu serta disahkan oleh hukum dan aturan tertentu pula. Artinya, perusahaan merupakan bentukan dari manusia yang keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Sebagaimana manusia yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, perusahaan pun tidak akan dapat beroperasi dan mendapatkan keuntungan tanpa pihak-pihak yang terkait dengannya. Jadi kegiatan apapun yang dijalankan oleh perusahaan, termasuk kegiatan pemasaran, harus selalu mengacu kepada konsep tanggung jawab sosial, yang mengajarkan bahwa kendatipun mengejar kuntungan bagi perusahaan merupakan hal yang baik secara moral, namun tidaklah benar apabila dalam menghasilkan keuntungan itu mengorbankan kepentingan pihak-pihak lain, terutama kepentingan masyarakat luas.[13]
Adapun lingkup dari tanggung jawab sosial perusahaan ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Wujud paling pokok dari tanggung jawab sosial perusahaan, ialah keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Terdapat beberapa alasan yang membuat perusahaan harus terlibat secara sosial. Pertama, perusahaan dan seluruh karyawannya merupakan bagian internal dari masyarakat. Kedua, perusahaan telah merasakan keuntungan dan manfaat kesejahteraan dari sumber daya alam dan masyarakat. Ketiga, Merupakan komitmen moral bagi perusahaan untuk tidak melakukan kegiatan tertentu yang merugikan kepentingan masyarakat luas. Keempat, agar citra perusahaan tetap dapat diterima masyarakat, menjalin hubungan sosial dengan masyarakat merupakan suatu hal yang niscaya.
2. Keuntungan ekonomis. Artinya perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk mengejar keuntungan agar perusahaan tetap bisa eksis, sehingga semua karyawan serta seluruh pihak yang terkait lainnya dapat terpenuhi hak dan kepentingannya.
3. Mematuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Asumsinya, ketertiban dan ketentraman masyarakat tidak akan terwujud apabila perusahaan tidak mematuhi aturan hukum yang ada. Jadi perusahaan memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menjalankan kewajibannya secara baik dan teratur, sedangkan salah satu cara terbaik adalah dengan mengikuti aturan hukum yang ada.
4. Menghormati hak dan kepentingan pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan (stakeholders). Hal tersebut ditujukan demi terciptanya kehidupan sosial yang lebih baik, demi kelangsungan dan keberhasilan kegiatan perusahaan itu sendiri.[14]
Oleh karena itu, dalam pemasaran dikenal suatu konsep yang disebut sebagai konsep pemasaran berwawasan sosial (societal marketing concept). Konsep inilah yang menjadi falasafah adanya kegiatan pemasaran bertanggungjawab sosial. Konsep tersebut muncul sebagai akibat dari perkembangan masyarakat dan teknologi, seperti adanya kerusakan lingkungan, terbatasnya sumber daya, ledakan penduduk, kelaparan dan kemiskinan dunia, serta pengabaian pelayanan sosial.
Konsep yang merupakan perluasan dari konsep pemasaran ini, mengasumsikan bahwa orientasi perusahaan tidak lagi hanya kepada konsumen saja, tetapi juga memberikan kemakmuran kepada masyarakat untuk kebutuhan jangka panjang.
Philip Kotler, pencetus konsep pemasaran berwawasan sosial (societal marketing concept ), menyatakan bahwa:
Tugas organisasi perusahaan adalah menentukan kebutuhan, keinginan, dan kepentingan pasar sasaran dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien daripada pesaing dengan mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat.[15]

Adapun tujuan dari societal marketing concept (konsep pemasaran) ini adalah mengajak para pemasar (perusahaan) untuk membangun pertimbangan sosial dan etika dalam kegiatan pemasaran mereka.[16] Dengan demikian, suatu perusahaan yang menerapkan konsep ini dalam kegiatan pemasarannya, dapat dikatakan telah melakukan kegiatan pemasaran yang bertanggungjawab sosial.
Arahan Islam Tentang Pemasaran Bertanggungjawab Sosial
Islam menekankan adanya dimensi vertikal dan dimensi horizontal dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang ekonomi yang mencakup juga tentang pemasaran ini. Dimensi vertikal ekonomi Islam adalah transendensi pemilikan kekayaan yang diperoleh melalui bekerja sebagai realisasi kewajiban agama. Sehingga setiap usaha membangun kegiatan ekonomi selalu tidak terlepas dari pencarian ridha Ilahi. Sedangkan dimensi horizontal adalah makna sosial dalam pekerjaan dan kemajuan kegiatan ekonomi, baik dalam pengertian usaha maupun dalam kaitannya dengan kewajiban sosial pada sesamanya.[17]
Berkaitan dengan hal itu, Hamzah Ya’qub menyebutkan adanya empat macam tanggung jawab manusia, termasuk dalam pekerjaan ataupun usaha-usaha/kegiatan ekonomi. Pertama, tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, agar perilaku tersebut tidak bertentangan dengan aturan atau ketentuan hukum-hukum-Nya. Karena pada hari akhir manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya.[18]Kedua tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab terhadap atasan dan pihak yang memberi wewenang sesuai dengan jenjang organisasi. Ketiga tanggung jawab hukum. Hal ini biasanya berhubungan dengan kesediaan seseorang untuk bertanggungjawab di depan pengadilan. Keempat tanggung jawab sosial, yaitu kaitan moral dengan masyarakat. Artinya, orang yang melakukan suatu perbuatan, secara moral harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya, bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang tercela di mata masyarakat serta dapat merugikan masyarakat.[19].
Dari uraian di atas, paling tidak dapat dirumuskan tiga variabel dari tanggung jawab sosial menurut arahan Islam, yakni: terciptanya kemakmuran atau kesejahteraan, perilaku etis (perbuatan yang tidak tercela), dan kepedulian sosial (kemaslahatan masyarakat).
Kemakmuran atau kesejahteraan (keuntungan ekonomis) adalah merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang ataupun perusahaan dalam melakukan suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang bertanggung jawab sosial sebagaimana telah disinggung di atas. Namun variabel tersebut tidak dapat dilepaskan dari variabel lainnya yakni perilaku etis dan kepedulian sosial. Perilaku etis atau perbuatan tidak tercela merupakan arah yang harus ditempuh seseorang dalam melakukan suatu tujuan kesejahteraan. Ia mengarah kepada ketaatan untuk tunduk serta menjalankan aturan dan norma yang hidup di tengah masyarakat. Sedangkan kepedulian sosial merupakan bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai sosial dan moral dari suatu perilaku atau kegiatan yang dilakukan seseorang ataupun perusahaan. Kepedulian sosial tersebut pada dasarnya merupakan faktor utama dalam mewujudkan keadilan sosial yang lebih merata. [20]
Jika diperhatikan lebih cermat, al-Qur`an telah memberikan arahan mengenai tanggung jawab sosial dalam melakukan usaha ekonomis/bekerja ini. Doktrin dalam ajaran Islam menyatakan bahwa bekerja merupakan Ibadah karena berimplikasi pada banyak hal. Dengan bekerja manusia dapat melanjutkan kehidupan dalam menjalankan amanat Tuhannya, menjaga dirinya serta dapat merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar.[21]
Selain itu, bekerja dapat pula memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya maupun keluarganya atau terpenuhinya variabel pertama yakni kemakmuran atau kesejahteraan karena dilimpahi rizqi oleh Allah melalui usahanya. Hal ini telah dijanjikan Allah sebagaimana terlihat dalam firmannya:
وما من دابّة فى ا لأ ر ض إلآعلى الله رزقها ويعلم مستقرّها ومستو دعها كلّ ف كتاب مبين[22]

Pada ayat lain al-Qur`an menjanjikan bahwa setiap usaha manusia akan mendapatkan imbalan berupa karunia (rizqi) di dunia dan berlaku unuk seluruh makhluk hidup, serta berupa pahala di akhirat kelak.
إ لا ا لذ ين صبروا وعملواالصلحت ألئك لهم مغفرة وأ زر كبير [23]

Mengenai anjuran berusaha secara etis, al-Qur`an mengajarkan antara lain:
- فإ ذا قضيت الصلا ة فانتصروا فى الأرض وابتغوا من فضل الله واذكوا الله كثيرا لعلكم تفلحون[24]
- إن الله لا يحبّ من كان خوّانا اثيما [25]
- فاستبقواالخيرات [26]
Arahan tersebut berkaitan dengan variabel kedua dari tanggung jawab sosial, yakni perilaku etis (tidak tercela) dalam melakukan suatu kegiatan, termasuk juga dalam melakukan kegiatan pemasaran oleh perusahaan dengan membangun pertimbangan etika.
Adapaun arahan Islam mengenai kepedulian sosial, sangat berkaitan dengan pandangan Islam mengenai kepemilikan harta kekayaan. Di dalam setiap kekayaan selalu terdapat tanggung jawab sosial dan amanah bagi pemiliknya, untuk menggunakan kekayaan tersebut di jalan kebajikan. Kekayaan tidak sepenuhnya bebas nilai, baik dalam kaitan dengan cara memperolehnya, ataupun dengan cara bagaimana menggunakan kekayaan tersebut.[27]
Dalam pandangan al-Qur’an, rizki Tuhan berupa kekayaan, harta benda, dan ketentraman hidup, pada hakikatnya merupakan hasil dari apa yang dilakukan manusia, dan dipengaruhi oleh tingkat kualitas perbuatan yang dilakukannya. Al-Qur’an tidak pernah menyuruh seseorang mencari rizki kekayaan sebagai substansi material yang berdiri sendiri, atau terlepas dari amal saleh. Semuanya dapat dicapai dengan bekerja yang baik, dan untuk tujuan baik pula tidak hanya untuk bersenang-senang semata. Tetapi lebih jauh lagi, semuanya harus dijadikan sebagai bagian dari proses peribadatan, untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Tuhan dan kepentingan kemanusiaan.[28].
Dalam al-Qur`an terdapat arahan untuk melakukan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial, antara lain sebagaimana terdapat dalam ayat yang berbunyi:
وانفقوا ممّا جعلنكم مستحلفون فيه [29]
Demikian juga mengenai perusahaan, dalam melakukan kegiatannya seyogyanya tidak melupakan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat di sekitarnya. Selain itu, setiap perusahaan harus bertanggungjawab pula atas setiap tindakan dalam membangun usahanya.
Dari uraian di atas, semua perusahaan - termasuk yang bergerak di bidang produksi saja atau pemasaran saja, .atau yang bergerak di kedua bidang (produksi dan pemasaran) sekaligus- wajib menciptakan produk-produknya, atau melakukan cara-cara pemasaran produk-produk tersebut dengan cara yang dapat meningkatkan taraf hidup dan derajat kemanusiaan serta menciptakan maslahah al-‘ammah.
Sebaliknya, setiap perusahaan dilarang memproduksi barang dan melakukan cara-cara pemasaran yang justru merugikan atau merendahkan sendi-sendi kemanusiaan masyarakat. Di samping itu, setiap perusahaan harus bertanggung jawab atas kegiatan mereka yang menimbulkan permasalahan sosial dan berpengaruh negatif bagi masyarakat, dengan tetap tanggap dan peduli serta ikut menyumbangkan kebajikan demi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Jadi kaitan antara kegiatan pemasaran dan tanggung jawab sosial terletak pada ukuran etika dan moral masyarakat. Jika dalam pandangan masyarakat secara umum suatu cara pemasaran merugikan dan meresahkan masyarakat atau secara sosial menimbulkan dampak negatif, maka cara tersebut tidak layak untuk dilakukan. Sebaliknya jika dalam pandangan umum suatu cara pemasaran dapat mendukung kesejahteraan masyarakat secara lahir maupun batin, maka cara-cara seperti itu sangat diharapkan dan layak untuk diteruskan. Berkaitan dengan semua hal tersebut, dalam melakukan kegiatan pemasaran, semua perusahaan seyogyanya tidak hanya berlomba-lomba memburu keuntungan ekonomis dan kesejahteraan bagi kelompok tertentu semata, namun harus selalu mengutamakan kepedulian sosial.
D. Unsur-unsur Pemasaran
Salah satu konsep pokok dalam kegiatan pemasaran adalah adanya ‘pasar’ sasaran, yakni pelanggan potensial yang mempunyai keinginan dan kebutuhan tertentu yang mungkin mau dan mampu untuk ambil bagian dalam jual beli guna memuaskan kebutuhan dan keinginannya. [30] Dalam hal ini, ketika menjalankan cara-cara pemasaran produk-produknya, setiap perusahaan harus didorong dengan maksud untuk memuaskan calon konsumen sehingga secara etis harus menghindari niatan untuk memperdaya, mengelabui dan memanipulasi konsumen. Karena kadar terpenuhinya kepuasan konsumen/pelanggan merupakan salah satu faktor yang akan menentukan apakah perusahaan akan mendapatkan laba dalam jangka panjang atau tidak.[31]
Pelanggan (customer) termasuk satu dari lima tipe konsumen yang harus diperhatikan perusahaan[32]. Sebab perusahaan yang telah sukses karena terciptanya kepuasan pelanggan akan mendapatkan manfaat-manfaat penting seperti keharmonisan hubungan dengan pelanggan, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan terciptanya loyalitas pelanggan, memungkinkan pelanggan akan membeli jenis produk lainnya dari perusahaan yang sama, dan terciptanya word of mouth (rekomendasi dari mulut ke mulut) yang menguntungkan perusahaan.[33]
Oleh karena itu, setiap perusahaan harus menyadari bahwa orientasi dalam kegiatan pemasaran produk-produk atau jasa mereka juga adalah pelanggan. Karena perusahaan yang merancang produk tanpa masukan dari pelanggan dan melupakan pelanggan setelah penjualan, mungkin akan mendapat tanggapan atau komplain yang buruk dari pelanggan terhadap perusahaan karena mereka tidak mendapatkan kepuasan..[34] Dengan demikian kepuasan pelanggan merupakan unsur penting disamping unsur-unsur yang merupakan inti kegiatan pemasaran lainnya yakni: produk, harga, distribusi, dan promosi.
Inti kegiatan pemasaran tercakup dalam strategi marketing mix (bauran pemasaran). Bauran pemasaran (marketing mix) adalah serangkaian variabel pemasaran yang dapat dikuasai perusahaan, yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran.[35]
Rangkaian variabel atau unsur-unsur tersebut sering disebut dengan 4P yakni: 1) product (Produk), 2) price (harga), 3) place (distribusi), dan 4) promotion (promosi).
Dalam unsur produk, langkah pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah melakukan riset pemasaran, yakni mengamati kondisi perkembangan pasar mengenai kebutuhan dan keinginan pasar tentang produk yang akan serta telah dibutuhkan dan diinginkan untuk segera dipenuhi, atau akan dipenuhi di masa yang akan datang. Langkah ini bertujuan agar produk yang dibuat laku terjual karena telah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pasar.[36]
Penerapan konsep produk pada dasarnya harus melalui suatu riset perusahaan. Karena memproduksi suatu barang tanpa melakukan riset pemasaran terlebih dahulu, dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip keadilan. Dalam artian sebuah produk yang dirancang perusahaan tanpa mengetahui kepada siapa produk ditujukan, berarti mengabaikan perbandingan antara satu kepentingan dengan kepentingan yang lain. Karena dalam syari’at Islam, unsur keadilan dalam hal hubungan ekonomi termasuk pemasaran, tidaklah cukup jika pertukaran hanya didasarkan pada asas memberi dan menerima saja. Tetapi juga harus mempertimbangkan arti penting keharmonisan, keseimbangan, kebaikan, dan perbandingan antara kepentingan dan keperluan.[37] Disamping itu, perusahaan yang merancang produknya tanpa melakukan riset pemasaran terlebih dahulu, terdapat kemungkinan produknya tidak diminati konsumen, walaupun secara kualitas memiliki keunggulan.[38]
Oleh karena itu di dalam teori perusahaan, untuk menentukan jenis produk apa yang akan di buat, harus memperhatikan dua alasan yakni adanya kebutuhan masyarakat atau pasar dan manfaat positif apa yang bakal diperoleh perusahaan. Pengertiannya, dalam menentukan jenis produk yang akan dibuat, perusahaan harus melihat barang yang diperkirakan akan dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya dengan mengamati dan mencermati dinamika di dalam masyarakat. Jika perusahaan telah menemukan kebutuhan apa yang telah, sedang, dan akan diperlukan oleh masyarakat, maka hal ini tentu saja merupakan peluang untuk membuat jenis produk tersebut, dan karenanya perusahaan diperkirakan, akan mendapat imbalan ekonomis yang seimbang karena telah memproduksi barang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.[39]
Dalam hal ini, kebutuhan masyarakat dapat dikategorikan dalam dua macam, yakni kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Jika barang yang akan diproduksi ini berkait dengan kebutuhan pokok, di mana barang sangat dibutuhkan ketersediaannya, maka merupakan keharusan yang tinggi bagi perusahaan untuk segera membuatnya. Hal ini mengingat adanya unsur sosial yang tinggi berkenaan dengan hal tersebut.[40]
Di samping itu yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah menjamin pengadaan produk barang dan jasa sebagai upaya memenuhi kebutuhan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia. Produk tersebut tentunya berupa barang dan jasa yang secara positif berguna dan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Berkaitan dengan hal ini, Islam telah melarang pengadaan barang dan jasa yang mempunyai dimensi merugikan atau dapat berdampak menurunkan kesejahteraan manusia, seperti pengadaan minuman keras, obat-obatan terlarang, pengadaan jasa-jasa prostitusi dan bisnis hiburan mesum, serta bisa dikatakan termasuk ke dalam jajaran ini adalah pengadaan iklan-iklan berkonotasi seksual atau menonjolkan unsur-unsur seksualitas oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis advertising. Semua hal tersebut sangat tidak sesuai dengan arahan Islam, yang antara lain terlihat dalam sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
أمرت الرسول أن لا تأ كل إلا طيّبا ولا تعمل إلا صا لحا [41]
Harga merupakan salah satu unsur dari marketing mix. Untuk mengetahui peranan variabel harga dalam pemasaran dapat dilihat dari reaksi konsumen terhadap harga suatu barang. Jika harga suatu produk yang telah ditentukan pada suatu tingkat tertentu, mengakibatkan konsumen sangat bereaksi terhadap produk tersebut, berarti variabel ini mempunyai peranan yang relatif sangat penting dalam pemasaran. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka menunjukan bahwa variabel harga trsebut relatif kurang dapat meningkatkan volume pemasaran.[42]
Harga yang ditentukan perusahaan terhadap produk-produknya, pada umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yakni: 1) faktor ongkos atau biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi dan komersialnya; 2) faktor margin yang diinginkan perusahan.[43]
Harga yang ditetapkan oleh suatu perusahaan pada akhirnya akan dibebankan atau dibayar oleh konsumen. Agar masyarakat, khususnya masyarakat konsumen dapat ditingkatkan kesejahteraannya. Penetapan harga tersebut harus sesuai dengan daya beli mereka. Dalam hal ini, syari’at Islam telah melarang cara-cara yang merugikan masyarakat, seperti penimbunan produk perusahaan dalam jangka waktu tertentu agar para pembeli membayarnya dengan harga tinggi atau dikenal dengan ihtikar. Ihtikar merupakan usaha penimbunan atau penyembunyian dalam waktu tertentu secara sengaja dengan maksud menimbulkan barang-barang tertentu hilang dipasaran dalam waktu tertentu, dan ketika muncul harganya melonjak tinggi. [44]
Saluran distribusi merupakan penopang yang sangat penting untuk menjamin suatu produk sampai ke tangan konsumen. Untuk itu perusahaan dituntut untuk menjalankan prinsip pengelolaan manajemen distribusi, yang antara lain:[45]
a) Keamanan dan keselamatan barang yang dikirim.
b) Kecepatan datangnya barang kepada konsumen.
c) Kemurahan biaya distribusi.
d) Konsumen mendapat pelayanan yang cepat dan tepat.
Oleh karena itu, segala cara yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan tersebut harus dihindarkan seperti halnya talaqqi rukban yang telah disinggung dalam pembahasan tentang harga diatas.
Kegiatan promosi termasuk salah satu elemen marketing mix yang berkaitan dengan komunitas pemasaran. Komunikasi pemasaran adalah:
Aktifitas untuk menginformasikan pemasaran, membujuk atau mempengaruhi kepada pasar sasaran atas perusahaan berikut produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut.[46]

Adapun tujuan promosi adalah:[47]
1. Memajukan citra perusahaan yang bersangkutan, dan atau
2. Memperbesar volume penjualan produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan.
Macam-macam jenis promosi adalah:[48]
a) Pengiklanan (advertising), yang pembahasannya akan dilakukan pada sub bagian tersendiri.
b) Penjualan tatap muka (personal selling), yakni merupakan suatu presentasi secara lisan dalam suatu percakapan dengan seorang (atau lebih) calon pembeli, dengan tujuan untuk menjual produk atau jasa tertentu.
c) Promosi penjualan (sales promotion), yakni terdiri dari aktivitas-aktivitas pemasaran seperti: pertandingan-pertandingan, hadiah-hadiah, display, show, pameran-pameran, demonstrasi-demonstrasi, dll.
d) Publisitas (Hubungan mayarakat/ public relations), yakni merupakan stimulasi permintaan secara non personal, produk, servis atau kesatuan usaha tertentu dengan jalan mencantumkan berita-berita penting tentangnya di dalam sebuah publikasi, atau mengupayakan presentasi tentangnya melalui radio, TV, atu sandiwara yang tidak dibiayaai oleh pihak sponsor.
[1] Buchari Alma, Dasar-dasar Bisnis dan Pemasaran, cet.3 (Bandung: Alfabeta, 1997), h. 98.
[2] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran: Analisa Prilaku Konsumen, cet. 2 (Yogyakarta: BPFE, 1997), h. 5.
[3] Ating Tedjasutisna, Pemasaran SMK: Kelompok Bisnis dan Manajemen, (Bandung: Armico, 1999), I: 15.
[4] Pengertian pemasaran secara sempit antara lain dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli yang disarikan oleh Buchari Alma sebagai berikut: Menurut Charles F. Philips dan Delbert J. Duncan dalam bukunya Marketing Principles and Methods adalah: “Marketing yang oleh para pedagang disamakan dengan distribusi dimaksudkan dengan segala kegiatan untuk menyampaikan barang-barang ke tangan konsumen…”. Maynard dan Beckman dalam Principles of Marketing menyatakan: “Marketing berarti segala usaha yang meliputi penyaluran barang dan jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi”. Sementara Paul Converse dan Fred M. Jones dalam Introduction to Marketing mengemukakan bahwa dunia bisnis dibagi dua yaitu: pertama produksi yang diartikan sebagai menciptakan barang ,dan kedua adalah marketing yaitu pekerjaan memindahkan barang-barang ke tangan konsumen. Sedangkan William J. Shultz dalam Outline of Marketing menyebutkan marketing atau distribusi adalah usaha/kegiatan yang menyalurkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Begitu pula tidak jauh berbeda dengan pendapat Raybun D. Tousley, Eugene Clark, dan Fred E. Clark dalam Principles of Marketing yang menyatakan bahwa: “Marketing terdiri dari usaha mempengaruhi pemindahan pemilikan barang dan jasa termasuk distribusinya.” Lihat Buchari Alma, Dasar-dasar…, h. 98-99.
[5] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran dan Manajemen, (Bandung: Mandar Maju, 1996), h.3.
[6] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h.3.
[7] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[8] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran: Analisa, Perencanaan, Implementasi dan kontrol, alih bahasa oleh Hendra Teguh dan Ronny A. Rusli, cet. 6 (Jakarta: Prenhallindo, 1987), I: 13.
[9] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[10] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h. 5.
[11] Lihat Ibid., h. 6.
[12] A. Sony Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, cet. 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 44.
[13]A. Sony Keraf, Etika Bisnis....,h. 122.
[14] A. Sony Keraf, Etika Bisnis,..,h. 123- 127.
[15] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran: Analisa…, I:24.
[16] Ibid., I:24..
[17] Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: LESFI, 1997), h. 68.
[18] Lihat Q.S. Maryam (19): 93-95.
[19] Lihat Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, cet. 1 (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 93-94.
[20] M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 136.
[21] Q.S. (9): 105.
[22] Q.S. Huud (11): 6.
[23] Q.S. Huud (11) : 11.
[24] Q.S. al-Jumu’ah (62): 10.
[25] Q.S. an-Nisa (4): 107.
[26] Q.S. al-Baqarah (2): 148.
[27] Musa Asy’ari, Islam.., h. 23..
[28] Ibid.,, h .22.
[29] Q.S. al-Hadid (57): 7
[30] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h.5.
[31] Basu Swastha Dharmesta dan T. Hani Handoko, Manajemen Pemasaran:…, h 8.
[32] Kelima tipe konsumen tersebut dapat dirinci berdasarkan tangga loyalitas.Pertama prospek (prospect), yakni orang-orang yang mengenal produk atau jasa perusahaan namun belum pernah memasuki tokonya, serta belum pernah membeli produk atau jasa tersebut. Pelanggan seperti ini menempati anak tangga paling bawah dari kelima tipe konsumen ini. Kedua pembelanja (shopper), yaitu prospek yang telah mengunjungi toko akan tetapi belum membuat keputusan membeli. Ketiga tipe konsumen yang dinamakan pelanggan (customer) yakni orang yang membeli produk atau jasa perusahaan. Orang-orang inilah yang harus benar-benar diperhatikan perusahaan agar menjadi klien tetap perusahaan. Keempat Klien (client), yakni tipe konsumen yang secara reguler membeli produk perusahaan. Kemudian perusahaan akan meraih kesuksesan jika mempunyai banyak penganjur yakni tipe konsumen yang kelima. Pengaanjur (advocates) ini adalah mereka yang telah sangat puas dengan produk atau jasa perusahaan, sehingga menceritakan kepada siapa saja mengenai bagusnya produk dan jasa perusahaan tersebut. Lihat Fandy Tjiptono, Soal-jawab Pemasaran, cet. 1 (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 114-115.
[33] Fandy Tjiptono, Soal-jawab… Ibid., h 119.
[34] Tanggapan atau komplain tersebut dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni: voice response, private response, dan third party response. Voice response merupakan tanggapan yang disampaikan langsung atau meminta ganti rugi kepada perusahaan atau distributornya. Private response bisa berupa peringatan dan berita dari mulut ke mulut antara pelanggan dengan kolega, teman, atau keluarganya mengenai pengalaman buruknya berkaitan dengan produk suatu perusahaan. Sedangkan third party response merupakan tindakan yang meliputi usaha mendapatkan ganti rugi secara hukum, mengadu ke media massa, atau langsung mendatangi lembaga konsumen, instansi hukum, dan sebagainya. Lihat Ibid., h. 118.
[35] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h 5.
[36] Muslich, Etika Bisnis: Pendekatan Subtantif dan Fungsional, cet.1 (Yogyakarta: Ekonisia, 1998), h. 38
[37] Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, alih bahasa Anas Sidik, cet.1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 45-46.
[38] Philip Kotler, Manajemen…, I: 6.
[39] Muslich, Etika…, h. 55.
[40] Muslich, Etika…, h. 55.
[41] Jalaluddin as-Suyuti, Al-Jami’ as-Sagir fi Ahadis al-Basyir an-Nazir, (ttp. Syirkah an-Nur Asia, t.t.), I: 66. Hadis dari Abu Hurairah.
[42] Muslich, Etika…, h.39.
[43] Ibid h. 40-41.
[44] Berkaitan dengan harga ini, selain ikhtikar, untuk mencegah segala bentuk ketidak-adilan dalam penentuan harga, islam telah melarang beberapa hal lain seperti: 1) talaqqi rukban, yakni pedagang yang berusaha mendapat keuntungan dengan menyongsong penjual (produsen) di pinggir kota agar penjual dari kampung tidak tahu harga yang berlaku dikota (pasar kompetitif sesungguhnya); 2) mengurangi timbangan, karena berarti memnjual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit; 3) menyembunyikan barang cacat karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk; 4) transaksi najasyatau si penjual menyuruh orang lain memuji barang dagangannya atau menawarnya dengan harga tinggi agar orang lain tertarik; dll. selengkapnya lihat Adiwarman A.Karim, Islamic Microeconomics, Edisi 1 (Jakarta: Muamalat Institute, 2001), h. 116.
[45] Muslich, Etika…, h. 39.
[46] Fandy Tjiptono, Soal-Jawab…,h. 189.
[47] Djaslim Saladin, Unsur-unsur Inti Pemasaran …,h 147.
[48] Lihat Ibid. h. 148-149.

Tidak ada komentar: